Bercinta dengan perawan - 2

0 comments

Temukan kami di Facebook
Seminggu lewat sudah dan Shanti bingung memikirkan Tuti. Wanita itu tidak masuk seminggu sejak pergumulan mereka. Nanti sore ia akan menanyakan pada pemilik warung mengapa Tuti tidak masuk. Selama seminggu ini Shanti tidak bergairan dalam pekerjaan, memeknya basah terus kalau mengingat Tuti atau mengingat pemandangan adegan Supriati dengan pacarnya. Shanti tidak bersemangat, apalagi sehari-hari teman-temannya selalu bergunjing mengenai laki-laki dan mereka tidak segan-segan membicarakan hal-hal yang paling pribadi dan selalu berakhir dengan cekikikan panjang. Shanti merasa terkucil karena teman-taman lainnya semua sudah menikah dan usia mereka jauh diatasnya, sehingga mereka selalu terdiam kalau Shanti mendekat, padahal ia ingin sekali turut mendengar gunjingan mereka. Shanti lebih banyak menghabiskan waktunya dengan menyibukkan diri didapur membantu pemilik restoran.

Malam itu Shanti merasa tidak bersemangat bekerja, hatinya sedih memikirkan Tuti. Ia sudah menanyakan pada majikannya dan ternyata Tuti telah berhenti bekerja karena mendapatkan pekerjaan di Jakarta. Shanti diam-diam menangis memikirkan Tuti yang tega meninggalkannya tanpa pesan sedikitpun. Akhirnya Shanti hanya pasrah dan menjelang tutup restoran ia pulang kekostnya yang berada tidak jauh dari tempatnya bekerja lalu masuk kedalam kamarnya dan menangis kembali memikirkan Tuti. Ia menangis sampai akhirnya terlelap dan bermimpi bertemu dengan Tuti dan wanita itu membelai rambutnya dengan sayang, Shanti menyusup dalam ketiak Tuti dan menangis sesunggukan, wanita itu mengucapkan kata-kata hiburan padanya dan gadis itu menangis makin keras......

* * * * * * * * * *

Tidak terbayangkan oleh Shanti ketika memandang wajah wanita itu didepan pintu restoran. Tubuh Shanti bergetar dan jantungnya berdebar keras sekali. Air mata mengambang dipelupuk matanya yang indah. Bibir Shanti terbuka dengan mata terbuka seolah melihat hantu. Wanita itu berjalan masuk dan tersenyum padanya.......sudah setahun lewat sejak kepergiannya dan Shanti merasa waktu setahun berlalu seperti siput, tiada malam tanpa tangisan dan tiada hari ceria lagi selama setahun itu baginya dan kini wanita itu berdiri dihadapannya dan sungguh cantik bukan main!

Wanita itu mendekat dan Shanti tiba-tiba saja sudah menghambur dalam pelukannya. Semerbak wangi tercium oleh Shanti, wanita itu membelai rambutnya sambil memeluk erat tubuhnya. Shanti merasakan debar jantungnya menghantam dada wanita itu. Tangisan sedih terdengar dari dalam pelukan Tuti. Wanita itu merasakan aliran hangat jatuh dari matanya. Ia berusaha menahan air matanya tapi mengalir juga setetes dan jatuh dirambut Shanti.

"Mbak... oh...." Shanti tak kuasa berbicara. Ia menyusupkan wajahnya makin dalam dipelukan Tuti.

"Shan, sudah lama sekali yaa...." Bisik Tuti. Shanti mengangguk-angguk. Shanti merasakan lembutnya buah dada Tuti dan ia tidak ingin melepaskan pelukannya.
"Aku rindu sekali mbak.... ja... jangan pergi lagi....." Suara tercekat dari Shanti membuat Tuti sangat terharu. Dadanya terasa sesak dan ia ingin menjerit tapi kedewasaannya membuatnya bertahan.

"Aku juga rindu Shan, sudah, sudah....." Wanita itu mendorong Shanti pelan dan membawanya duduk disalah satu kursi. Restoran itu sedang sepi sekali dan Tuti memang sudah mengamatinya sejak satu jam yang lalu. Ia tidak ingin ada orang yang dikenalnya melihatnya datang dengan penampilan seperti itu, apalagi bermobil.
"Mbak cantik sekali...." Bisik Shanti, ia menatap Tuti kagum. Tuti memang terlihat cantik dan menawan, make up wajahnya tipis sehingga kehalusan kulitnya terlihat nyata, matanya masih seperti dulu, bersinar nakal dan genit, bibirnya yang penuh juga makin terlihat merangsang. Shanti menelan ludah, ia melihat pakaian Tuti yang sangat indah, ia melihat potongan tubuh Tuti yang juga tidak berubah, montok dan kencang. Hidung peseknya tidak terlihat lagi dan penampilan keseluruhan wanita itu membuat Shanti rindu bukan main.

"Kamu kelihatan makin cantik dan matang Shan...." Bisik Tuti lalu dibelainya pipi Shanti yang kemerahan. Kulit gadis itu masih betul-betul halus sekali, jari Tuti merayap menyentuh bibir Shanti, Shanti membiarkan jari Tuti menyentuh bibirnya, ia membuka mulutnya dan menjilat jari itu, jantungnya berdegup, Tuti membiarkan jarinya dihisap oleh Shanti.

"Aku rindu sekali Shan dan aku kesini untuk mengajak kamu ikut aku" Kata Tuti. Shanti terkejut.
"Kemana?" Tanya Shanti.Tuti tertawa.

"Ikut saja aku, pokoknya kamu akan hidup enak denganku" Kata Tuti.

Shanti memandang wanita itu, hatinya gundah, apa yang harus dilakukannya? Apakah memang ia akan hidup lebih enak? Tapi kalau sekali ini ia tidak ikut dengan Tuti maka kemungkinan wanita itu tidak akan menemuinya kembali, Shanti sungguh bingung.
"Jangan kuatir Shan, aku nggak bakalan menelantarkan kamu. Justru aku selalu ingat sama kamu, makanya aku nggak tahan lagi untuk mengajak kamu ikut denganku" Kata Tuti sambil membelai tangan Shanti. "Lagipula kamu dan aku sudah seperti.... seperti.... kekasih...." Suara Tuti berbisik dan bibirnya bergetar. Shanti ingin sekali memangut bibir wanita itu tapi ia agak jengah. Ia menunduk saja. Kemudian dirasakannya belaian tangan Tuti dibawah meja menjamah pahanya dan mengelus serta meremas lembut pahanya, Shanti merinding, ia ingin merintih tapi ia hanya menatap saja wanita itu. Tuti memandangnya sendu dan bibirnya terbuka.

"Baiklah mbak.... ka.. kapan kita berangkat?" Bisik Shanti bergetar.
"Besok kamu temui aku dihotel M, malam ini aku tinggal disana" Jawab Tuti "Jangan membawa barang terlalu banyak, nanti aku belikan disana" Shanti mengangguk. Gadis itu memandang Tuti, ia haus sekali akan belaian wanita itu, tapi Shanti tahu Tuti tidak dapat berlama-lama, lagipula sepertinya wanita itu bukan lagi Tuti yang dulu.
"Jaga diri kamu baik-baik, Shan.....sampai besok" Bisik Tuti. Shanti merasa pahanya diremas oleh Tuti dan wanita itu bangkit sambil tersenyum. Shanti memandang kepergian Tuti dan ia merasa ada sesuatu yang terbang meninggalkan jiwanya. Tuti menghilang dalam mobil dan pergi meninggalkan halaman restoran itu.

* * * * * * * * * *

Shanti memandang pemilik restoran, seorang pria berusia pertengahan. Restoran sudah sepi karena sudah agak malam dan teman-teman Shanti juga sudah pulang, beberapa yang tinggal dibelakang restoran telah masuk dan mungkin sudah tidur. Shanti sengaja memilih waktu setelah semuanya telah sepi, karena ia ingin pamit dan meminta upahnya selama bekerja disana pada sang pemilik restoran. Perjanjiannya memang begitu, semua karyawan wanita hanya dapat mengambil upahnya enam bulan sekali atau sewaktu ia ingin berhenti. Dan sekarang Shanti hendak berhenti karena besok ia sudah akan di Jakarta.

"Mengapa kamu tolol sekali hendak ikut dengan sundal itu?" Sergah pak Mohan dengan wajah mengeras dan kelihatannya marah betul. Shanti membisu, tubuhnya tegang karena takut.

"Kamu tidak tahu dia itu jadi lonte disana? Hah?" Desis laki laki itu. Ia memandang Shanti dan terus memandang gadis yang menunduk diam itu. Matanya tertumbuk pada seonggok daging yang membusung di dada Shanti yang ditutupi kaus tipis kumuh berwarna putih kekuningan. Pak Mohan terkesiap merasakan berahinya tiba-tiba memuncak melihat keremajaan gadis itu, laki-laki itu menahan napas dan menelan ludah, matanya tidak lepas dari dada Shanti dan mulutnya terkunci. Shanti tidak tahu majikannya memandangnya seperti seekor serigala yang sedang menatap domba yang tak berdaya.

"Baik, kamu boleh keluar dari sini dan sekarang kamu ikut aku untuk mengambil uangmu!" Suara serak pak Mohan terdengar aneh di telinga Shanti, tapi gadis itu merasa lega karena tidak ada lagi nada kemarahan dalam suara itu. Ia mengikuti laki-laki itu menuju kebelakang terus kebelakang berlawanan dengan mess tempat tinggal para karyawan restoran. Shanti tahu ia menuju kantor Pak Mohan, atau tepatnya tempat biasa Pak Mohan membereskan bon-bon dan beristirahat kalau sedang capek. Rumah majikannya itu jauh dari sini jadi ia suka berleha-leha diruang itu kalau sedang capek melayani tamu.

Pak Mohan menyalakan lampu kamar dan Shanti disuruh duduk di dipan yang biasa ditiduri oleh laki-laki itu. Shanti duduk dan Pak Mohan berjalan mendekatinya, tiba-tiba tangan laki-laki setengah baya itu terjulur dan meremas teteknya dengan keras, Shanti menjerit tertahan dan beringsut kesudut, ketakutan.

"Kamu mau uang kamu khan? Kamu akan ke Jakarta khan? Dan kamu toh akan jadi lonte juga nanti, sekarang kamu layani aku dululah, dan kamu akan menjadi lebih pengalaman nanti" bisik Pak Mohan dekat sekali dengan wajahnya. Shanti mencium bau rokok menyembur dari mulut laki-laki itu, sehingga membuatnya ia ingin muntah.
"Saya akan menjerit pak..... jangan pak...... malu!" bisik Shanti. Pak Mohan menerkam Shanti dengan tiba-tiba dan Shanti terhimpit oleh tubuh laki-laki itu, Shanti membuka mulutnya hendak menjerit, tapi tangan pak Mohan dengan sigap menutup mulutnya. Shanti terbelalak, ia benar-benar kalah tenaga dengan laki-laki itu, yang ternyata kuat sekali.
"Sekali kamu bersuara, maka kamu tidak akan bisa menemui sanak saudaramu lagi, kamu bisa tunggu mereka semua di neraka!" Desis Pak Mohan, wajahnya sungguh kejam sekali, membuat gadis itu merasa takut setengah mati. Perasaannya mengatakan percuma melawan laki-laki itu, ia akan sangat menyesal nanti. Lagi pula siapa yang tidak takut dengan Pak Mohan? Hanya sang isteri yang baik pada karyawan, sedangkan laki-laki ini sudah terkenal suka judi dan membuat onar. Shanti menangis tanpa suara, ia takut sekali, dan sekarang ia merasakan tubuhnya digerayangi oleh tangan lelaki itu.

"Ikuti apa yang aku suruh, maka kamu akan mendapatkan uangmu dan yang penting kamu akan selamat dan bisa jadi lonte di Jakarta, mengerti?" Ancam Pak Mohan, Shanti menggigit bibir menahan sakit ketika teteknya kembali diremas oleh laki-laki itu, ia cepat-cepat menganggukkan kepalanya dalam bisu.

Pak Mohan menarik kaki Shanti sehingga gadis itu terlentang di dipan kayu yang beralaskan tikar. Kemudian Shanti melihat Pak Mohan dengan gugup melepaskan pakaiannya. Shanti memejamkan matanya ketika melihat kontol Pak Mohan bergoyang-goyang seperti ketimun. Ketika ia membuka matanya kembali, Shanti melihat pak Mohan sudah duduk disampingnya dan tangannya mulai menarik kaus Shanti, gadis itu tidak bergerak. Tiba-tiba pipinya ditampar oleh Pak Mohan, Shanti menjerit pelan merasakan pipinya panas, tamparan yang tidak begitu keras tapi sangat menyakitkan hatinya. Shanti mengangkat tubuhnya membiarkan kausnya lolos begitu saja dan kemudian membiarkan juga roknya diloloskan dengan mudah oleh Pak Mohan. Shanti bisa merasakan napas panas membara dari hidung laki-laki itu, Pak Mohan berusaha menciumnya tapi Shanti memalingkan wajah, tapi laki-laki itu memaksa dan Shanti terpaksa membiarkan bibirnya dikulum mulut laki-laki itu, Shanti merasa mual....

"Pegang ini, awas jangan macam-macam kamu!" bentak Pak Mohan. Tangan Shanti dituntun untuk menggenggam kontol Pak Mohan. Shanti merasa jijik, kontol yang tidak begitu besar dan dalam keadaan layu, keriput dan hitam.

"Kocok!" perintah Pak Mohan. Shanti belum pernah melakukannya. Ia meremas-remas pelan, kenyal dan licin seperti berlendir, Shanti merasa jijik.

"Kocok seperti ini goblok!" desis laki-laki itu sambil mengocok kontolnya sendiri. Shanti berusaha menurutinya dan Shanti sedikit terkejut mendapati kontol itu bangun perlahan. Pak Mohan tidak sabar, ia harus cepat-cepat karena sang isteri menantinya dirumah. Ia menyodorkan kontolnya kemulut Shanti, gadis itu menghindar.

"Sialan kamu! Cepat hisap dan jilat! Atau kubunuh kau!" bentak Pak Mohan seperti kalap. Shanti menggenggam kontol laki-laki itu dengan tangan gemetar, dipandangnya benda yang lembek dan setengah tegang, ia memejamkan matanya dan sebelum sempat berbuat sesuatu, dirasakannya benda itu menerobos masuk kedalam mulutnya dan bergerak maju mundur. Shanti ingin muntah tapi ia ketakutan. Laki-laki itu memompa mulut Shanti dengan tergesa-gesa, dari mulutnya keluar lengkuhan-lengkuhan aneh dan tiba-tiba Shanti mendengar Pak Mohan mengerang tertahan lalu mulutnya tiba-tiba terasa asin dan penuh dengan cairan lengket dan berbau aneh. Shanti menahannya supaya tidak tertelan, ia mual sekali, ia berpikir itu pasti yang dikatakan Tuti sebagai pejuh. Jijik sekali, pikirnya. Shanti memejamkan matanya erat-erat dan membiarkan kontol Pak Mohan terus bergerak maju mundur dan makin pelan. Lalu benda itu ditarik keluar dari mulutnya. Dan Shanti segera memuntahkan cairan kental itu, ia memandang Pak Mohan yang kelelahan dengan perasaan benci bukan main.

"Hhh....... bagus....... memang punya bakat lonte kau! Ini uangmu dan ini bayaran pertama buat seorang lonte!" Desis pak Mohan lalu melemparkan lembaran-lembaran uang kewajah Shanti. Shanti terkulai tak berdaya dan Pak Mohan bergegas hendak keluar tapi sebelumnya sekali lagi laki-laki itu meremas teteknya dan Shanti terbelalak kesakitan. Sekejab kemudian bayangan laki-laki tua itu sudah lenyap dari pandangannya. Shanti menangis pelan, ia tidak berani lebih keras, ia malu dan takut terdengar oleh teman2 yang tinggal diseberang tempat ini. Lalu pelan-pelan gadis itu bangun, ia meraba teteknya dan meringis nyeri, lalu ia memungut uang-uang yang jatuh berserakan. Dihitungnya dan ia merasa senang juga menerima lebih dari yang diperkirakannya, ia menerima kelebihan dua puluh ribu rupuah! Jumlah yang lumayan untuknya. Shanti dengan jijik mengusap cairan mani yang menempel di dadanya dengan bhnya. Ia melepaskan benda itu dan memutuskan tidak akan memakainya. Ia memakai rok dan kausnya lalu berjingkat-jingkat keluar dari kamar itu. Diluar gelap dan kelam, sunyi, entah sudah jam berapa sekarang.

Shanti berjingkat masuk kedalam kamar mandi, rumah kostnya sudah sepi dan ia tidak ingin membangunkan semua penghuninya. Ia mulai membersihkan badannya dan ia menggosok teteknya kuat-kuat, ia tak perduli nyeri yang ditimbulkan, ia hendak melenyapkan jejak remasan Pak Mohan. Shanti menangis tanpa suara, ia tidak menyangka malam terakhir merupakan malam jahanam baginya. Ia berkumur dan menusuk-nusuk kerongkongannya sampai muntah, ia tak perduli mulutnya terasa pahit dan ia terus hendak mengeluarkan semuanya, ia tak yakin apakah tadi cairan Pak Mohan tertelan atau tidak dan ia tidak ingin cairan itu berada diperutnya. Shanti menggosok giginya berkali-kali dan akhirnya dengan pelan ia masuk kedalam kamarnya. Ia telah mencuci bersih bhnya dan pakaiannya juga, ia akan meninggalkan pakaian itu disini saja. Lalu Shanti berbaring berusaha untuk tidur......diam-diam ia bersyukur dirinya masih perawan, entah mengapa laki-laki keparat itu tidak menyetubuhinya, Shanti menghela napas dalam lelap.

* * * * * * * * * *

"Ini kamar kamu Shan, suka?" bisik Tuti sambil memandang gadis itu. Shanti ter-nganga tidak dapat berkata apa-apa. Keletihan berjam-jam dalam perjalanannya dengan Tuti seakan lenyap begitu saja. Kamar yang untuknya sangat luas, ia membadingkan mungkin 3 kali dari kamar kostnya di kampung. Luar biasa, ranjangnya besar dengan sprei putih bersih, ada radio kaset disamping ranjang lalu ada meja rias dan Shanti heran melihat ada kamar mandi dalam kamar tidur, ia belum pernah tahu mengapa ada orang yang membuat kamar mandi dalam kamar tidur. Sangat membuang uang sekali, pikirnya. Tapi gadis itu sudah dapat membayangkan betapa nikmatnya dengan fasilitas seperti itu, kapan saja ia ingin mandi, ia tidak usah lagi mengantri sambil menimba air, oh menyenangkan sekali, batinnya.

"Ada air panasnya lho Shan..." kata Tuti. Shanti memandang wanita itu dengan penuh sayang. Ia memeluk Tuti dan berterima kasih padanya dengan air mata mengalir. "Kamu berhak mendapatkannya sayang..." bisik wanita itu.

"Indah sekali mbak! Bagaimana aku harus membalas semua ini?" kata Shanti dengan suara serak. Tuti tersenyum, lalu ia memanggil supir yang membawa mereka tadi untuk memasukkan barang-barang Shanti.

Shanti sangat kagum dengan rumah Tuti. Besar, bersih, mewah dan berkesan anggun sekali. Tembok-temboknya dicat dengan warna kuning beras, indah bukan main. Ruang tamu yang besar dengan lantai marmer dan perabotan yang menurut gadis itu tentu sangat mahal harganya, lalu ruang makan dengan meja makan yang besar lengkap dengan kursi-kursi berderet, tirai-tirai yang mewah seperti membuang-buang kain saja. Kemudian Shanti melihat ruang keluarga yang luar biasa besarnya, dengan TV yang juga seperti layar bioskop, seprangkat sofa yang besar pula menghias ruangan itu. Ada kolam renang dipekarangan belakang, kolam yang besar bukan main, Shanti tidak dapat membayangkan berenang di kolam itu, ia belum pernah berenang dikolam renang, ia hanya pernah berenang disungai.

"Kamu istirahat saja dulu Shan. Nanti sore baru kita ngobrol-ngobrol lagi" kata Tuti. Lalu ia berjalan keluar kamar meninggalkan Shanti. Gadis itu duduk di atas ranjang, wah empuk sekali! Ia tersenyum sendiri membayangkan nasibnya, sungguh beruntung sekali ia disayangi seperti itu oleh Tuti. Ia merebahkan dirinya lalu dalam sekejab ia sudah terlelap......

Shanti terbangun oleh belaian Tuti. Jari-jemari Tuti membelai pipinya, Shanti memegang tangan Tuti kemudian menciumnya dengan lembut.

"Terima kasih mbak" bisiknya. Tuti tersenyum.

"Ah tidak apa-apa sayang, aku memang selalu teringat akan kamu dan akhirnya aku nggak tahan lagi. Aku berkata pada suamiku bahwa aku tidak dapat merasakan keriangan tanpa kamu Shan" kata Tuti. Shanti mengecup lagi telapan tangan yang membelainya.
"Kok mbak kawin nggak bilang-bilang sih?" tanya Shanti. Tuti tertawa. Ia mendekatkan wajahnya dan mengecup bibir gadis itu dengan lembut. Tuti rindu sekali dengan hembusan napas Shanti dan ia sudah tidak tahan ingin merasakan lidah serta mulut gadis itu. Sudah lama ia rindu pada Shanti, selama ini ia selalu melayani 'suami'nya dengan baik. Dan sang 'suami' juga kelihatan sangat sayang padanya, maka itu ia memberanikan diri untuk meminta ijin mengajak gadis itu tinggal dengannya. Tuti menceritakan semuanya kepada 'suaminya' dan tak disangka 'suaminya' sangat menyetujui....

"Jadi kamu suka bermain dengan cewek juga?" tanya 'suaminya', yang sebetulnya adalah laki-laki yang bernama Rahman dan selama ini memelihara hidup Tuti dan diam-diam mereka melangsungkan pernikahan tanpa sepengetahuan isteri pertama laki-laki itu. Tuti mengangguk, ia pasrah jika Rahman meledak marah dan mendampratnya. Tapi yang ia lihat hanya pandangan terpesona saja.
"Ya mas, aku selalu teringat kepadanya, aku sangat mencintainya mas" Jawab Tuti.

"Jadi selama ini kamu tidak cinta padaku?" Tanya Rahman menyelidik.

"Aku mencintaimu melebihi segalanya, semuanya kuberikan dan semuanya kulakukan. Tapi selama mas tidak denganku, aku sering merasa sepi dan....."

"Dan apa?"

"Dan membayangkan gadis itu" Tuti menjawab terus terang.

"Boleh saja kamu ajak gadis itu, aku akan sangat senang sekali kalau......" Rahman tidak meneruskan kata-katanya. Tuti tersenyum. Ia tahu apa yang dipikirkan Rahman.
"Aku akan mencobanya sayy.... aku juga ingin sekali kalau kamu bisa menikmati keperawanan gadis itu" bisik Tuti. Rahman lega dan merasa tegang sendiri membayangkan ia digumuli oleh dua wanita, wah tentu lebih luar biasa, selama ini saja ia sudah sangat puas dengan pelayanan Tuti yang sampai kemanapun belum pernah dirasakannya. Tutinya yang begitu hebat diatas ranjang, didalam kamar mandi, dimanapun dan kapanpun ia membutuhkannya, wanita itu selalu akan membuatnya terkulai dalam lautan kenikmatan.

Bersambung . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Bercinta dengan perawan - 2"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald