Ida, responden pertamaku - 1

0 comments

Temukan kami di Facebook
Para penggemar cerita porno yang budiman. Perkenalkan, nama saya Aidit. Usiaku saat ini 38 tahun dengan tinggi badan 165 cm, berat badan 59 kg, warna kulit antara putih dan hitam, rambut hitam lurus. Saya tinggal pada salah satu kota Kabupaten di Sulsel bersama seorang istri dan 3 orang anak. Sehari-harinya saya bekerja sebagai pengelola jasa, khususnya di bidang pengetikan komputer dan penyusunan karya ilmiah.

Ceritanya begini. Pada bulan Agustus tahun 2001 yang lalu, saya kebetulan menerima pesanan karya ilmiah dari seorang mahasiswi pada salah satu Perguruan Tinggi Swasta di kota tempat tinggal saya, judulnya PACARAN SEBELUM KAWIN DAN PENGARUHNYA TERHADAP KERHARMONISAN RUMAH TANGGA. Sesuai perjanjian saya dengan mahasiswi tersebut (namanya panggil saja Ati), bahwa pengumpulan data-dada yang akan dimuat dalam karya ilmiah itu menjadi tanggung jawab Ati selaku mahasiswi yang akan mempertanggung jawabkan isinya di depan penguji.

Setelah Ati mengajukan proposal atau draft karya ilmiah yang telah saya susun sesuai pesanannya dan telah mendapat persetujuan dari ketua jurusan dan dosen pembimbingnya, saya lalu meminta dia untuk mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan judulnya itu, baik dengan cara mencari buku-buku rujukan maupun dengan cara melakukan penelitian melalui wawancara dengan beberapa orang yang telah berumah tangga, terutama terhadap mereka yang kebetulan pacaran sebelum nikah. Meskipun sebenarnya banyak buku-buku yang berkaitan dengan judul tersebut, namun selain saya ingin mengetahui fakta-fakta di masyarakat tentang pengaruh pacaran sebelum nikah, juga untuk memanfaatkan judul itu agar saya bisa mengorek pengalaman berpacaran dari beberapa orang yang telah menjadi suami istri.

Setelah berjalan sekitar 2 minggu, Ati datang ke rumah membawa beberapa buku rujukan, namun ia tidak membawa sedikitpun data hasil wawancara dengan orang lain sesuai permintaan saya, dengan alasan ia merasa malu, segan dan tidak mampu wawancara, padahal daftar pertanyaannya telah saya berikan sejak awal.

Aduh Kak, saya kesulitan memperoleh data wawancara, karena saya merasa malu dan takut tidak dilayani orang, apalagi saya ini kan masih gadis katanya sambil meletakkan beberapa buku rujukan karya ilmiahnya di depan saya.
Ngga apa-apa jika memang hal itu masih agak sulit adik dilakukan, saya maklumi alasannya itu kok, apalagi adik tidak dibekali izin penelitian dari pemerintah, bisa-bisa adik disangka punya maksud lain. Nanti kita lihat bagaimana caranya yang terbaik agar penyusunan karya ilmiah ini tetap berjalan sesuai rencana demikian kata saya sambil mencoba menenangkan perasaannya agar ia tidak merasa putus asa.

Hanya dalam tempo 3 minggu saya sempat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah itu, namun saya masih tetap tidak print, karena rencana ujian meja Ati masih jauh yakni nanti pada Bulan Oktober 2001 (masih berkisar 2 bulan lagi). Saya terus mencari akal bagaimana caranya agar keinginan saya tadi bisa terwujud. Saya mencoba menghubungi di rumahnya lewat telepon dan minta agar dia datang ke rumah saya guna membicarakan masalah kelanjutan penyusunan karya ilmiah itu. Setelah Ati datang ke rumah saya pada hari itu juga, saya menawarkan bantuan.

Bagaimana jika saya sendiri membantu adik melakukan wawancara dengan beberapa kenalan saya, yang kebetulan saya ketahui telah pacaran sebelum nikah? apakah adik tidak keberatan? begitulah tawaran saya pada Ati ketika kami duduk bersama pada ruang tamu di rumah saya, apalagi Ati nampak bingung dan kesulitan memperoleh data wawancara waktu itu.
Justru saya sangat setuju Kak, dan berterima kasih pada Kak atas kesediannya membantu saya. Saya bersedia memberikan segala biaya yang Kak butuhkan selama dalam proses penelitian wawancara itu. Dimikian jawaban Ati atas tawaran saya itu, seolah dia sangat gembira dan bersemangat mendukung tawaran saya itu.

Ati adalah anak satu-satunya perempuan dari 3 bersaudara. Dia anak seorang pengusaha beras yang tergolong kaya di daerah kami, sehingga tak heran bila Ati bersedia membayar biaya-biaya yang saya butuhkan dalam proses penyusunan karya ilmiahnya. Karenanya, saya berani menawarkan bantuan kepadanya, selain untuk memperoleh maksud tertentu saya itu juga untuk memperoleh tambahan penghasilan dari Ati. Bahkan Ati sempat menawarkan kendaraan sepeda motor Honda Supra yang dipakainya kepada saya untuk saya gunakan selama proses wawancara di lapangan, tapi saya tidak menerimanya karena saya masih punya sepeda motor sendiri yang bisa saya gunakan dalam proses wawancara itu, lagi pula biar Ati merasa berutang budi pada saya nantinya.

Setelah saya membuat Surat Kuasa Penelitian dan minta tanda tangannya, Ati lalu pamit untuk pulang ke rumahnya. Keesokan harinya, sayapun mulai bereaksi. Mula-mula saya datangi tetangga dekat yang saya kenal pacaran sebelum nikah dengan membawa sejumlah pertanyaan spekulatif yang bisa menjebak para responden. Tentu saja saya terlebih dahulu mempersiapkan beberapa kriteria responden dan syarat-syarat wawancara, termasuk usianya tidak terlalu lanjut, punya penampilan yang menarik, punya waktu dan kesempatan yang banyak untuk diwawancarai, jujur, terbuka, tidak terlalu ketat kontrol dari suaminya sebab obyek penelitian saya, khusus bagi wanita saja serta beberapa syarat lain yang bisa mewujudkan impian saya, termasuk salah satu syarat utamanya adalah bersedia menandatangani kesepakatan rahasia wawancarapa pada siapapun, khususnya kepada suami mereka.

Hampir semua responden yang saya wawancarai merasa senang dan tidak menolak ketentuan wawancara yang saya ajukan, sebab mereka itu rata-rata kenalan saya, bahkan ada di antara mereka bekas pacar atau sahabat saya, sehingga tanpa saya janjikan apa-apapun mereka nampaknya tetap bersedia untuk diwawancarai dan ingin agar wawancara itu berjalan lama dan berulang-ulang kali, apalagi kami lakukan rata-rata di tempat khusus yang sengaja saya sediakan untuk wawancara, termasuk di kamar-kamar penginapan atau hotel dan di rumah-rumah sahabat saya.

Ida (nama samaran) adalah wanita berusia 35 tahun sebagai responden yang pertama kali saya wawancarai. Dia kebetulan tetangga dekat saya, yang sehari-harinya saya temani ngobrol tentang berbagai hal, termasuk soal berpacaran, meskipun suaminya selalu di sampingnya, tapi dia orangnya suka humor, terbuka dan lugu, bahkan seringkali humor soal-soal porno, termasuk hubungannya dengan suaminya. Pada hari itu, suaminya kebetulan ke kota Makassar mengikuti pertemuan organisasi usaha yang dikelolanya (sebutlah pelatihan) selama beberapa hari. Tentu saja kesempatan seperti itu yang saya tunggu-tunggu.

Ida, kemana suaminya kok ngga kelihatan? tanya saya ketika saya sedang menemuinya di depan rumah kami sambil berpura-pura tidak tahu, meskipun sebelum suaminya berangkat ke Makassar sempat kami bincang-bincang mengenai rencana keberangkatannya itu.
Ke Makassar Kak Dit, kebetulan dia dapat rekomendasi dari Depnaker untuk ikut pelatihan selama sepekan di Makassar jawabnya.
Setelah kami bincang-bincang sebagaimana layaknya tetangga dekat, saya lalu menyampaikan maksud utamaku padanya.
Mau ngga Dik Ida membantu saya, sebab kebetulan saya mempunyai masalah yang berkaitan dengan profesi saya, dan nampaknya adik Ida merupakan salah seorang yang dapat saya harapkan membantu menyelesaikannya tanya saya pada Ida dengan santai sambil saya sedikit tersenyum padanya.
Masalah apa Kak Dit, mudah-mudahan saya bisa dan mampu membantu, apalagi kita ini kan sudah seperti keluarga atau saudara sendiri katanya lebih lanjut.
Ngga berat kok, hanya saya butuh informasi yang jelas dari adik Ida, kata saya terus terang padanya.
Tentang apa itu Kak Dit? saya rasanya kurang banyak mengetahui informasi tanyanya seolah bingung dan serius ingin mengetahui masalahku.

Setelah saya melihat Ida kebingungan dan seolah ingin cepat mengetahui masalah saya yang perlu bantuan dari dia, saya lalu mengajak masuk ke rumahnya dengan alasan kurang sopan jika saya menyampaikannya di luar rumah. Ia pun bergegas masuk dan mempersilahkan saya duduk di kursi plastiknya yang ia telah siapkan. Setelah kami duduk berhadap-hadapan, sambil meletakkan di atas meja beberapa lembar kertas yang saya bawa, seperti surat kuasa penelitian dari Ati, ketentuan wawancara dan lain-lainnya, saya lalu berkata terus terang padanya.

Begini Dik Ida, ada seorang Mahasiswi yang sedang saya susun karya ilmiahnya, yang kebetulan kesulitan mendapatkan data-data wawancara tentang judulnya, sebab berkaitan dengan masalah kehidupan suami istri, maklum ia masih gadis. Jadi terpaksa ia minta tolong dan menguasakan pada saya untuk mengambil data-data dari beberapa orang yang telah berkeluarga, termasuk adik Ida, siapa tahu mau berbaik hati memberikan informasi yang jelas, jujur, terbuka dan penuh keikhlasan demikian penjelasan saya secara rinci terhadap Ida.

Mendengar penjelasan saya itu, dia tiba-tiba tertawa kecil lalu diam sejenak seolah ragu dan malu mengutarakan soal-soal kehidupan rumah tangganya. Namun, setelah berfikir sejenak dan mempertimbangkan tawaran saya itu, akhirnya dia meraih dan membaca lembar per lembar kertas yang saya letakkan di depannya itu tanpa bersuara sedikitpun.

Setelah dia baca dan paham isinya, dia lalu berkata, Ngga apa-apalah, asalkan Kak mau merahasiakan pada suami saya dan pada orang lainnya tentang informasi yang saya berikan mengenai kehidupan rumah tangga kami bersama suami. Kebetulan Ida hanya sendiri di rumahnya waktu itu, sebab ia belum dikaruniai seorang anak, meskipun telah beberapa tahun menjalani kehidupan rumah tangga dengan suaminya.

Setelah menyatakan kesediaannya dan menandatangani perjanjian wawancara yang saya sodorkan, Ida lalu bertanya, Apa yang ingin Kak Dit tanyakan pada saya, silahkan diajukan satu-persatu, nanti saya berikan jawaban seadanya katanya.

Saya mulai membuka susunan pertanyaan yang telah saya sediakan sebelumnya dan mulai mengajukan pertanyaan pada dia secara berurutan. Dari 27 nomor pertanyaan yang saya siapkan, hanya 11 pertanyaan yang sempat saya ajukan dan dijawab oleh Ida pada waktu pertemuan pertama itu, sebab Ida nampaknya terlalu serius menjawab dan mencermati makna pertanyaan saya, sehingga kondsi wawancara kami seolah dipengaruhi oleh suasana lain yang tiba-tiba menyerang konsentrasi berpikir kami, khususnya pada pertanyaan yang ke 11.

Karena adik Ida menjawab tadi bahwa sebelum nikah dengan suaminya, adik telah bersetubuh beberapa kali dengan calon suaminya di bawa kolom jembatan, bagaimana awal kejadiannya saat itu? tolong dijelaskan satu persatu mulai dari pertama kali bersetubuh hingga yang terakhir kalinya sebelum nikah, termasuk proses selama berlangsungnya persetubuhan anda, misalnya waktu calon suami adik itu memegang tangan adik, mencumbu, memeluk, meremas payudaranya, membuka kancing baju dan celana dalam adik, memasukkan penis dan menggocok memek adik serta posisi yang diterapkannya hingga adik mencapai puncak persetubuhannya itulah rentetan pertanyaan dan permintaan akhir saya pada Ida saat itu dalam poin 11, sambil meminta ia sedikit memperagakan di depanku.

Ida adalah sosok wanita yang cukup mulus dan nampaknya memiliki gairah seks yang tinggi serta sedikit agak simpatik pada saya selama ini sebagaimana nampak dari perbincangan kami sehari-hari. Tidak heran jika ia rela dan tidak segan-segan menuruti semua permintaan saya saat itu, termasuk ia menunjukkan sedikit aksinya di depan saya seolah ingin merangsang saya, meskipun sejak awal saya memang telah terangsang akibat pakaian yang dikenakannya agak tipis dan sedikit ketat, terutama celana kain yang dikenakannya sedikit ditarik agak ke atas sehingga ujungnya berada di atas lututnya. Tangan saya ikut lebih memperjelas ucapkanku dengan sengaja menunjuk dan menyentuh bagian-bagian yang kminta untuk diperagakan sedikit, sehingga wawancara kami waktu itu berjalan semakin tak karuan namun cukup seru.

Bersambung . . . .




Komentar

0 Komentar untuk "Ida, responden pertamaku - 1"

Posting Komentar

Boleh pasang iklan, link atau website, tapi dilarang menampilkan Nomer HP, Pin BB serta Email.

 

Rumah Seks Indonesia. Copyright 2008 All Rights Reserved Revolution Church by Brian Gardner Converted into Blogger by Bloganol dot com Modified by Axl Torvald