ABG vs Gigolo

0 comments

Temukan kami di Facebook
Jam sebelas lebih sepuluh. Itu artinya, sudah hampir satu jam aku dibuat menunggu oleh Michael. Aku tak habis pikir, ini sudah yang ketiga kalinya aku melayani anak bos itu, dan tiap kali selalu saja ia datang telat dari janji yang dibuatnya sendiri. Kalau dibilang ia segan menemuiku, sangatlah tidak mungkin, mustahil, kami saling menyukai, dia menyukai tubuhku dan aku menyukai uangnya. Kalau ia kapok, ia pasti tak akan "memanggil"-ku lagi, apalagi sampai tiga kali.

Tapi sebagai seorang pekerja yang baik, aku memang harus siap menghadapi pelanggan semacam Michael, aku tak boleh banyak protes. Aku pun ingin bekerja secara "profesional" seperti apa yang sering didengungkan oleh orang-orang yang duduk di kantoran. Kurasa, profesionalisme bukan hanya milik sebagian orang saja, seorang pekerja seks-pun pasti akan lebih laris kalau ia bekerja secara profesional. Benar tidak? Karena itu, aku menurut saja ketika kemarin malam, Michael memintaku datang jam setengah sebelas di hotel ini, tempat kami biasa check-in sebelum ini, sebuah hotel yang sewa kamarnya saja mencapai tarif 600 ribu semalam.

"Sudah lama nunggunya?" tiba-tiba Michael menepuk pundakku dari belakang sampil tersenyum padaku, memamerkan kedua lesung pipinya yang luar biasa menawan.
Michael memang remaja yang ganteng, aku akui. Sekilas, orang tak akan menyangka kalau orientasi seks-nya lebih kepada sesama laki-laki daripada kepada lawan jenisnya. Kulitnya putih dan badannya bersih, belum lagi bodinya yang ramping dan penampilannya yang sangat cool. Tak berlebihan, jika aku lantas mulai menyukainya juga, meski sebelumnya aku tak pernah benar-benar menyukai laki-laki. Aku sebenarnya terlahir sebagai lelaki normal, namun mungkin karena profesiku inilah yang terkadang menuntutku untuk melakukan "kontak" dengan lelaki, yang pada akhirnya membuat orientasi "seks"-ku menjadi kacau.

"Yah, lumayan lama juga nunggunya. Hampir satu jam. Kenapa telat?" tanyaku seraya bangkit dari sofa di lobby hotel, tempat aku menunggu sejak satu jam yang lalu. Kami lantas berjalan beriringan mendekati meja resepsionis untuk selanjutnya menuju sebuah kamar di lantai tiga yang sudah di-booking Michael.

"Sorry, aku baru pulang clubbing." sahut Michael sambil merangkulku. Sudah biasa, kalau remaja kota seumuran Michael yang masih kelas 2 SMU sering menghabiskan waktunya keluyuran bersama teman-temannya, ia selalu menyebutnya "clubbing". Entahlah, apa saja yang mereka lakukan di luar sana, aku tak begitu peduli, lagipula itu bukan urusanku.

Ketika kami berdua menyusuri lorong lantai tiga, Michael tampaknya sudah mulai tak sabar melepaskan hasratnya, ia merangkulku lebih erat. Kali ini bukan di pundak, namun di pinggangku. Dan tangan kirinya yang mulai gatal, mengelus-elus perutku. Sesekali ia menciumi lengan dan leherku. Untung saja, lorong hotel itu begitu sepi dan tak ada seorangpun yang melihatnya. Tak berapa lama kemudian, tibalah kami di depan pintu kamar 335. Michael langsung memasukkan anak kunci ke lubangnya, dan kemudian memutarnya untuk membuka pintu. Setelah kami masuk, Michael langsung mengunci kembali pintu kamar.

Di balik pintu itulah, Michael langsung memelukku. Kami saling berpagutan lidah satu sama lain untuk beberapa lama. Aku mulai merasakan sentuhan bibir hangatnya melekat di bibirku. Michael memang hebat sekalipun usianya masih belia, bahkan terpaut lima tahun lebih muda dariku, tapi untuk urusan yang satu ini, ia seperti seorang yang sudah sangat berpengalaman.

Aku lantas membimbing Michael menuju kasur empuk yang ada di dalam kamar itu, aku membanting tubuhnya, menindihnya sambil tetap berpagutan satu sama lain. Tak puas sampai di sana, tanganku mulai beraksi mempreteli satu per satu pakaian yang melekat di tubuh Michael, T-shirt merahnya, sampai kaos oblong yang dipakainya. Lalu, aku mulai melonggarkan sabuk kulitnya untuk mempermudah memelorotkan celana jeans yang dipakai Michael. Sepatu sportnya pun tak ketinggalan, ku tanggalkan juga. Tak ada selembar pakaian pun yang kusisakan selain celana dalam putih dan kaus kaki yang dipakainya, dan luar biasanya ia malah tampak lebih tampan dengan keadaan telanjang seperti itu, apalagi dengan seuntai kalung emas yang berkilatan melingkar di lehernya. Dan kini, pemandangan indah itu terbentang tepat di depan mataku.

Michael pun tak mau kalah, ia juga melucuti pakaianku satu per satu. Aku malah dibuatnya telanjang bulat. Lalu, ia membalikkan tubuhku dalam posisi telentang. Michael mengangangkan kakiku sedikit lebih lebar dan kemudian ia menghisap batang rudalku. Dikulumnya dan dibawanya keluar masuk mulutnya, sampai sepanjang penisku basah oleh air liurnya. Aku mengerang, sambil merasakan gigitan-gigitan nakalnya di penisku, bahkan sampai ke buah pelirku. Sesekali ia mencengkeram penisku dan menjilati ujungnya dan bagian kulupnya bergantian. Aku tak tahan merasakan rasa geli di bagian bawah sana, geli yang bercampur nikmat.

Setelah tiba giliranku, maka aku pun berbuat tak kalah liar dengan apa yang dilakukan Michael tadi. Aku pun menikmati batang kejantanan Michael yang panjangnya tak kurang dari 15 cm itu dengan bulu-bulu halus yang mulai memanjang yang tumbuh liar di seputar kemaluannya. Aku memberikan servis terbaikku untuk pelangganku yang satu ini, karena aku memang mulai menyukainya. Bahkan untuk dia, sekalipun aku tak dibayar kali ini, aku rela. Tapi Michael bukan tipe orang yang suka diberi servis gratis, ia sangat mengerti, kalau aku hidup dari bekerja seperti ini, kalau tak dibayar, maka aku tak dapat uang hari ini.

Malam itu kami bertempur habis-habisan. Aku tak bisa menceritakan semuanya secara detail, karena selebihnya dari foreplay itu, aku tak ingat lagi secara detail apa saja yang kami lakukan. Yang jelas, kami melakukan yang lebih baik dari pertemuan sebelumnya, bahkan saat kami mulai mandi bersama untuk membersihkan badan seusai bertempur, jam dinding di kamar hotel sudah menunjukkan pukul 4 pagi.

"Kau mau kuantar pulang?" kata Michael esok siangnya selepas kami bangun tidur.
Ia berbaring disisiku dan menggenggam sebelah tanganku. Dengan setengah mengantuk, aku membalikkan badanku berhadapan dengan Michael.
"Tak usah repot-repotlah. aku naik taksi saja, ok?" sahutku dengan suara lemah.

Michael kemudian berbalik, ia mengambil celana jeansnya yang tergeletak di meja dekat kasur dan kemudian mengambil dompetnya. Kemudian ia menyodorkan sepuluh lembar uang seratus ribuan kepadaku. Lagi-lagi, ia tersenyum, aku juga balas tersenyum sambil menerima uang jasaku untuk semalam, "trims."

"Kau yakin tak mau diantar? Tak keberatan kan kalau aku ke tempat kosmu?" tanya Michael sekali lagi. Sesaat aku hanya diam, aku mengelus muka Michael yang bersih.

"Maaf aku tak bisa menerima tawaranmu. Lebih baik jika kamu tidak tahu dimana kosku, kau bisa menelponku lagi jika butuh servisku. atau barangkali untuk sekedar melepas kangen." gurauku.

"Kalau begitu, aku masih butuh servismu satu hari ini lagi, bagaimana?"

"Memangnya kamu nggak pulang? nggak dicari orang tua nih?"

"Orangtuaku di luar kota, jadi aku punya sedikit kebebasan."

"Okelah kalau begitu. Aku juga kebetulan nggak ada janji hari ini,"

Jadilah selama dua hari itu aku menemani Michael yang "kesepian" ditinggal oleh orang tuanya. Jam sebelas siang, kami beranjak dari kasur dan mandi. Bahkan ketika kami di dalam bath tub pun, kami masih tak cukup puas untuk menyalurkan hasrat kami masing-masing. Dalam keadaan yang sama-sama telanjang bulat, kami bergumul di dalam bath tub yang sempit itu. Asyik dan jauh lebih seru daripada semalam, dengan bermandikan busa-busa sabun yang melumasi badan kami saat itu.

"Vian, aku mau ngoral." pinta Michael sambil meremas batang rudalku di dalam air hangat yang memenuhi bath tub. Aku pun menurut saja, apalagi rudalku saat itu sudah melesak karena full ereksi dengan panjangnya yang 15 cm itu, tak jauh beda dengan punya Michael.

Aku menarik badanku, merangsek ke bibir bath tub dan duduk di atasnya. Muka Michael di dekatkan ke kepala penisku, makin lama makin dekat, dan akhirnya, "Plok."
Michael mencaplok penisku, kemudian menghisapnya maju mundur dengan nikmatnya. Otomatis, aku tak kuasa menahan kenikmatan yang kurasakan saat itu, aku mendesah, mengerang dan menggelinjang sambil menikmati permainan Michael.

Michael cukup lama mengoralku saat itu.

"Kau liar juga, Mich." kataku sambil mengelus rambutnya, sambil sesekali mendorong perlahan kepalanya untuk memasukkan penisku ke dalam mulutnya yang mungil.
Michael melirikku dari bawah sana, ia hanya tersenyum menanggapi kata-kataku barusan.

Setelah Michael puas mengoralku, sampai spermaku pun muncrat memenuhi mukanya, aku mengangkat tubuh Michael, kemudian mendudukkannya di tempat dimana aku duduk tadi.

"Sekarang giliranku." kataku sembari mencengkeram penis Michael yang keras membatu.
Michael pun pasrah saja, ketika aku mulai memasukkan penisnya yang kemerahan dan tak bersunat itu ke dalam mulutku, menghisapnya dengan berirama keluar masuk mulutku. Lama kelamaan, kurasakan penis Michael makin kenyal seiring dengan cairan hangat yang kurasakan menyemprot masuk dari penis Michael ke dalam kerongkonganku. Sampai-sampai aku dibuat tersedak karenanya.

"Vian, minggu depan aku akan ke Paris, ke tempat Opaku. Namun, mungkin aku tak akan kembali kemari sampai libur natal nanti." kata Michael sesaat setelah kami memutuskan untuk beristirahat di dalam rendaman air hangat. Kami saat itu duduk berhadapan di dalam bath tub, aku memandang Michael dengan tatapan penuh tanda tanya. Apakah ini berarti aku akan kehilangan satu pelanggan setiaku lagi.

"I"m sorry. Aku akan melanjutkan SMU-ku di Jerman. Mulai bulan depan, awal semester baru disana. Sebenarnya, berat juga meninggalkan teman-temanku di sini, tapi mau bagaimana lagi? Aku terpaksa." tutur Michael dengan muka muram.
Saat itu, barulah terlihat tekanan batin yang ia rasakan saat ia harus mengikuti kemauan orang tuanya. Michael banyak bercerita tentang watak kedua orang tuanya yang keras, sehingga dari sana pula, aku dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa Michael termasuk salah satu dari jutaan anak yang kurang mendapat pelukan kasih sayang dari seorang ayah, mirip dengan kisah perjalanan hidupku yang besar tanpa tahu siapa ayahku.

Dari kurangnya kasih sayang itulah, Michael lantas mencoba mencari kasih sayang di luar dengan caranya sendiri dengan memanfaat fasilitas materi yang diberikan oleh orang tuanya. Ia memang termasuk kaya untuk ukuran anak seusianya, meski semua yang ia miliki adalah kepunyaan bapaknya.

Dengan pekerjaanku ini, entah sudah berapa banyak aku menemui orang-orang yang seperti Michael, baik pria atau pun wanita. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang kesepian, mengalami kehampaan hidup, dan berusaha memperolehnya dariku. Padahal aku sendiri, kalau mau jujur, aku pun adalah seorang yang sangat kesepian, terkadang aku malah berpikir bahwa hidupku ini tak ubahnya seperti sampah yang berbau busuk, bahkan sudah tak ada harganya lagi. Untung saja, sepak terjangku di dunia hitam ini tak sampai menyisakan penyakit kelamin bagiku, jika tidak, aku bukan hanya hidup sebagai sampah, namun mati pun akan sebagai sampah.

Berpisah dari Michael sebenarnya juga menjadi penolong bagiku untuk lepas dari profesiku sebagai gigolo. Beberapa bulan setelah kepergian Michael, aku pun memutuskan untuk meninggalkan kota ini. Dengan sisa tabunganku, aku merantau untuk bekerja di negeri kangguru sampai detik ini, namun tentunya tak lagi mengulang statusku yang lama, pekerjaanku benar-benar halal.

Tamat




Komentar

0 Komentar untuk "ABG vs Gigolo"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald