tag:blogger.com,1999:blog-3404952512026426282024-03-23T00:14:16.040-07:00Rumah Seks IndonesiaKumpulan cerita seks, cerita dewasa, cerita seru, cerita panas, cerita saru, artikel seks, konsultasi seks dan seksualitas terlengkap dan terbesar di IndonesiaUnknownnoreply@blogger.comBlogger4658125tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-39506768346803629022014-01-06T22:39:00.008-08:002014-01-06T22:39:56.320-08:00Gairah seorang tante - 1“Loh Tan, udah pulang ?, kirain siapa “ kataku sambil tersenyum kepadanya, namun tidak ada balasan senyuman yang kudapat darinya, ia hanya melihatku dengan pandangan biasa saja, kemudian dari mulutnya keluar kata-kata “Fan, kita pulang sekarang, kamu siap-siap, sekarang juga kita pulang”. Aku terdiam sambil memandangnya, ada pertanyaan yang akan aku tanyakan kepadanya, namun sulit sekali aku mengucapkannya, karena kulihat wajah Tante Mala sepertinya tanpa ekspresi dan tampaknya ingin aku menurutinya tanpa banyak bertanya.<br /><br />Aku bergegas merapikan bajuku, membereskan dandananku, tanpa banyak cakap, memeriksa seisi kamar takut-takut ada yang tertinggal atau terlewatkan. Setelah memastikan semua beres, aku membantu membawa tas kecil Tante Mala, mengatakan padanya bahwa semuanya telah siap, dan berjalan mengikutinya keluar.<br /><br />Kuperhatikan Tante Mala, wanita cantik yang kukagumi, tampak bergegas melangkah. dengan dandanan baju hitamnya yang seksi, dengan baju terusan yang berbelahan rendah, aku hanya meliriknya sekilas sambil menelan ludah. Sambil melangkahkan kakiku, menuju areal pelataran parkir, banyak pertanyaan menghiasi otakku.<br /><br />Didalam mobil yang kukendarai, beliau juga tidak banyak cakap, hanya sesekali bergumam, memastikan apakah mobil dalam keadaan laik jalan, sudah cek air, oli atau bensin cukup untuk digunakan sampai tujuan, dan aku hanya menjawabnya juga ala kadarnya. Ada apa dengan Tante Mala, ia terlihat tidak seperti biasanya, tidak ceria dan banyak tersenyum seperti Tante Mala yang kukenal selama ini. Apakah sebenarnya yang terjadi ? apakah beliau saat ini sedang berada dalam posisi yang tidak mengenakkannya ? apa yang telah terjadi saat aku mandi ? ataukah apa yang terjadi saat Tante Mala dan Om Herman dalam perjalanan pulang dari kantor Om Herman ? Apakah Tante Sandra melabrak Om Herman kemudian berimbas kepada Tante Mala ? Apakah Tante Mala mengetahui bahwa kami, aku dan Tante Sandra telah memergokinya berselingkuh dengan Om Herman ? Lalu mengapa Tante Sandra tidak ikut kembali dengan kami ? ada apa dengannya ? masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu dipikiranku, namun tak ada keberanian dari diriku untuk bertanya kepadanya.<br /><br />Kulirik jam ditanganku, jam setengah delapan kurang, kalau perjalanan dari sini menuju kerumah sekitar 3,5 jam berarti kami akan tiba di rumah sekitar setengah sebelas, sedangkan perutku belum diisi sejak siang tadi, duh.. bisa-bisa cacing didalam perutku ngamuk, karena belum mendapat upeti. Tante Mala seperti mengerti akan pikiranku, beliau melihat aku melirik jam dan akhirnya mengajakku untuk nanti mampir di salah satu rumah makan bila kami melewatinya.<br /><br />Sejam perjalanan yang kami lewati dengan keheningan, dimalam ini lalu lintas cukup ramai, mungkin karena bertepatan dengan weekend, sehingga banyak lalu lalang kendaraan dijalan yang kami lalui. Jarak dari tempat kami tadi memang cukup jauh, melewati perkebunan, sawah dan beberapa kota kecil, akhirnya ketika kami melewati sebuah kota yang cukup ramai, kami memutuskan untuk mencari rumah makan yang dirasa menurut kami cukup enak, aman dan nyaman.<br /><br />Akhirya kami memutuskan untuk berhenti disebuah restoran yang kelihatan cukup mewah, karena menurut Tante Mala, tempat itu adalah tempat biasa ia makan, bila melewati kota ini. Memang kulihat tempat itu cukup bagus, banyak mobil-mobil mewah terparkir disana, dan kulihat disebelahnya juga terdapat hotel yang cukup bagus, mungkin kelas melati, namun cukup asri dan mewah untuk sekelas penginapan di kota kecil seperti ini.<br /><br />Kami makan di restoran itu tanpa banyak berbicara, sampai saat ini aku tidak berani untuk menanyakan apa yang terjadi terhadapnya, aku hanya dapat mengira-ngira saja. Ada sedikit sesal dihatiku, mengapa Tante Mala berselingkuh dengan Om Herman, aku sangat menyayangkannya, aku selalu memperhatikan gerak-geriknya yang salah tingkah, beliau sepertinya saat ini agak sungkan kepadaku. Didalam hatiku ada kecurigaan, sepertinya Tante Mala mengetahui bahwa aku memergokinya saat tadi Aku dan Tante Sandra berkunjung ke Kantor Om Herman, mungkin Tante Sandra marah besar terhadap keduanya, sehingga Tante Mala berusaha menghindari keduanya dengan mengajakku pulang cepat. Aku tersenyum getir, untungnya Tante Sandra telah memuaskanku, memuaskan birahiku, sehingga setidaknya Om Herman telah membayar apa yang telah dilakukannya terhadap Tanteku telah dibayar oleh istrinya.<br /><br />Dasar aku memang sial, jarang pergi sama cewek cakep, sekalinya pergi dengan wanita cantik sexy didepanku ini malah membuat aku grogi. Restoran yang kami datangi ini adalah restoran continental dengan berbagai macam menu masakan luar negeri. Kulihat sekeliling sepertinya eksekutif-eksekutif yang berpakaian necis, ganteng, dengan jas, dasi, sepatu mengkilap sedang makan malam disini, belum lagi kulihat, beberapa meja dipenuhi dengan keluarga-keluarga kaya yang turut bersantap.<br /><br />Sepertinya cuma aku aja yang berani tampil beda, berani malu beda dari yang lainnya, cuma kemeja lengan pendek, dengan celana jeans belel, belum lagi muka yang lecek beminyak, yang membuat orang yakin, percaya dan berani taruhan gede2an kalo aku berpenghasilan gak lebih dari UMR. Sialan. Dan yang membuatku grogi adalah sepertinya semua mata memandang kami, Tante Mala yang berpenampilan cantik, sexy dengan berbelahan dada rendah, membuat mata mereka sepertinya sebentar-sebentar kembali melirik kami, jelas ini membuat aku semakin kikuk, jangan-jangan membuat mereka berpikir kalo aku ini adalah pembantunya, kuyaaaa.<br /><br />Melihat menu restoran semakin membuat aku puyeng, makanan dengan bahasa yang tidak banyak kumengerti semakin membuat aku bingung dalam memilih. Masa aku mau memilih gado-gado atawa karedok ? ada sih emang, tapi bukannya itu nanti malah membuat mereka berpikir kalo aku biasa makan di emperor resto ? emperan trotoar !. gak la yau.. <br /><br />Akhirnya setelah da..de.. do... aku dengan tegas menunjuk menu makanan jepang shashimi, dengan harapan itu adalah makanan lezat khas jepang seperti di restorant cepat saji yang biasa aku lihat dibrosur2 yang disodori oleh SPG cantik di depan mall-mall, yang biasanya aku comot walaupun mereka tidak menyodorkan ke aku, (mungkin mereka menilai dari penampilanku yang dalam pikiran mereka aku gak bakal mampir, gak kuat bayar, padahal sih iya, lah wong aku Cuma ngarep di brosur itu mereka naruh nama dan no telp yang bisa aku kerjain, kali aja nyangkut... heheheh... !) .<br /><br />Ada rasa kaget bercampur haru, kaget dan terperanjat ketika ternyata yang aku pesan adalah makanan ikan mentah diiris-iris dengan dimasukkan ke bumbu cair yang bau dan rasanya seperti air cuka tumpah dicomberan, dan terharu buat orang yang melihat aku salah mesen.... hiks. Terpaksa deh itu makanan aku makan juga, walau diselingi oleh coca-cola. Sehingga nanti kalo orang tanya bagaimana rasa shasimi aku akan cepat menjawabnya dengan jawaban “ikan mentah rasa coca cola” Hiks..<br /><br />Kurang dari sejam kami selesai makan, tante Mala memberi isyarat padaku agar segera pergi untuk melanjutkan perjalanan setelah selesai membayar. Aku mengikutinya melangkah, namun aku agak kaget kupikir beliau akan menuju mobil untuk kami segera melanjutkan perjalanan menuju pulang, namun beliau malah melangkah kedalam gedung hotel disebelah, beliau memberi isyarat kepadaku untuk mengikutinya. Aku hanya memandangnya dan tanpa banyak bertanya aku bergerak mengikutinya. <br /><br />“Fan, Tante agak pening nih, mungkin lebih baik kita menginap disini, besok aja kita melanjutkan perjalanan, kalo dipaksakan tante bisa sakit nih”, katanya kepadaku seolah ingin meyakinkanku. Aku hanya mengiyakannya, dan seakan bahwa ini tidak masalah buatku.<br /><br />Setelah cekin dilobby, aku mengikutinya masuk kamar, jam menunjukkan kurang dari pukul 9 malam. Entah karena aku juga capek, letih atau apa, menyimpan tas yang kuambil tadi sebelum dimobil kami masuk, melemparkannya dan merebahkan diriku di ranjang, duh, pegel bener. Mengingat kejadian hari ini memang cukup membuatku letih, ada tambahan tenaga setelah makan tadi, namun aktivitas hari ini cukup membuatku menguras tenaga, kulihat tante mala, merebahkan dirinya di bangku yang tersedia dalam kamar, menyandarkan kepalanya sambil memejamkan mata.<br /><br />Beberapa saat kami terdiam, aku melangkah bangun menyalakan televisi yang berada didalam kamar, menggunakan remote yang tersedia untuk mencari siaran yang kurasa enak ditonton dan kembali bermaksud merebahkan diri kembali di ranjang, namun langkahku terhenti, kulirik Tante Mala, dan berkata “Tan, Tante sakit ? tiduran aja dulu di ranjang, istirahat “ kataku, sambil melangkah mendekatinya. Tante Mala membuka matanya sambil tetap memegangi keningnya, “Iya deh Fan, tante mala istirahat dulu” katanya sambil bangun dan beranjak mendekati sisi tempat tidur.<br /><br />Aku melihatnya, kami berganti posisi, kulihat beliau membaringkan tubuhnya di ranjang, menggunakan bantal dikepalanya dan berusaha memejamkan mata, aku hanya terdiam melihatnya, entah apa yang harus kulakukan, namun sepertinya aku dapat menduga apa yang terjadi padanya, mengalihkan pandangan darinya dan berusaha fokus pada televisi yang aku tonton.<br /><br />Beberapa lama kami terdiam seperti ini, aku seperti membayangkan kejadian tadi siang, persis seperti yang dialami tante Sandra. Membuat perutku seperti mendesir, mengingat kejadian tadi siang dimana aku dan Tante Sandra melakukan persetubuhan, kembali aku melirik Tante Mala, membayangkannya bersetubuh denganku, dan ini membuat dedeku semakin tegang.<br /><br />Berusaha menepiskan segala pikiran dari benakku, kembali memusatkan pikiran ke arah televisi, kulihat tante Mala, bangun dari ranjang, dan memandangku sambil berkata, “Fan, tante mo mandi dulu ah, mungkin nanti bisa lebih segar”, katanya. Aku memandangnya dan menganggukkan kepala seolah tak peduli namun seakan memberi persetujuan, namun aku tetap memandang televisi di kamar itu.<br /><br />Kulihat beliau mengambil sesuatu dari tasnya, mengeluarkan beberapa barang, menaruhnya dekat kaca yang berada disisinya dan kemudian kulihat beliau melangkah ke arah pintu kamar mandi, sambil membawa sesuatu seperti pakaian, memasuki kamar mandi, dan menutup pintunya. Duh, padahal aku mengharapkan kalo beliau mandi dengan pintu terbuka seperti Tante Sandra.<br /><br />Beberapa lama aku menunggunya mandi, sambil menonton televisi. Beliau keluar kamar mandi dengan muka tampak segar melangkah keluar, mengenakan penutup pakaian seperti kimono, warna putih, dan yang mebuatku deg-degan adalah, beliau mengenakan baju tersebut seperti tidak dikancing atau diikat pinggangnya dan jelas membuat payudaranya seperti hendak mencuat keluar.<br /><br />Berjalan melangkah ke arah meja berkaca disebelah ranjang tempat tidur, mematut-matutkan diri sejenak. Kulihat beliau seperti mengambil sesuatu dari pinggiran meja tersebut, seperti strip obat, mengambil beberapa kemudian memasukkan ke dalam mulutnya dan meneguknya dengan air yang telah tersedia disisi lain meja itu. Aku memperhatikan dan Kemudian seperti tidak perduli ada diriku didekatnya, tanpa kuduga sama sekali, beliau memelorotkan baju putih tersebut, membelakangi diriku. Namun hal itu malah membuatku terbengong-bengong. Memang aku sering melihat dan memperhatikan Tante mala dalam keadaan polos tanpa busana, namun biasanya hal itu tanpa beliau sadar bahwa aku ada didekatnya dan atau bila aku mengintipnya, tapi kalau ini jelas beliau tahu aku ada disitu dan jelas-jelas melihatnya dari pantulan kaca didepannya.<br /><br />Entah, jelas hal ini membuat aku terkesima, memandangnya terus seperti itu mungkin akan membuat aku gelap mata, berpikiran seolah-olah tante Mala memancing aku, merayu aku untuk menyetubuhinya, aku berusaha memalingkan pandanganku darinya, berusaha menepis bayang-bayang kotor yang kian menguasai pikiranku.<br /><br />Rambutnya yang agak ikal panjang, disisir kebelakang, kemudian dengan menggunakan cairan yang ada didekatnya, mengusapnya ketelapak tangan, membasuhnya di rambut kepalanya, selanjutnya menyisir kembali kebelakang, sesekali kedua tangannya diangkat kearah kepala, memegang kedua rambutnya, dan hal ini jelas membuat kedua payudaranya seperti ditonjolkan keluar, seakan menyuruh aku untuk melihat, memegang dan meminta aku untuk memuji-mujinya betapa indahnya kedua bukit kembar tersebut. <br /><br />Sering aku berpikiran, bahwa selama ini aku selalu dikelililngi oleh wanita wanita cantik dengan badan yang begitu indah, montok, putih, mulus dan tentu saja di anugrahi 2 buah bukit kembar yang juga montok, besar dan dengan bentuknya yang menggiurkan, entahlah kadang aku heran apakah dengan aku yang jelek, pendek, dengan tubuh yang pas-pasan ini selalu mendapat godaan yang rasanya sulit aku hindari.<br /><br />Bersambung . . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-86610150376179025862014-01-06T22:39:00.005-08:002014-01-06T22:39:26.917-08:00Gairah seorang tante - 2Akhirnya tak berapa lama kemudian, beliau berbalik, masih tak melihat ke arahku, diambilnya baju dari dalam tasnya, mengepasnya sebentar dikaca, kemudian memakainya. Kali ini Tante Mala kulihat menggunakan Bh warna Pink, wow, begitu serasi dengan kulitnya yang putih, Bh yang kulihat seperti transparant, mengaitkannya perlahan, menarik talinya kemudian mengepasnya agar menutupi seluruh payudaranya.<br /><br />Kemudian beliau mamakai baju tadi yang dipaskannya, mengangkat kaki kanannya, memasukkan baju tersebut dari bawah menahannya sebentar dipinggang. Kemudian menariknya keatas, serta memasukkan kedua tangannya agar tali bajunya berada tepat diatas pundaknya. Tante Mala, tampak cantik dan anggun dengan memakai baju tersebut. Kulihat beliau layaknya gadis yang masih duduk dibangku kuliah, tidak nampak bahwa usia beliau hampir mendekati kepala 4.<br /><br />Aku baru sadar, ketika tante mala menyemprotkan cairan pewangi ke tubuhnya, Tante Mala sangat rapi dan cantik, dan hal itu jelas memberitahukan padaku bahwa Tante Mala saat ini berencana untuk pergi ke suatu tempat. Dan tanpa kucegah dari mulutku keluar kata-kata “Tan, mo pergi kemana ? lah kirain pusing, bukannya tadi katanya gak enak badan ? “ kataku seolah mengomentari penampilannya.<br /><br />“Udah agak mendingan nih Fan, setelah mandi barusan” sahutnya menjawabku namun masih tetap memandangi wajahnya dicermin, kemudian membalikkan badannya dari cermin setelah memastikan bahwa penampilannya Ok. Aku tersenyum melihatnya, seperti melihat Moza, Mita atau Mala yang sering memintaku menilai pendapatnya kalau mereka akan pergi ke pesta atau akan jalan dengan temannya.<br /><br />“Fan, kita jalan yuk, kita ke sebelah, kan disebelah ada cafe dan music lounge, yuk kita kesana, santai aja sebentar, mo gak ?” katanya sambil tersenyum kepadaku. Aku agak terkaget mendengarnya, kupikir beliau saat ini hendak kemana gitu, entah kesuatu tempat, keluar dari tempat ini atau sekedar berkunjung ke temannya. Tempat tujuan yang bosen aku disuruh olehnya. Namun kali ini berbeda, beliau mengajak aku ke tempat dimana aku tidak menyangkanya. <br /><br />Aku hanya mengjawabnya singkat “boleh” dan tanpa banyak tanya aku mengikutinya berjalan, merapihkan bajuku satu-satunya yang melekat dibadan, agar kelihatan rapih memasukkannya kedalam celanaku.<br /><br />Tempat itu memang tidak jauh dari ruang kamar kami, diseberang lahan parkir yang ada, agak kebelakang, mungkin saat ini waktu telah menunjukkan pukul 10 lewat sedikit, jadi kulihat areal parkir telah agak ramai dan penuh, lampu hias menyala silih berganti warna, seakan menjadi icon bahwa tempat itu adalah suatu arena hiburan.<br /><br />Aku menurutinya, mengikutinya masuk, namun aku mendahuluinya ketika kami akan memilih tempat duduk, aku memeriksa ke sekeliling ruangan, bagaikan bodyguard yang akan melindungi tuannya, memastikan semuanya aman, aman dari gangguan dan godaan yang mungkin akan menimpa tante Malaku, memilih dan menuju salah satu meja yang kurasa aman dan nyaman untuk kami berdua. <br /><br />Aku sengaja memilih posisi duduk yang agak pojok, yang agak gelap namun tidak jauh dari depan panggung, sehingga kami dapat menyaksikan grup pemusik yang akan beraksi di depan. <br /><br />Seorang waitress menghampiri kami, cantik dengan kemeja warna putih dan celana jeans biru muda, menawarkan kami minuman. Mulanya aku hendak memesan minuman ringan saja, lumayanlah untuk mengisi suasana sambil mendengarkan alunan musik. Namun ketika kupandang tante Mala, kudengar kata-kata keluar dari mulutnya cukup jelas bahwa ia memesan salah satu minuman keras terbaik sambil menyebut salah satu merk terkenal dan memastikan bahwa pesananku sama dengannya. Tercengang aku mendengarnya !.<br /><br />Aku hanya terdiam memandangnya, sambil memperhatikannya, aku berpikir, apakah tidak salah yang aku dengar dan lihat ? , apakah Tante Mala kini sudah berubah ? Tante Mala yang dalam kesehariannya aku tahu, apakah kini telah berubah liar ? apa yang membuatnya demikian ? apakah ada sesuatu yang sangat membuatnya seperti ini ? apakah beliau khawatir bahwa perselingkuhannya dengan Om Herman, diketahui oleh Tante Sandra dan akan membuat hal tersebut juga sampai ke telinga Om Mirza ? sehingga hal ini membuatnya stress ?<br /><br /><br />Satu demi satu lagu mengalir dibawakan oleh grup pemusik di depan sana, kulihat tante Mala, beberapa kali menengguk minuman itu, menghabiskan gelas pertama dengan cepat, kemudian menuangkannya kembali dari botolnya. Beliau sesekali menyuruhku minum, meminta sebatang cigaret dariku, menyalakannya dan menghisapnya perlahan, agak terbatuk pada hisapan pertama, membuat aku tertawa karena baru kali ini aku melihatnya merokok.<br /><br />Teguk demi teguk, gelas demi gelas mengalir kedalam kerongkongan kami, seiring lagu demi lagu mengalir, tak terasa menit demi menit berlalu, mungkin 2 jam kami telah berada disini. <br /><br />Kulihat wajah tante Mala telah berubah memerah, sepertinya beliau telah mabuk, aku sendiri memang merasa demikian juga, namun aku masih dalam keadaan sadar dan terkendali, ketika kulihat mata beliau sudah kelihatan seperti orang mabuk dan kadang berteriak sambil bertepuk tangan diiringi suara tertawa tak karuan, dan meminta lagu kearah depan dengan berteriak namun dengan suara tak jelas meracau, aku berpikir harus bertindak cepat. Kuraih Tante Mala dalam pelukannku, perlahan aku mengajaknya berdiri, memapahnya, meninggalkan sejumlah uang untuk membayar tagihannya dan menggiring tante Mala keluar.<br /><br />Mulanya tante Mala menolakku, berkata kepadaku agak keras agar menunggu sebentar lagi, namun aku takut beliau akan semakin tak terkendali, sehingga dengan setengah memaksa aku memintanya untuk kembali ke kamar.<br /><br />Akhirnya beliau menurutiku, dengan alasan yang kelihatannya masuk akal baginya, aku akhirnya berhasil memintanya kembali ke kamar, dengan diiringi tatapan mata sejumlah pengunjung dan pelayan cafe itu. Aku tak perduli.<br /><br />Memasuki kamar, Tante Mala langsung merebahkan diri diranjang, wajahnya tersirat rasa kekesalan, namun entah apa yang membuatnya seperti ini. Kututup pintu, kukunci dengan maksud agar ia tidak keluar menyelinap kembali ke tempat tadi, kupandang ke arahnya, ia sepertinya berusaha memejamkan matanya, ditutupinya dengan pergelangan tangannya. Aku juga sepertinya setengah mabuk, kududukkan pantatku disofa, memandanginya, seakan menunggunya bereaksi, mataku kuusahakan juga terpejam. <br /><br />Kulihat ada gerakan dari tante Mala, nampaknya ia berusaha bangun, turun dari ranjang, mengambil sesuatu dari tasnya, ternyata beliau hendak mengganti baju yang dikenakannya. Kulihat ia berdiri disisi ranjang, mencium baju merah yang dikenakannya, membaui ketiaknya, kemudian memelorotkannnya, melepas Bhnya, dan mengenakan baju tidur warna hitam. Dengan wajah agak merah, akibat pengaruh minuman yang diminumnya, namun itu jelas membuatnya tampak lebih cantik, sexy dan menggiurkan.<br /><br />Aku melihatnya, memandanginya sejenak, dengan baju tidur warna hitam, tanpa bra, kulitnya yang putih, tampak agak kecoklatan karena pengaruh lampu ruangan yang agak temaram. Duduk disofa disebelahku, seolah menggodaku untuk menjamahnya, memancing darah lelakiku bergolak, memompa napsu birahiku. <br /><br />Kusingkirka pikiran itu jauh-jauh, kulihat ia memandangku, menunggu reaksiku, namun aku tak bergerak, berusaha memejamkan mata, menepis bayang2 indah didepanku. Duh mudah2an aku kuat menghadapi cobaan ini, biar bagaimanapun, walaupun jelas dia bukan muhrimku, namun beliau adalah Tanteku, sepupu jauh dari ibuku. <br /><br />Kulihat ia bangkit lagi dari sofa disisiku, melangkahkan kakinya kearah pembaringan, membuka lemari pendingin disebelahnya dan kulihat ia mengambil minuman disana, membuka kalengnya dan meneguknya. Aku memperhatikannya sejenak, ada rasa haus juga menerpa, segera aku bangkit menuju lemari pendingin, mengambil botol minuman yang kurasa cukup untuk menambah rasa peningku.<br /><br />Kami berdua sepertinya malam ini sama-sama mempunyai persoalan, tapi entahlah, seolah kami tak ingin saling membantu untuk memecahkan persoalan itu. Seteguk demi seteguk, kuhabiskan minuman itu, membuat kepalaku semakin berat, bergerak limbung, merebahkan kembali tubuhku disofa. Kulihat Tante Mala telah tergolek kembali di ranjangnya, memutar-mutar tubuhnya, bolak-balik, layaknya orang yang resah. Kulihat pakaian tidurnya sudah tidak karuan, bagian dadanya sudah melorot kebawah, dan celakanya kulihat bagian bawahnya tidak menggunakan celana dalam, kini baju tidurnya hanya menutupi bagian pinggangnya saja !.<br /><br />Tante Mala memandangku, dengan mata yang sayu, menatapku, “Fan, sini fan, temenin Tante Bobo, badan tante kok panas dingin begini ?” katanya kepadaku. Mataku kukejap-kejapkan, seolah hendak mengusir pening akibat pengaruh minuman yang kutenggak, memandangnya nanar, berusaha bangkit. Entahlah apa yang ada didalam pikiranku, seakan blank didalam otakku dan ada iblis yang membisiku untuk memanfaatkan peluang ini. Melangkah dengan nanar, kubuka baju kemejaku, celana panjangku, dengan hanya bercelana pendek, kurebahkan tubuhku disisinya, mensejajarkan dengan badannya, seakan ingin membuatnya tenang dan berbaring disebelahnya, terpejam.<br /><br />Rasa pusing akibat minuman keras membuatku lupa diri, ingin tidur pulas namun seolah ada beban dipikiranku, kupejamkan mata dengan menutupinya dengan lenganku, berusaha menepis bayang-bayang kotor yang berkelebat. Beberapa menit berlalu, hingga.....kudengar sayup-sayup seperti orang menggumam ditelingaku. “Mas, maafkan aku ya ?, jangan marah ya Mas, aku gak akan mengulanginya lagi, Mas ... maafin ya mas ?”, entah ditujukan kepada siapa hal itu, Tante Mala tak mungkin memanggil aku dengan sebutan Mas, namun siapa lagi orang lain disini yang diajaknya berbicara selain aku. <br /><br />Dalam kepeningkanku, tak kuhiraukan gumaman dan ocehan2 Tante Mala, aku tak peduli, yang jelas saat ini didalam otakku adalah berusaha untuk tidur dan berharap pening yang melanda otakku dapat segera hilang. Namun hal tersebut tak berlangsung lama, dalam kesadaranku yang tidak sepenuhnya, kurasakan disebelahku Tante Mala bangkit.<br /><br />Entah apa yang akan dilakukannya, yang jelas saat ini aku hanya fokus pada rasa pusing yang melandaku, tapi ada rasa aneh melanda, aku berusaha membuka mataku yang semakin berat, berusaha melihat apa yang terjadi. <br /><br />Tiba-tiba kurasakan celana pendekku seperti ada yang menarik, memelorotkannya kebawah, mengeluarkannya dari kakiku, hingga membuatku telanjang bulat, entahlah sepertinya aku tak kuasa untuk menahannya, seperti membiarkannya terjadi, serta menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.<br /><br />Aku layaknya cowok lugu, yang tidak mengerti apa yang sedang dan akan terjadi, berusaha membuka mata, namun seakan ngeri untuk membayangkannya, dan berusaha memejamkan matanya kembali. Kulihat tante Mala sedang memegang penisku, membelai-belainya, memegang batangnya mengocoknya perlahan, membuat penisku yang semula rebah, bangkit, menegang dan membuatnya mengeras.<br /><br />Ada rasa geli bercampur enak kurasakan, sulit untuk kubayangkan, karena sepertinya ini baru pertama kali terjadi padaku. Seorang wanita cantik memegang kemaluanku dan membuatnya bangkit, membuat darah kelaki-lakianku bergolak, yang biasanya aku lakukan sendiri, kini dilakukan oleh seorang wanita cantik yang selalu menjadi imajinasiku dalam bercinta.<br /><br />Terhenyak aku ketika kurasakan rasa nikmat yang sangat, kutundukkan kepala untuk melihat kearah bawah selangkanganku, kulihat saat ini Tante Mala, layaknya seorang profesional, memegang penisku, mengarahkannya kepada payudaranya, mengocok-ngocoknya, menekan kepala penisku menyentuh puting payudaranya, kemudian beliau menaruh diantara keduanya, dibelahannya dan memaju-mundurkan badannya, seakan akan kedua payudara indah, putih, dan montok itu sedang mengurut-ngurut penisku.<br /><br />Aku hanya bisa mendesah, merasakan kenikmatan yang sulit kubayangkan, penisku semakin menegang. Tak lama kemudian, seperti ada yang menarik penisku, agar lebih memanjang, mengurutnya perlahan, entah apa yang ada, kudengar lenguhan dan dengusan tante Mala, perlahan seolah menahan napas dan menghembusnya pelan, Tante Mala tampak sedang memasukkan penisku kedalam mulutnya !.<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-57555622996075192862014-01-06T22:39:00.002-08:002014-01-06T22:39:02.562-08:00Gairah seorang tante - 3Aku menggelinjangkan badanku, merasakan sensasi yang baru pertama kali kurasakan, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, merasakan kenikmatan yang penuh sensasi. Aku hanya dapat mengejap-ngejapkan mataku seakan memintaku untuk sadar, bahwa kenikmatan yang kualami ini adalah benar-benar suatu yang real, benar-benar terjadi.<br /><br />Beberapa menit berlalu, penisku semakin menegang, ketika tiba-tiba penisku serasa dicengkeram, kurasakan Tante Mala seperti menaikiku, mengangkangkanku seakan ingin menaruh pantatnya diatas penisku, dalam pandangan nanarku kurasakan penisku dipegang dan diarahkan kekemaluannya. Perlahan namun pasti, Tante Mala mengarahkan penisku kelubang vaginanya, seolah akan mendudukinya, mencobloskannya, hingga seluruh batang penisku seakan masuk tertelan oleh rongga itu.<br /><br />Ada rasa hangat dan basah ketika penisku masuk kedalamnya, dalam ketidaksadaranku, aku mencoba meraih tubuhnya, berusaha bangkit dari tidurku, namun aku seperti tak mempunyai tenaga untuk bangkit, tak berdaya, hanya bisa pasrah menerima perlakuan ini. Tak lama kemudian, kurasakan tante mala dengan bertumpu pada kedua kakinya, menaik turunkan pantatnya, sehingga penisku yang berada dibawahnya seakan-akan keluar masuk, aku hanya bisa mendesah keenakan dan sesekali ikut irama pantatnya dengan mengangkat pantatku. Pening yang melanda kepalaku seakan menjadi beban tersendiri, menyesal aku tadi banyak minum, sehingga apa yang terjadi saat ini tidak sepenuhnya berada dalam kesadaranku.<br /><br />Tante Mala sepertinya juga tidak dalam keadaan sadar, entah apa yang dilakukannya itu, benar-benar terjadi seperti yang diinginkannya atau diluar kesadarannya. Desahan yang keluar dari mulutnya semakin tidak teratur, terengah-engah, dengan desisan disertai lenguhan dan kata-kata yang tak jelas, terdengar ditelingaku.<br /><br />Menit demi menit, berlalu kurasakan tante Mala kulihat semakin liar tak terkendali, baru kudengar dan kualami sendiri, Tante Mala tampak menggoyang-goyangkan tubuhnya kekiri dan kekanan, menggoyang-goyangkan pantatnya naik turun, maju mundur, seakan hendak menggilas penisku dengan pantatnya, seakan kenikmatan yang tiada tara sedang melandanya. Memelukku, menindihkan badannya diatas tubuhku, sambil tak henti-hentinya menggoyang-goyangkan pantatnya, terus... terus.. dan terus....<br /><br />Ketika kurasakan cengkraman pada penisku semakin keras, ketika kurasakan adanya goncangan dari tubuh Tante Mala, ketika kurasakan adanya jeritan dan rintihan yang keluar dari mulutnya, ketika kurasakan adanya getaran yang melanda tubuhnya. Entahlah mungkin ini sensasi yang pertama kali kurasakan, ada kenikmatan tersendiri ketika melihat raut wajah kepuasan tergambar dimatanya, ketika kulihat beliau menengadahkan kepalanya dengan menjerit dan merintih menandakan telah dicapainya titik klimaks yang diinginkannya. <br /><br />Tak tahan aku menahan kenikmatan yang kurasakan juga, serasa sesuatu akan meledak dari ujung penisku, ingin mencapai titik kulminasi sama seperti yang dialaminya. Ketika cengkeramannya semakin ketat, kugapai tubuhnya, berusaha mendorongnya, ingin kuhindari hal yang tak diinginkan, kupaksakan untuk menarik cepat penisku keluar dari lubang kenikmatan itu, menghindari semburan maniku keluar dari rahimnya. Namun rasanya aku tak kuasa untuk membendungnya, beberapa saat menjelang tercabut dari lubang vaginanya, kurasakan semburan panas melanda, memuncratkan sebagian isinya, didalam lubang kenikmatan tersebut.<br /><br />Kurasakan kami berdua sama-sama lemas, tenaga kami seakan tersedot habis, aku hanya menatapnya, memandang wajahnya. Wajah tanteku yang cantik, yang selama ini hanya dapat kubayangkan, yang sering menjadi bahan imajinasiku dalam bercoli ria, yang selama ini hanya dapat kunikmati tanpa dirinya mengetahuinya, kini berbalik malah beliaulah yang menikmatiku, dalam keadaan diriku yang setengah sadar. Sosok cantik kini terbaring didalam pelukanku, rebah diatas tubuhku, dengan wajah terpejam, penuh kepuasan.<br /><br />Aku mencoba menyadarkan diri, berusaha untuk bangun, mencubit diriku untuk meyakinkan aku bahwa yang kualami ini bukanlah mimpi. Berusaha meyakinkan diriku bahwa wanita yang kini dalam pelukanku ini adalah benar-benar beliau, benar-benar tante Mala. <br /><br />Kupandangi langit-langit kamar, kucoba menerawang kejadian-kejadian yang terjadi pada diriku hari-hari terakhir ini. Kulihat wajah bersimbah peluh didadaku, menggeserkannya, memindahkannya, dan merebahkannya disampingku. <br /><br />Kutatap wajah cantik polos disisiku, memiringkan tubuhku menghadapnya, tampak tante Mala terpejam, seperti tertidur pulas, wajahnya masih berona kemerah-merahan. Bunyi napas teratur seperti keluar dari mulutnya, dan tak lama kulihat matanya tampak terbuka sedikit, seperti diriku bertatapan aku dengan matanya. Namun tak kulihat ekspresi kaget atau apa, yang keluar tergambar dari wajahnya, sepertinya beliau sendiri belum sepenuhnya sadar dengan apa yang terjadi barusan.<br /><br />Aku memandangi wajah cantik, putih dengan bibir sensual dihadapanku, menatapnya dan menuruni pandangan kebawah, keseluruh lekuk tubuhnya, mulai dari lehernya yang jenjang, dadanya yang membusung padat, lekuk pinggangnya dan perutnya yang ramping terjaga, memandangi rambut tipis kehitaman yang tumbuh dibukit kemaluannya, pahanya yang mulus dan dengan betis yang bentuknya bagaikan bulir padi. Namun sungguh tak kuduga sama sekali memandang hal ini membuat dedeku yang semula rebah, menjadi bangkit lagi !.<br /><br />Entah dorongan dari mana, ingin sekali kupuaskan diriku lagi. Ingin merasakan tubuhnya lagi, sepuas-puasnya, seakan ada yang mengatakan kepada diriku bahwa mungkin ini adalah kesempatan satu-satunya, kesempatan pertama dan terakhir yang mungkin akan terjadi pada diriku.<br /><br />Tak lama aku segera bertindak, berusaha membuat tegang dedeku, memegangnya dengan tanganku, mengurut dan mengocoknya perlahan, untuk membuatnya semakin tegang dan mengeras. Tanpa menunggu lama, aku bergerak menindih tubuh Tante Mala, menciumi wajahnya, bibirnya, dengan penuh napsu, mengulumnya, memainkan lidahku di dalam mulutnya. <br /><br />Tak ada reaksi dari Tante Mala, ekspresi wajahnya seakan pasrah, seakan menyuruhku untuk memuasinya semampu yang aku lakukan. <br /><br />Aku berpindah mengarahkan ciumanku ke arah lehernya, ketelinganya, memainkan lidahku dicuping telinganya, membuatnya tergetar dan kemudian mengarahkan ciumanku kearah dadanya. Kukecup pelan dada putih, besar dan montok itu, menciuminya, memainkan lidahku mengelilingi putingnya. Kulihat kepala beliau menengadah, menikmati kembali sensasi yang kuberikan. Aku hentikan sejenak, namun kulihat diwajahnya seakan memprotes diriku, memintaku untuk meneruskan apa yang kulakukan dan bahkan menginginkannya lebih. Aku memainkan lidahku kearah putingnya, memasukkan puting coklat kemerah-merahan itu kedalam mulutku, memainkannya dengan lidahku, kuhisap, kesedot dan sesekali kugigit perlahan. Kuremas payudara itu dengan tanganku berganti-ganti dengan hisapan dan mainan lidahku, membuatnya kelihatan seperti orang yang blingsatan. <br /><br />Aku menuruni dadanya, mengarahkan ciumanku terus kebawah, mengecup seluruh tubuhnya, mulia dari bawah dada, perut hingga mencapai bukit indah dibawah. Kecium dan kumainkan lidahku disekitar paha dan kemaluannya, membuatnya menggelinjang karena geli tertahan. Membangkitkan gairahnya kembali, ketika kecupan akan kuarahkan ke selangkannya, kurasakan bagian itu telah basah kembali. Tak perduli dengan keadaan, kubuka kedua paha yang panjang itu agar terbuka lebar, kususupkan kepalaku diantara kedua pahanya, kumainkan lidahku di sana, dibibir kemaluannya.<br /><br />Kutengadahkan kepalaku keatas, kepandang wajahnya, kulihat wajah Tante Mala sudah menggambarkan keinginan yang sangat. Keinginan agar kepuasannya terpenuhi. Kuhentikan sasaran lidahku pada area vaginanya, merangkak naik, meniti tubuhnya. <br /><br />Kuarahkan penisku kelobang kenikmatan yang telah basah itu, perlahan kumasukkan dan kudorong masuk kedalamnya, sambil kupandangi wajahnya, kulihat Tante Mala memandangku dengan sayu, seperti tak sadar dengan siapa dirinya bersetubuh, berusaha mengerenyitkan matanya untuk mengetahui siapa sebenarnya diriku, namun disisi lain seolah meminta kepadaku agar segera melanjutkan apa yang telah aku mulai.<br /><br />Kedesakkan penisku kedalam rongga kenikmatan itu, memaju mundurkannya perlahan, memegang kedua lututnya, seakan membantuku untuk menahan tubuhnya agar tak terdorong kedepan. Perlahan kudorong, dan kulesakkan tiba-tiba, seakan aku ingin menyentuh ujung rahimnya dengan kepala penisku, memberikannya sentakan yang membuatnya menjerit tertahan. Kemudian kutarik perlahan dan kusentakkan kembali mendorongnya, berkali-kali. Aku seakan ingin mengatakan kepadanya, inilah penis terbaik, penis yang mampu memberikan kenikmatan yang lebih baik dibandingkan penis yang dimiliki oleh Om Mirza dan Om Herman. Kugoyang-goyangkan pantatku kekiri dan kekanan, memberikan irama yang bervariasi kepadanya, memaju mundurkannya, perlahan , makin cepat, cepat, semakin cepat. <br /><br />Dada tante Mala seolah ikut berguncang-guncang, payudaranya seakan terbawa arus, kepalanya menengadah keatas, beliau seakan berusaha menahan payudaranya agar tak ikut bergoyang, memegang denga kedua tangannya, namun hal ini malah membuat seolah-olah tangannya membantu untuk memberikan kepuasan kepada dirinya melewati remasan-remasan pada payudaranya. Indah sekali pemandangan yang kusaksikan ini, wajah cantik, body mulus dihadapanku, tersaji dengan siap sedia, memberikan kenikmatan kepadaku dengan tiada taranya. <br /><br />Aku mendesah tak karuan menikmati sensasi yang kualami ini, sensasi yang biasanya kudapatkan tanpa perlawanan, kini terjadi sebaliknya, dimana wanita yang selama ini menjadi bahan hasrat seksualku kini melayaniku, dengan hasrat birahinya. Entah berapa lama ini terjadi, kulihat Tante Mala sudah mengerang tak karuan, merintih, mendengus, melenguh tak terkendali, kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan seakan kenikmatan yang kuberikan sangat dahsyat. Aku memandang wajahnya dengan penuh napsu, tiada kata yang dapat kugambarkan saat ini, aku hanya dapat menggumamkan kata-kata “Ouugghh Tante..... Oouggghh...” sambil terus mendorong, menarik, memaju-mundurkan penisku kedalam vaginanya. <br /><br />Bersamaan dengan jeritan dan erangan yang keluar dari mulut Tante Mala, kurasakan penisku seperti hendak kembali meledak, ingin mengeluarkan cairan putih kental, tak ada kesempatan bagiku untuk berpikir, namun nalarku berjalan cepat. Ingin segera kutarik keluar penisku dan mengeluarkannya diluar lubang kemaluannya, menghindari hal-hal yang tak diinginkan. Ketika saat itu hendak terjadi, Tante Mala seakan mengerti dan faham, beliau bangkit hendak memelukku, seolah hendak memaksaku mengeluarkan cairan hangat kental itu didalamnya, sehingga aksi yang bertolak belakang terjadi. <br /><br />Kudengar jeritan tertahan keluar dari mulutnya “Mas”, hanya itu yang sempat kudengar, namun fokus pikiranku berada diujung penisku, kurasakan sesuatu telah melesak keluar, penisku yang semula hendak kutarik keluar dari lubang kenikmatan tersebut, sebelum keluar semua, telah memuncratkan cairan tersebut didalamnya. Ooh……<br /><br />Terhenyak aku dalam keterkejutan, terdiam, terduduk lemas, menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kulihat Tante mala tampak memancarkan senyum kepuasan, mengatur napasnya yang tadi terengah-engah agar beraturan kembali. Meletakkan tangan kirinya diatas perutnya sementara tangan kanannya tergolek lemah disamping tubuhnya kepalanya tergolek kekanan, tersenyum dengan mata terpejam. Aku merebahkan diri disamping kirinya, mensejajarkan tubuhku dengan tubuhnya. Tubuh kami berdua serasa mandi peluh, merasakan hembusan hawa yang keluar pendingin ruangan, menunggu hingga tubuh kami mendingin.<br /><br />Aku menarik selimut dibawah kaki kami, menutupi tubuh kami yang polos tanpa busana, membuatnya agar tetap hangat. Aku memejamkan mataku, berusaha untuk tertidur. Tak berapa lama kudengar dengkur halus disebelahku, diiringi bunyi napas teratur. Masih pening kepalaku, berusaha menerawang dan fokus ke satu pikiran, banyak bayangan berkelebat dalam kelopak mataku, semakin lama semakin gelap, gelap dan gelap.<br /><br />---<br /><br />Pagi hari, terbangun aku dengan kepala masih terasa berat, kulihat tante mala masih tertidur pulas, matahari mungkin telah meninggi, ada rasa mendesak yang ingin keluar dari ujung penisku, memaksaku melangkahkan kaki ke kamar mandi.<br /><br />Kubuang air seni dengan derasnya kedalam toilet, kemudian kuputuskan untuk menyegarkan badanku dengan mengguyurnya dengan air, dingin menerpa seluruh badanku, segar.<br /><br />Entah berapa lama aku melakukan ritual pembersihan badan ini, dari mulai berendam, menyabuninya, menggosok seluruh badan, hingga mengeruk daki yang menempel (dapet kali barang sekilo mah, ada yang minat ?). <br /><br />Selesai mandi, kulihat tante Mala juga terbangun, kulihat beliau sama sepertiku ketika aku bangun tadi, layaknya orang linglung, aku mencoba tersenyum kepadanya, dibalasnya dengan senyuman juga, namun terasa hambar.<br /><br />Dalam hatiku timbul pertanyaan, apakah Tante Mala sadar dengan apa yang telah kami lakukan semalam, apakah beliau sadar bahwa beliau semalam sangat liar sekali ketika bersetubuh denganku ? apakah beliau menyadari bahwa beliau semalam melakukannya dengan aku ? keponakannya ? Entahlah. <br /><br />Kulihat Tante Mala menggeliatkan badannya, seolah berusaha menghilangkan rasa pegal yang melandanya, namun sesaat kemudian beliau seperti terpaku, duduk termenung. Entahlah, aku tak dapat membaca jalan pikirannya, saat ini yang kupikirkan adalah nasibku, bagaimana nasibku jika seandainya beliau tahu bahwa aku menidurinya ? apa yang harus kulakukan jika tiba-tiba saja Tante mala menyadarinya ? entahlah… berusaha aku melepaskan bayang-bayang itu, kulihat tante mala bangkit dari ranjang dan berjalan melangkah menuju kamar mandi.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-46373062025182213252014-01-06T22:38:00.005-08:002014-01-06T22:38:40.293-08:00Ibu mertuaku yang jandaKeluarga istriku terdiri dari ibunya yang tak lain adalah mertuaku. Namanya Heny, umurnya baru 38 tahun, kelahiran tahun 1964. Mertuaku yang peracik jamu ini adalah istri ketiga dari camat di kampungya dari pernikahannya yang menghasilkan tiga anak. Anak pertama Cheny, 24 tahun, bekerja pada salah satu toko swalayan di Bandung, kedua Venny yang menjadi istriku, 22 tahun, seorang karyawati di perusahaan swasta dan ketiga Nony masih 20 tahun, baru lulus SMU dan masih menganggur. Ketiga wanita inilah yang pernah menjadi santapan seksualku. <br /><br />Mertuaku yang biasa kupanggil Mama ini pindah ke Bandung setelah suaminya meninggal dan tinggal di rumah anak dari istri pertama suaminya. Sebenarnya suaminya memiliki cukup banyak harta tetapi karena mertuaku kawin di bawah tangan, jadi dia tidak mendapatkan harta warisan apa-apa selain perhiasan-perhiasan dari suaminya itu. Karena ada perselisihan, mertuaku dan ketiga anaknya pindah dari rumah itu dan memulai usaha menjadi penjual jamu gendong untuk menafkahi ketiga anaknya. Namun karena sekarang ini dia merasa sudah tidak mempunyai tanggungan apa-apa lagi dan juga telah mempunyai rumah di pinggiran kota Bandung, dia sudah berhenti dari kegiatannya itu. Aku dan istri setiap akhir bulan selalu menyempatkan diri ke rumah mertuaku sekaligus membawa uang ala kadarnya sekedar untuk menambah biaya hidup sehari-hari. <br /><br />Namun pada hari itu, Sabtu, entah kenapa istriku tidak enak badan dan menyuruhku pergi sendiri saja. Kubawa motorku ke arah selatan kota Bandung hingga satu jam kemudian aku sampai di rumah yang sederhana tapi kokoh itu. Rumah itu sepi namun pintunya terbuka lebar-lebar. Seperti biasanya kurebahkan tubuhku di bangku bale-bale bambu yang ada di ruang tamu untuk melepas lelah. Tak lama kemudian mertuaku datang. <br /><br />"Eh, Dik Willy, sudah lama Dik?" <br />Dia menyapaku memang kesannya basa-basi tetapi sebenarnya tidak. <br />"Enggak, barusan kok", jawabku menyambut sapaannya. <br />"Mana Ida?", tanyanya. <br />"Lagi sakit, Ma. Katanya demam tuh, kusuruh istirahat saja" jawabku. <br />"Oh, wah, wah, wah, jangan-jangan tanda-tanda mau punya anak tuh", ujar mertuaku senang. <br />Memang dia ini sangat mendambakan cucu dari pernikahan kami. <br />"Mudah-mudahan, Ma" <br />"Ya sudah, sudah makan belum. Mama punya sayur asem sama ikan asin pake sambel terasi, kamu mau nggak?", mertuaku menawariku makan. <br />"Iya, aku mau banget tuh" <br />Bergegas aku ke ruang makan dan melihat hidangan yang ditawarkannya itu masih belum disentuh siapapun. Sambil makan kami mengobrol lagi. <br />"Nony ke mana Ma?" tanyaku. <br />"Katanya piknik sama temen-temennya ke luar kota, kemarin sore berangkatnya" <br />"Oh", jawabnya. <br /><br />Memang mertuaku hanya tinggal berdua dengan Nony karena Cheny lebih memilih kost di dekat tempatnya bekerja. Kami mengobrol tentang macam-macam sampai obrolan yang nyerempet-nyerempet. <br />"Kamu ini sudah hampir dua tahun kok belum punya anak juga?" <br />"Ya enggak tahu tuh, Ma" <br />"Apa kamunya yang nggak bisa? Kalo nggak bisa sini Mama ajarin" <br />"Ajarin apa, Ma?" <br />"Mama buatin jamu biar subur" <br />"Ah bisa aja Mama nih" <br />Obrolan sengaja kupancing dan kuarahkan ke masalah seksual. <br />"Ma saya boleh nanya nggak?" <br />"Apa?" <br />"Dulu Pa'e sering dibuatin jamu nggak?" <br />"Ya kalo lagi sakit aja" <br />"Untuk yang lain?" <br />"Yang lain tuh apa?" <br />"Jamu kuat lelaki misalnya?" <br />"Ha, ha, ha, kamu ini ada-ada saja. Nggak usah pake begituan juga mertua lakimu itu sudah kuat, kok. Malah sebelum mati dia nambah lagi satu" <br />"Jadi nggak pernah sama sekali, Ma?" <br />"Pernah sich sekali-kali. Itu juga dia yang minta" <br />"Terus Mamanya gimana?" <br />"Ya tokcer lah, ha, ha, ha, eh, kamu kok tanya itu sih?" <br />"Terus sekarang ini Mama kalo lagi pengen gimana?" <br /><br />Wajahnya sedikit memerah tetapi dijawabnya juga, "Ya, banyak-banyakin aja kerjaan, ya masak, nyuci piring, nyapu pekarangan, entar juga lupa, terus sudahnya, capek, ya tidur" <br />"Oh", jawabku. <br />"Kamu ini nanyanya ngawur, aja" <br />"He, he, he.." <br />"Sudah sore sana mandi" <br />"Iya Ma" <br /><br />Sementara aku mandi, kurasakan penisku yang sudah berdiri tegak. Kukocok penisku sambil membayangkan tubuh mertuaku. Mertuaku ini masih lumayan kencang walau sudah memiliki anak tiga. Menurut istriku, dia rajin luluran kulit sawo matang disertai dengan minum jamu rutin. Perutnya masih cukup ramping walaupun sudah ada sedikit lipatan-lipatan lemak. Buah dadanya yang berukuran 36B itu tetap kencang karena ramuan dari luar disertai jamu-jamuan demikian juga dengan bongkahan pantatnya. Satu hal lagi, dia ini tidak pernah memakai daster, atau baju apapun. Pakaian sehari-harinya adalah kain kebaya dengan kemben yang dililit hingga dadanya. <br />"Dik Yanto, nanti kalau sudah airnya diisi lagi ya?" <br />"Iya, Ma". <br /><br />Setelah mandi kupompa air di luar kamar mandi sementara itu mertuaku berjongkok mencuci piring di bawah pancuran pompa tangan. Ember yang telah terisi kubawa ke kamar mandi untuk diisikan ke bak, begitu seterusnya hingga penuh. Sambil memompa kuperhatikan belahan buah dada mertuaku hingga membuat penisku berdiri lagi hingga tak sadar handukku terlepas. <br />"Wah, semalem belum dikasih 'makan' ya?", begitu sindir mertuaku. <br />"Iya nih, Ma" <br />"Kenapa sih kamu kok cuma liat nenek-nenek aja langsung berdiri?" <br />"Abis Mama montok sih", jawabku asal saja. <br />"Hus, apanya yang montok" <br />"Itu belahan teteknya, makanya saya jadi begini" <br />"Oh ini, mau lihat?" <br />"Iya, mau, mau Ma" <br />Sejenak dia berbalik terus membuka kembennya hingga perutnya yang cukup ramping itu terbuka. <br />"Nih, liat aja", katanya sambil kupegang buah dadanya. <br />"Eh katanya cuma liat?" <br />"Ya liat sama pegang, Ma" <br />Kuremas-remas buah dadanya hingga nafasnya tersengal. <br />"Sudah To, sudah" <br />Tapi aku terus saja meremasnya dengan bersemangat. <br />"Sudah To, Mama mau mandi dulu" <br />"Bener mau mandi apa mau yang lain?" <br />"Bener Mama mau mandi" <br />"Nanti lagi ya?" <br /><br />Mertuaku tidak menjawab, hanya berlalu ke kamar mandi. <br />Aku tunggu di kamar tidurnya hingga beberapa menit kemudian mertuaku sudah masuk ke kamarnya lagi. Tubuhnya hanya berbalut kain saja. Yang membuatku kaget adalah mertuaku membuka begitu saja kainnya di hadapanku yang masih berbaring. Kulihat buah dada yang cukup sekal tadi disertai dengan perut yang ramping dan pantat yang montok. Yang membuatku tak tahan adalah belahan vaginanya yang berbulu sangat lebat berbentuk segitiga. Pelan-pelan kudekati dia dengan pelukan yang cukup hangat dan ciuman yang kuat di bibirnya, mertuaku hanya pasrah saja. Kuteruskan tindakan yang tadi kulakukan di luar. Kali ini aku berjongkok lalu kumainkan vaginanya dengan mulutku sementara tanganku naik turun bergantian. Kuremas-remas bongkahan pantatnya yang padat itu dengan tangan kanan dan tangan kiriku memelintir-melintir puting susunya dengan sesekali menjumput dan meremas buah dadanya itu. Begitu terus bergantian dengan tangan kanan dan kiri. Pada saat yang bersamaan kuhisap-hisap dengan gemas bibir vaginanya. <br />"Aghh, aghh, aghh", suara itu keluar dari mulut mertuaku di iringi dengan suara dari mulutku yang terus menghisap vaginanya yang banjir itu. <br />Begitu seterusnya hingga, "Udahh, aghh, masukin aja punya kamu, To". <br /><br />Aku rebahkan mertuaku ranjang dengan pantat dan pinggulnya berada di pinggir ranjang, kedua kakinya kuangkat ke bahuku. Aku berlutut di lantai dengan penisku berada tepat di pintu liang vagina itu. Kumain-mainkan dulu kepala penisku di kelentitnya dengan berputar-putar lalu baru kuturunkan ke vaginanya. Perlahan tapi pasti kumasukkan penisku ke liang vaginanya. <br />"Eghh.., sstt, pelan-pelan, To" <br />"Mama kayak perawan aja" <br />Setiap dorongan sepertinya ada yang mengganjal penisku di dalam vaginanya. <br />"Eghh, aduh sakit, To" <br />"Hah, sakit?" <br /><br />Sambil mendorong kugoyang-goyangkan juga pinggulku ke kiri dan ke kanan supaya lorong vaginanya agak melebar. Setiap dorongan juga kutarik sedikit penisku keluar lalu kudorong lagi supaya bagian yang sulit ditembus itu agak terbuka. Lalu, sleb, sleb, sleb, dengan tiga kali dorongan penisku sudah masuk semua ke dalam rongga vagina mertuaku. Aku berdiam sesaat hingga kurasakan denyutan kecil seperti hisapan-hisapan lembut. Ternyata mertuaku mempunyai vagina yang bisa menghisap-hisap penis. Mungkin karena jamu-jamuan yang rutin diminumnya sehingga dia bisa seperti ini. <br />"Ayo To, nunggu apa lagi?" <br /><br />Kutarik dengan diiringi helaan nafasku, lalu ku dorong lagi hingga bless, bless, bless, penisku tertancap hingga pangkalnya. Keluar juga suara kecipak dari vagina mertuaku. Dari mulut kami juga keluar suara-suara desahan dan lenguhan nafas kami mewarnai suasana yang erotis. <br />"Aghh, aghh, aghh, shh, ohh, aghh", begitu suara deru nafas mertuaku. <br /><br />Aku tetap berkonsentrasi supaya penisku tidak menembak lebih dahulu dan orgasme namun karena nikmatnya vagina mertuaku ini membuatku tak tahan. Namun dengan mengatur nafas aku bisa mengimbangi permainannya. Sudah hampir satu jam kami saling asyik masyuk sampai tanda-tanda akan orgasme terasa pada kami. <br /><br />Kulihat gerakan mengejang dari perut mertuaku dan juga wajahnya yang semakin terlihat gelisah disertai keringat dan matanya yang turun seperti fly, kepalanya yang bergeser ke kiri dan ke kanan, tangannya juga berusaha menggapai apa yang bisa diremas. Itu biasanya gejala wanita yang akan orgasme. <br />Tak lama kemudian, "Aghh, cepetan To, aku mau nyampe nih" <br />"Aku juga, aghh" <br />"Iiihh, aghh, ehmm, aghh" <br />Begitu jeritan kecil dari mulut mertuaku disertai deru nafasnya menandakan bahwa dia telah orgasme. <br />"Ughh, ughh, ughh", begitu sisa nafasnya menikmati sensasi orgasme yang tiada tara. <br /><br />Aku juga merasakan hal yang sama dengan mengejangnya seluruh tubuhku dan menyemprotnya spermaku, entah berapa kali kusemprotkan cairan penuh kenikmatan ini ke dalam rahim mertuaku. <br />Tubuh kami langsung lunglai. Aku langsung berbaring telungkup diatas mertuaku dengan kondisi penis yang masih menancap di vaginanya. Tak lama kemudian peniskupun layu dan terlepas dengan sendirinya dari liang vagina yang nikmat itu. <br />"Kamu hebat juga, To" <br />"Iya dong, Ma" <br />"Jangan panggil Mama lagi" <br />"Siapa dong?" <br />"Heny aja" <br />"Iya Hen, ughh gimana enak nggak?" <br />"Enak tenan, lho" <br /><br />Mata mertuaku langsung sayu dan terpejam lalu tertidur. Aku turun dari tubuhnya dan juga merasa mengantuk sekali hingga aku juga tertidur. Tak terasa kami tertidur hingga aku terbangun dan mertuaku masih di sisiku sambil memeluk tubuhku. Tubuh kami masih telanjang bulat ketika itu. <br />Tiba-tiba, "Ehmm, he, he, gimana kamu puas nggak?" <br />"Iya Hen, aku puas banget. Aku sudah pengen begini sama kamu sejak lama tapi nggak tahu harus gimana dan takut kamunya marah" <br />"Hhh", mertuaku menghela nafas lega. <br />"Yah, kan sekarang sudah", kataku. <br />"Tapi To, aku masih serr-serran lho", begitu katanya sambil menggenggam penisku yang sedari tadi agak lunglai terasa seperti ingin bangun lagi. <br />Sepertinya mertuaku ini tahu bagaimana cara membangunkan kembali penis melalui tekanan-tekanan pada urat-urat di tempat lain. Aku langsung menciumi buah dadanya dan tanganku mengobok-obok vaginanya. Mertuaku mulai terangsang kembali dan dengan cepat aku berada di posisi siap di atas tubuhnya. Dengan sekali dorongan, penisku sudah menancap di dalam vagina yang sudah becek itu. <br />Mertuaku berkata, "To, aku yang di atas yah?" <br />"Emangnya bisa?" <br />"Bisa dong, kan udah nontonn filmnya Cheny", rupanya mertuaku sering menonton VCD blue film dengan anaknya, Cheny. <br /><br />Jadi tidak heran kalau dia faham posisi-posisi dalam bercinta. Dengan berguling kini posisi tubuhnya berbalik berada di atasku. Mertuaku mencoba duduk dengan melipat kakinya lalu dia mulai bergoyang maju-mundur dan memutar ditingkahi dengan suara dari vaginanya hingga menambah gairahnya untuk memacu goyangannya. Aku dari bawah hanya memegangi buah pantatnya dan tanganku yang satu memainkan kelentitnya yang berada tepat berada di perutku. Hanya sekitar setengah jam mertuaku mulai menampakkan gejala ingin orgasme. Dalam hitungan detik dia sudah orgasme. Tubuhnya kembali lunglai dan berbaring di atas dadaku. Namun aku belum, hingga secepat kilat aku berbalik dan berada di atasnya dan langsung bergoyang untuk mengejar orgasmeku. <br />"Aduhh udahh To, aughh, gelii, To..", hingga beberapa detik kemudian aku merasakan orgasmeku yang kedua begitu nikmat dengan tembakan spermaku yang masih cukup kuat. <br /><br />Kami kemudian mengobrol hal-hal yang berbau pornografi dan erotis hingga terangsang kembali dan kami bersenggama lagi, begitu seterusnya hingga subuh. Entah sudah berapa kali kami melakukan hal yang sebenarnya merupakan aib bagi keluarga kami sendiri. Sekarang ini mertuaku sudah mempunyai cucu dan lebih menjaga jarak denganku. Dia merasa hal yang sudah kami lakukan itu adalah aib dan tidak sepantasnya dilakukan, dan jika kusinggung soal hal itu dia nampaknya agak marah dan tidak suka. Dia telah menjadi nenek yang baik bagi anakku. <br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-74358275704466835522014-01-06T22:38:00.002-08:002014-01-06T22:38:07.077-08:00Diperkosa keponakanTante Amelia, wanita setengah baya yang masih lumayan seksi. Sudah dari waktu yang lama ia menjadi sasaran untuk ?digoyang? oleh keponakannya sendiri, Budi. Budi yang berasal dari Bandung, sudah hampir lima tahun tinggal dirumah tante Amelia, karena ia kuliah di Jakarta. <br /><br />Dan sudah lima tahun itu juga tante Amelia menjadi fantasi seks-nya dikala ia bermasturbasi. Seringkali ia mengambil pakaian dalam tante Amelia dari bak pakaian kotor yang terletak di dalam kamar mandi. Bh dan korset tante Amelia merupakan primadona Budi dalam bermasturbasi. <br /><br />Setiap kali bermasturbasi ia selalu menumpahkan airmaninya dicelana dalam maupun bh tante Amelia. Bahkan tidak jarang ia mengambil celana korset tante Amelia yang sudah dicuci bersih, dan dengan sengaja memuntahkan spermanya di bagian selangkangan celana dalam tersebut, ataupun berkali-kali berejakulasi di cup bh tante Amelia hingga berhari-hari, kemudian ?benda-benda tersebut? dikembalikannya ketempat semula. Dan berharap tante Amelia segera memakai ?perabotannya? tersebut.<br /><br />Tidak jarang juga Budi mencoba mengintip tante Amelia pada waktu tidak ada orang dirumah tersebut. Melalui lubang kunci pintu kamra tante Amelia, Budi sering kali melihat tubuh montok tante Amelia tanpa busana, ataupun hanya dibalut pakaian dalamnya saja. Dan biasanya aksi pengintipan tersebut diakhiri dengan beronani memakai pakaian dalam tante Amelia dikamarnya. <br /><br />Budi sering kali mengumpulkan airmaninya ketika selesai beronani didalam cangkir kecil, dan disimpannya didalam kulkas kecil yang ada dikamarnya. Ketika cangkir tersebut sudah hampir penuh, ketika tidak ada orang yang melihat, ia mencampurkan ?airmani basi? tersebut kedalam soup atau pun minuman yang biasa disediakan untuk tante Amelia. <br /><br />Bahkan pernah juga ia mencampurkan spermanya sebanyak dua sendok makan kedalam hamburger yang disediakan untuk tante Amelia. Dan secara diam-diam Budi menyaksikan tante Amelia menikmati santapannya plus airmani miliknya didalam makanan tersebut. Dan biasanya libido Budi langsung tinggi, dan cepat-cepat ia beronani dikamarnya. <br /><br />Makin lama Budi makin tidak tahan setiap kali melihat tubuh tante Amelia yang masih sintal itu, maka timbullah niat jahatnya untuk memperkosa tante Amelia. Berhari-hari ia merencanakan hal tersebut, dan mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkannya. Obat bius pun sudah dipesannya dari seorang teman yang entah dapat dari mana. <br /><br />Maka pada malam hari itu ia mengajak teman-temannya untuk mengerjai tante Amelia disalah satu rumah temannya yang sedang kosong. Teman-teman Budi yang memang rata-rata maniac seks pun ikut bergairah mendengar rencana tersebut. Maka terkumpullah teman-teman Budi sebanyak dua puluh lima orang. Dua puluh orang menunggu dirumah kosong, lima orang lagi bertugas menculik tante Amelia, termasuk Budi. Maka pada hari itu mereka seharian mengikuti kemanapun tante Amelia pergi, hingga pada malam hari kesempatan itu datang juga. <br /><br />Ketika tante Amelia sedang menunggu lift diparkiran basement salah satu restaurant, Empat orang teman Budi pun ikut mengantri lift dengan tante Amelia. Ketika tante Amelia lengah, salah seorang langsung mengeluarkan saputangan yang sudah ditetesi kloroform cukup banyak, dan dengan cepat dibekapkan kehidung dan mulut tante Amelia, yang seketika itu juga langsung pingsan, dan keempat teman Budi langsung membopong tante Amelia masuk kedalam minibus yang sudah menunggu didepan lift tersebut. <br /><br />Hampir satu jam mereka baru sampai kerumah kosong tersebut, dan langsung memasukkan mobil kedalm garasi. Tante Amelia pun langsung digotong-gotong beramai-ramai kedalam ruang tamu. Dalam keadaan masih tidak sadar, tante Amelia didudukkan dikursi sofa. Dan tanpa komano lagi mereka bergantian meraba-raba serta meremas-remas tubuh tante Amelia. <br /><br />Pakaian tante Amelia yang berupa baju terusan hingga sebatas mata kaki pun dilucuti dengan tidak sabar, hingga akhirnya tinggal bra dan celana dalam saja yang menempel ditubuhnya. Gunung kembar tante Amelia merupakan menu utama untuk ?diobok-obok? oleh Budi dan teman-temannya. Beberapa tangan dengan brutalnya bergantian berada dibalik bh tante Amelia yang berupa long torso tersebut.<br /><br />Cup bh yang berukuran 36B itu pun akhirnya dibetot kebawah hingga gunung kembar yang masih sintal itu tersembul keluar. Beberapa orang langsung bergantian mengisap-isap kedua putting susu tante Amelia, sambil sesekali meremas-remas ?kontainer susu? tante Amelia tersebut. Salah seorang teman Budi menggunting bagian selangkangan celana dalam tante Amelia, dan dengan sangat bernapsu tante Amelia dipindahkan ke matras dan langsung saja diantri beramai-ramai. <br /><br />Budi mendapat giliran pertama menyetubuhi tante Amelia, sedangkan yang lain sambil menunggu giliran memain-mainkan batang penisnya diwajah tante Amelia yang masih terlihat cantik itu. Mulut tante Amelia dibuka paksa dan dua batang penis sekaligus masuk dan berusaha bergerak keluar masuk sebisa-bisanya sehingga menimbulkan kenikmatan yang luar biasanya bagi pelakunya. Satu batang penis panjang dan besar milik Heri melintang dari atas dahi hingga diatas hidung tante Amelia, dan Heri pun dengan semangat 45 menggosok-gosokkan batang penisnya maju mundur dengan cepat.<br /><br />Vagina tante Amelia yang masih lumayan ?kenceng? itu pun nonstop digunakan untuk memuaskan napsu Budi dan teman-temannya. Setengah botol baby oil sudah habis digunakan sebagai pelicin batang penis Budi dan teman-temannya. Batang Penis Budi dengan lancarnya keluar masuk vagina tante Amelia, membuat teman-teman yang lain menjadi tak sabar menunggu giliran. <br /><br />Tante Amelia yang tak sadarkan diri itu sudah hampir dua jam dikerjain para sex maniac tersebut dengan berbagai aktivitas sex yang aneh-aneh. Berbagai pose bugil tante Amelia diabadikan oleh Bambang dengan digital camera serta handycam, mulai dari oral sex hingga persetubuhan massal. Hingga akhirnya adegan climak berejakulasi pun siap diabadikan. Budi mangambil kacamata baca dari tas tante Amelia, kemudian memakaikan kaca mata tesebut diwajah tante Amelia yang cantik itu. Dan keduapuluh enam orang tersebut mulai bergantian berejakulasi diwajah tante Amelia. <br /><br />Dimulai dengan giliran pertama oleh Budi ?sang pencinta tante Amelia?. Budi dengan cepat mengeluar-masukkan batang penisnya dimulut tante Amelia yang seksi itu hingga akhirnya saat berejakulasi ia mengocokkan penisnya tesebut tepat diatas wajah tante Amelia dan airmanipun muncrat berantakan diseluruh wajah tante Amelia berupa garis-garis lurus putih kental hingga mengenai kacamata tante Amelia. <br /><br />Heri, Hendra, Feri dan Faisal berlutut diatas wajah tante Amelia dari empat penjuru dan tisak sampai semenit airmani mulai bermuncratan secara bergantian membasahi wajah dan leher tante Amelia dengan begitu derasnya. Lima orang teman Budi yaitu Tumpal, Ade, Erik, Udin dan Ucok memilih berjakulasi dimulut tante Amelia, dan merekapun tidak sampai lima menit lima menit sudah memindahkan isi kantung buah sakar mereka kemulut tante Amelia, hingga luber hampir keluar dari mulut seksi tersebut. <br /><br />Udin pun menggerak-gerakkan mulut dan wajah tante Amelia hingga sedikit demi sedikit ?air peju? tersebut tertelan oleh tante Amelia. Sedangkan yang lainnya melakukan hal yang pada tante Amelia. Beberapa orang bergantian menjepitkan batang penisnya diantara kedua gunung kembar tante Amelia yang montok itu.<br /><br />Beberapa tetes baby oil diteteskan didada tante Amelia sebagai pelicin, yang membuat para lelaki tersebut mundur maja tak karuan, sementara penis mereka dengan lancarnya ikut bergerak mundur maju pula disela-sela gunung kembar tante Amelia yang sedang diremas-remas, dan akhirnya hanya beberapa menit saja batang kejantanan mereka berjantian muncrat diantara gunung kembar tante Amelia hingga bertetesan membasahi bh yang masih membalut tubuh tante Amelia itu. <br /><br />Sementara itu yang lainnya bergantian berejakulasi diwajah dan mulut tante Amelia yang dibuka paksa dengan sebuah alat pengganjal sehingga tidak dapat dikatupkan. Air mani bermuncratan diwajah tante Amelia dan sebagian lagi masuk kedalam mulutnya. Bahakan beberapa orang teman Budi, termasuk Budi berejakulasi hingga tiga kali diwajah tante yang cantik itu karena saking napsunya. <br /><br />Selesai pemerkosaan tersebut, tante Amelia yang masih belum sadarkan diri itu dibersihkan oleh beberapa orang. Muka tante Amelia yang blepotan sperma hanya diseka dengan celana dalam Budi yang kemudian disumpalkan kedalam mulut tante Amelia.<br /><br />Rambut tante Amelia yang berantakan disisir rapi kembali, dan kacamatanya yang kotor karena airmanipun dibersihkan dan dipakaikan kembali, hingga akhirnya tante Amelia bersih seperti sedia kala. Tante Ameliapun akhirnya siuman sementara jam sudah menunjukkan pukul satu malam, dan betapa kagetnya ia ketika melihat dirinya hanya memakai bra dan celana dalam korsetnya yang sudah putus dibagian selangkangan dan lebih kaget lagi melihat Herman dengan ganasnya menyetubuhi tante Amelia sedari tadi. <br /><br />Batang penisnya keluar masuk dengan lancar sementara yang lainnya dengan wajah ditutup sarung kepala menonton sambil mengocok penis masing-masing. Budi dan teman-temannya terpaksa memakai sarung penutup kepala karena takut dirinya diketahui oleh tante Amelia. Sekali lagi mereka mengerjai tante Amelia sebelum subuh tiba. Batang penis satu persatu bergantian mengocok vagina tante Amelia, sementara itu seperti biasa yang lainnya merem melek memaksa tante Amelia mengisap serta mengulum penis mereka.<br /><br />Bahkan mereka bergantian memaksa tante Amelia mengulum-mgulum sepasang buah sakar mereka sambil menekan-nekan wajah tante Amelia diselangkangan mereka itu hingga akhirnya keduapuluh enam orang itu kembali berejakulasi bersama-sama. Satu persatu dari mereka kembali memuncratkan spermanya diwajah dan mulut tante Amelia. <br /><br />Salah seorang mengambil segelas airmani dingin dari kulkas dan memaksa siseksi tante Amelia untuk menelan air mani tersebut sambil mengunyah-nguyah airmani tersebut terlebih dahulu sampai habis. Airmani yang bertetesan diwajah tante Amelia disendoki dan dicekoki kemulut tante Amelia hingga bersih. Selesai ?mandi peju? tante Amelia kembali dirapihkan dan dipakaikan bajunya kembali, namun celana korset dan bh nya dicopot dari tubuhnya untuk kenang-kenangan buat mereka. <br /><br />Sebagai gantinya mereka memaksa tante Amelia memakai celana dalam G-String berwarna merah yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Sedangkan gunung kembar tante Amelia dibiarkan bergelayutan tanpa bh, hingga putting susu tante Amelia mencuat kedepan.<br /><br />Tante Amelia diturunkan ditengah jalan dekat rumahnya, kemudian mereka pergi begitu saja. <br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-54097591800881547662014-01-06T22:37:00.005-08:002014-01-06T22:37:33.200-08:00Budhe dan keponakannya - 1Jojo baru saja taman SMP dan dia harus tinggal bersama Bude-nya (kakak dari ibunya) di ibukota kecamatan. Usianya 16 tahun dan suka olahraga lari dan restok. Rajin membantu dan ringan tangan dalam banyak pekerjaan, tidak banyak bicara dan tinggi tubuhnya dalam usia yang muda itu cukup lumayan. 170Cm, sawo matang, rambut lurus dan nilai raport rata-rata delapan. Itulah sebabnya, ayah-ibunya merasa syang kalau dia mengikuti abangnya untuk tidak sekolah lagi.<br /><br />Karena tidak mampu menyekolahkannya, Budenya yang perawan tua dan sudah berusia 48 tahun, memungutnya menjadi anak sendiri untuk diseklahkan, dengan harapan, nanti kalau dia sudah tua dia bisa menumpang pada Jojo dan rumah serta sawah dan kios kecil di pasar kecamatan yang dua pintu tapi disatukan menjadi milik Jojo. Ibu dan ayah Jojo sangat senang dan bahagia.<br /><br />Pagi-pagi sdeali keduanya sudah bangun kemudian mengerjakan pekerjaan masing-masing lalu sarapan. Mumpung belum masuk sekolah ke STM, Jojo ikut ke pasar membantu jualan. Di pasar, Bude sudah sangat terkenal sebagai grosir jamu dari sebuah perusahaan. Dari kecamatan lain banyak yang membeli jamu produk perusahaan jamu tertua itu ke kiosnya.<br /><br />Walau suadh berusia 48 tahun Bude kelihatan masih padat dan berisi. Dia seallu mengenakan kebaya pendek, dengan rambut disisir rapi dan disanggul, serna mengenakan kain batik, juga selendang. Sejak kehadiran Jojo, dia tidak naik ojek lagi, karena Bude sudah pula mengkredit sebuah motor China untuk nanti Jojo pakai ke sekolahnya. Budenga sangat senang, karean Jojo sangat rajin.<br /><br />Pukul 12.00 JOjo sudah membuka nasi dari rantang dan menauhnya ke piring dan menyiapkan segalanya, agar Budenya makan siang dan Jojo yang ganti menjaga kios melayani pembeli yang seakan-akan tak pernah habisnya. Pantas setiap sore, Bude selalu membawa uang yang banyak dalam tas-nya.<br /><br />Bude walau tingginya 156 Cm, berkulit putih bersih sedikit kerutan di wajahnya, namun teteknya masih bulat dan padat, serta pantatnya besar dan padat pula. Dia meminta Jojo mentyelempangkan tas berisi uang dan Bude naik ke boncengan serta di atas pahanya dia membawa bawaan dalam plasti agak lumayan besar. Pukul 17.20 (berkisar seperti itu setiap hari secara rutin) mereka sampai ke rumah yag tak jauh dari pasar.<br /><br />Rumah Bude persis di pinggira desa, tersendiri di tepi sawahnya yag baru saja ditanami oleh orang lain. Hasil sawahnya akan dibagi tiga. Dua untuk yang mengerjakan, satu untuk Bude.<br /><br />Setelah mandi, Bude bersiap-siap menyiapkan makan malam mereka. Begitu keluar dari kamar mandi, Jojo sangat kagum dan horny melihat tubuh Bude-nya. Dengan mengenakan daster mini yang sangat tipis dan tanpa bra, kelihatan seperti transparan, pentil teteknya dan kulit perutnya yang putih mulus. Jojo menelan ludahnya. Gantian Jojo memasuki kamar mandi.<br /><br />Bude tersenyum, karean dia melihat bagaimanan mata Jojo seperti terhipnotis melihat tubuhnya. Bude lupa, kalau sebenarnya, dia tidak lagi sendirian di rumahnya. Tapi melihat mata Jojo yang seperti terhipnotis tadi, jadi ada pikiran lain dalam dirinya. Tapi... Jojo kan keponakannya sendiri, anak dari adiknya dan dia sudah ucapklan kepada adiknya dan suami adiknya, kalau Jojo dia jadikan anaknya sendiri? <br /><br />Sembari menyiapkan makanan, dia terus melamun. Entah kenapa tiba-tiba Bude juga sepertinya berpikiran aneh juga, terlebih setelah melihat Jojo keluar dari kamar mandi hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada. Guh... masih muda, tapi kelihatan tubuhnya demikian atletis.<br /><br />Mereka makan berdua di ruang makan di dapur. Bude sengaja melepas dua kancing bagian atas dasternya dan memperlihatkan belahan dada-nya yang putih. Di hadapannya ada lemari makan dan dari kaca lemari makan itu, dia mampu melihat apa yang dilakukan Jojo. Seakan kaca itu adalah cermin pengawas. Bude melihat Jojo memperhatikan dadanya, kemudian meloroh ke pahanya. Dalam Hati Bude tersenyum.<br /><br />Seperti tidak sengaja, dia mengangkap pahanya, sampai pangkal pahanya kelihatan putih dan Jojo memperhatikannya tanpa kedip. Lagi-lagi Bude tersenyum dalam hati, tapi dadanya sudah menggemuruh, apa yang harus dilakukannya.<br /><br />Bude pernah pacaran selama tiga tahun dengan seorang laki-laki tetangga mereka dan Bude sudah menyerahkan segalanya kepada laki-laki itu. Selama dua tahun dan hampir tiga kali seminggu mereka melakukan hubungan suami isteri, tapi Bude tak hamil-hamil dan laki-laki itu pun memutuskan untuk berpisah. Sejak itu Bude tak mau lagi dekat dengan laki-laki, terlebih hubungan mereka sempat tidak disetujui oleh keluarganya.<br /><br />Usai makan, Jojo langsung mengangkati piring kotor, walau dilarang oleh Bude.<br />"Kamu anak yang rajin dan suka membantu."<br /><br />"Namanya juga anak, ya harus membantu ibunya. Ibu kan sudah capek," kata Jojo yang tidak lagi memanggilnya Bude, tapi ibu, karena sudah dilafaskan Jojo sebgai anak sendiri. Bude tersenyum manis. Saat Jojo menjangkau sebuah gelas dan tubuhnya dekat dengan Bude, Bude memeluknya dan merangkulnya. Anak ibu memang rajin dan iobu senang sekali, katanya mencium pipi Jojo dan memeluknya.<br /><br />Orang yang berbakti kepada ibunya pasti akan diberkati, kata Bude pula sembari memeluk Jojo dan buah dadanya menempel di dada Jojo. Srrrrr... darah Jojo berdesir akibat tempelan tetek besar yang kenyal itu.<br /><br />Acara dangdut di TV mereka tonton berdua. Dan Bude menarik Jojo untuk duduk dekat denganya di sofa. Bude merangkulnya dan membelai-belai Jojo.<br /><br />"Sebagai ibu, dia wajib menyusui anaknya. Walau aku tidak memiliki air susu lagi, tapi aku harus menyusuimu, agar kamu sah menjadi anakku," kata Bude sembari mengelus kepala Jojo. Jojo memejamkan matanya rabutnya dielus-elus dengan kemanjaan. Bude melepas semua kancing dasrernya dan mengeluarkan teteknya. <br /><br />"Kamu harus netek, dan kamu sah adalah anakku," kata Bude menyodorkan teteknya ke muluit Jojo. Dengan dada menggemuruh, Jojo merebahkan kepalanya di paha Bude dan Bude menyodorkan teteknya ke mulut Jojo sembari mengelus-elus rambut Jojo. Dada Bude juga menggemuruh keras dan vaginanya sudah mulai kembang kempis seperti pantat ayam. Bude mengarahkan bagaimana cara mengisap tetek dan mempermainkan lidah pada teteknya. Lepas dari satu tetek, dipindahkan ke tetek yang lainnya. <br /><br />"Ikhhhh... anak ibu memang pintar. Ibu berharap, kamu tetap sehat dan nanti bisa tempat ibu menumpang hidup," bisik Bude ke telinga Jojo. Tapi desahan nafas bisikan Bude di telinga Jojo membuatnya semakin gelisah dan bulu kuduknya jadi merinding.<br /><br />Tangan Bude mengelus dada Jojo yang telanjang dan tela[ak tangan Bude sengaja dipermainkan pada pentil tetel Jojo. Jojo pun suaddh tak mampu mengendalikan dirinya. Dia peluk Bude dan sebelah t etek yang lain diremasnya. Jojo membuka melepas semua kancing daster Bude sembari terus menetek dan Bude ikut membantunya, sampai Buda tinggal memakai CD saja.<br /><br />Bude pun nafasnya sudah tidajk teratur lagi, lalu melepas celana pendek berkaret bersama CD yang ada di balik celana m\pendek itu, membuat Jojo sudah telanjang bulat. <br /><br />Jojo terus menguisap tetek Bude, dan Bude secara perlahan melepas pula CD nya sampai dia juga telanjang bulat, sementara tangannya dengan cepat meraih remote controle mengecilkan suara TV. Di raihnya ke belakang kepalanya, ada saklar lampu dan Klik... lampu pun padam. Hanya ada sinar dari kaca TV dan sinar dari ruang makan di bekalang. <br /><br />Dituntunnya Jojo duduk menghadapnya di lantai, kemudian Bude mengangkangkan kedua kakinya, lalu ditariknya kepala Jojo sampai rapat ke vaginanya.<br /><br />"Walau kamu belum pernah saya lahirkan, anggaplah ini kelahiranmu. Kamu lahir tanpa sehelai benang pun juga," bisik Bude kepada Jojo. Mulut Jojo dirapatkannya ke vaginanya dan dia minta Jojo menjilati vaginanya.<br /><br />"Sebagai ganti kelahiranmu, karena kamu tak mungkin lagi masuk ke dalam perutku, mata biarlah lidahmu menyentuh...." kata Bude. <br /><br />Diarahkannya Jojo menjilati vaginanya, bagian mana vagina itu dijilatnya, sampai Bude benar-benar basah dan mendekati puncak birahinya. Bude pun turun ke karpet dan menelentangkan dirinya, lalu ditariknya Jojo menindih tubuhnya dan menuntun kontol Jojo menelusup ke dalam liang vaginanya. <br /><br />Huuuhhhh... hangat terasa kontol Jojo memasuki vagina Bude, demikian Jojo juga merasa hangat kontolnya berada di dalam liang Bude. <br /><br />Secara repleks Jojo mulai mencucuk cabut kontolnya di dalam liang Bude dan Bude memberi respons yang kuat pula. Tidak lama, keduanya berpelukan erat dengan nafas sama-sama memburu dan Bude memeluk Jojo semakin kuat dan menpeit tuhbuhnya dengan kedua kakinya, lalu Bude mendesah... Jooooo.... hayo sirami ibumu ini sayang, sebagai tanda kelahiranmu. Hayooo.... jooooo....<br /><br />Crot...croo... crooooottt... sperma Jojo tumpah ruah di dalam rahim Bude, Tubuh Jojo menegang dan akhrinya, mereka sama-sama terkulai lemas.....<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-10916857827148991762014-01-06T22:37:00.002-08:002014-01-06T22:37:09.772-08:00Budhe dan keponakannya - 2Hayo cepat bangun, udah kesiangan... bangun...bangunnn... Bude membangunkan Jojo. Matrahari syudah menyelusup dari kisi-kisi jendela. Dan Jojo terbangun. Saat dibukanya matanya, yang pertama dia lihat Bude masih telanjang bulat. Saat dia lihat tubuhnya, dia juga telanjang bulat.<br /><br />Bude pun memakai dasternya, tanpa CD dan Bra lalu dia keluar kamar dan terus ke kamar mandi. Saat keluar kamar dia setengah berteriak, cepat bangun ayo kita mandi, nanti keburu pelanggan kita pada pulang. Johjo pun bangkit dan dengan telanjang dia langsung menghambur ke kamar mandi.<br /><br />Saat dia masuk ke kamar mandi yang pintunya tidak ditutup, sudah beberap kali siraman air sejuk ke tubuh Buda dan iar itu terpercion ke tubuh Jojo. Dingin. <br /><br />"Sini dekat, Biar ibu mandikan kamu. Dasar malas mandi kamu..." kata Bude seperti berkata kepada anak berusia 4 tahun dengan manja. Jojo senang diperlakukan seperti itu. Jojo pun jongkok lalu disirami air sejuk mulai dari ubun-ubunnya. Diasbuni pakai sabun mandi yang wangi, lalu Bude menyirami dan menyabuni tubuhnya sendiri. Berdua mereka mandi di kamar mandi dengan telanjang, lalu mengeringkan tubuhnya dengan handuk. Berdua pula mereka masuk kamar dan berpakaian.<br /><br />"Kita beli saja sarapan di pasar. Ayo cepat, kata Bude. Jojo berpakaian cepat dan bersisir, lalu menyalakan sepeda motor China memanaskan mesinnya, sedang Bude mengenakan kebaya dan kain batiknya. Tergesa-gesa tentunya. <br /><br />Benar saja, Kios belum dibuka, pelangan sudah ramai menungu, karena Bude adalah kios terbesar di kecamatan itu menjual jamu secara lengkap. Sebuah mobil y ang membawa jamu dari ibukota provinsi juga sudah menunggu. Jojo membukia jios sembari menyusuni yang penting disusun, Bude mulai melayani pembeli sedang mobil pembawa jamu orderan, harus sabar menunggu.<br /><br />Kenapa lama sekali hari ini? Salah seoprang pelanggan yang merasa lama menunggu memberikan teguran halus, walau teguran itu disampaikan dengan senyum manis. <br /><br />"Kayak pengantin baru aja," yang lain nyeletuk.<br /><br />"Iya tuh.. wajahnya hari ini cerah sekali, seperti remaja tinting yang baru dapat pacar," seorang pelanggan lain me4nimpali. Walau wajah Bude bersemu merah, dia tersenyum saja.<br /><br />"Sabar... sabar..." hanya itu yang jkeluar dari muluitnya. Apakah jawabannya itu ada relevansinya dengan celoteh pelangannya dia sendiri enggak tau.<br /><br />Usai menyusun yang penting, Jojo membeli sarapan ke kedai tak jauh dari tempat mereka dan sarapan sendiri, lalu sebungkus dai bawa untuk Bude, ibunya.<br /><br />"Ini siapa?" tanya salah seorang pelanggan y ang sedikit kagum juga pada kecekatan Jojo dan kegantengannya.<br />"Pembantu dapat dari mana?" tanya yang lain.<br /><br />"Kalau ngomong jangan sembarangan. Itu anakku...." bentak Bude dengan wajahnya yang tajam pada tatapan. Pelanggan sempat terkesiap mendengar bentakannya. Tapi ada satu pelanggan yang usil dan mengatakan:" Setahuku, ibu tak pernah menikah, kok tiba-tiba punya anak?"<br /><br />Bude semakin galak. Soal menikah atau tidak, itu urusanku. Tapi yang jelas mulai tiga hari lalu, dia adalah anakku. Mengerti?" bentaknya. Semua diam. Merek sadar, soal masalah anak, tak pantas mereka mengungkitnya. Setelah semuanya kembali cari, Bude mengatakan kepada salah seorang pelangan yang tertua dan selama ini dekat dengannya, siapa Jojo. Jojo anak adik kandungnya dan sudah diserahkan kepadanya sebagai anaknya sendiri.<br /><br />Ibu tua itu menyalami Bude sembari mengucapkan selamat, semoga menjadi anak yang soleh. Jojo juga disalami dan dicium oleh ibu tua itu. Palanggan yang lain yang mulanya mau isen saja, ikut menyalami dengan mengucapkan selamat. Ibu tua itu menyarankan agar dibuatkan kenduri kecil-kecilan agar semua orang tau, Bude sudah memiliki seorang anak yang ganteng. Semua menyetujui dan BUde pun langsyung ngomong kalau hari minggu depan hal itu dilaksanakan. Saat itu juga Bude mengundang mereka semua.<br /><br />Ibu tua itu pun menngumbar kata:": Tuh... rupanya suadh direncanakan mingu depan buat kenduri kecil-kecilan dan dia akan mengundang kita semua. Makanya, kita tak seharusnya asal ngomong," katanya. Pelanggan yang lain pun memohon maaf atas kelancxangan mereka. Dan minggu depannya, acara kenduri itu pun dilaksanakan, tetangga semua diundang dan pelanggan juga.<br /><br />Usai acara kenduri Jojo dan Bude kelelahan. Cepat mereka tidur. Hanya satu malam saja Jojo tidur di kamarnya yang sudah disediakan. Setalah itu, mereka pernah tidur di karvet sampai bangun kesiangan, kemudian dan seterusnya mereka tidur di kamar Bude. Jojo hanya tidur di kamarnya, jika ada tamu yang datang dan bermalam di urmah mereka.<br /><br />Sebuah daster terap tersangkut tak jauh dari ranjang, demikian juga sebuah celana pendek dan kaos oblong. Pernah hampir bahaya, pukul 22.00 Wib ada tamu yang datang, merek ahampir ketahuan tidur sekamar. Dengan dekatnya daster dan celana pendek serta kaon oblong di ranjang, jika ada apa-apa mereka bisa cepat memakainya.<br /><br />Begitu pintu tertutup, Bude melepas pakaiannya sampai bugil dan meletakkan dasternya pada sebuah paku di sisi ranjang. Jojo juga demikian dan mereka masuk ke dalam selimut. Di antara mereka tak ada pernah keluar kata-kata malam ini kita ngentot yuk atau kata-kata apa saja. Bahasa tubuh keduanya mereka sudah bisa saling mengerti.<br /><br />Jojo membuka sedikit selimut dan mulutnya langsung mengisap tetek Bude dan sebelah tanganya mengelus-elus memek Bude dengan bulunya yang selalu terawat rapi. Saat itu juga walau terasa agak letih Bude tatap memberinya respons, mereka saling mengelus, merangkul dan melepaskan nikmat mereka dengan gairah yang luar biasa.<br /><br />Jarang sekali mereka mandi sendiri-sendiri setiap pagi. Demikian juga setiap sore, kecuali ada tamu. Mandi, tidur, makan, mereka tetap bersama. Bude semakin gairah dalam hidupnya dan tetap menemani Jojo belajar sampai dia tertidur menopangkan tangannya di atas meja makan, tempat Jojo belajar.<br /><br />Semua orang kagum pada Bude y ang memiliki anak ganteng dan semakin ganteng saja dengan pakaian rapi seperti Bude, dan rajin membantu. Tak percuma Bude mendapatkan anak seperti Jojo y ang r ajin dan penuh sopan santun. Bude juga bangga sekali jika orang-orang memujinya. Terutama orang sedesanya yang mengetahui siapa Jojo dan mengenal siapa orangtua Jojo, mereka menghargai keberadaan Jojo.<br /><br />Setahun sudah Jojo bersama Bude. Dia semakin ganteng, tidak terjemur matahari lagi, makan teratur dan pakaiannya bagus-bagus, serasi dengan tubuhnya. Kini kelihatan dia semakin tinggi dan berotot. <br /><br />Jojo mengusulkan agar mereka seskali berlibur entah kemana. Mesin juga ada istirahatnya, kenapa mereka tak pernah istirahat? Bude setuju. Kamis kini mereka akan ke villa yang bisa disewa dan jauh dari keramaian, karena dia pernah liburan ke sana. Rencana itu mereka matangkan, dan mereka siap berangkat naik sepeda motor, dengan membawa sebuah ransel besar untuk pakaian mereka selama tiga hari. <br /><br />Jojo gembira sekali dan dia mencium pipi Bude ibunya itu. <br /><br />"Terima kasih, bu. Ibu baik sekali. Aku belum pernah menginap di villa. Terima kasih, ya... " kata Jojo. Ucapan Jojo itu membuat Bude haru dan dia memeluk Jojo.<br /><br />"Apa pun akan aku berikan untukmu, Nak. Aku sangat menyayangimu dan mencintaimu, melebihi segalanya, asal kamu juga menyayangiku dan emncintaiku," bisiknya ke telinga Jojo. <br /><br />"Aku pasti menyangimu Bu. Aku t idak akan pernah menikah dengan siapapun, kecuali kalau Ibu sudah tiada," kata Jojo pasti. Bude tersenyum bahagia.<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-78992021512265231672014-01-06T22:36:00.005-08:002014-01-06T22:36:48.162-08:00Budhe dan keponakannya - 3Habis Sebalum menutup kios, di pintu kios, Jojo menempelkan pengumuman, kalau kios tidak buka selama tiga hari karean ada urusan keluarga. Bude tersenyum. Kenapa selama ini dia tidak pernah berpikir seperti itui, sampai dia tidak pernah mengenal istirahat. Apa yang dikatakan oleh Jojo benar, kalau setiap minggu, dia harus tutup kios dan wajib istirahat untuk kesehatannya sendiri.<br /><br />Sepeda motor melaju di jalan raya. Mereka akan menempun perjalan satu setengah jam memasuki kebun teh yang hijau dan di balik kebun itu ada villa mungil yang akan disewa selama tiga hari.<br /><br />Di depan lekukan sepeda motor diletakkan ransel berisi pakaian untuk tiga hari dan Bude di boncengan belakang menyandang sebuah tas agak besar. Mereka istirhat sejenak di sebuah warung yang bersih. Kebetulan di warung itu mereka bertemu dengan penjaga villa dan mereka mendapat kabar, kalau violla sedang kosong, karena ada penyewa yang baru saja pulang dan villa sedang dibersihkan.<br /><br />"Ibu dan putranya yang mau menempati?" tanya penjaga villa. Bude mengiyakan, karena menurut dokter dia harus istirahat total selama tiga hari. Setelah harga disepakati, penjaga villa itu minta diri untuk persiapan lebih lanjut dan menyiapkan makan siang dan malam, sedang menu lainnya akan dibicarakan nanti di villa. <br /><br />Karean belum sarapan, Jojo dan Bude meminta sarapan dan mereka menikmatinya dengan senang. Sebentar-sebentar Jojo menyenderkan kepalanya ke bahi Bude atau sebaliknya. Bude menyelus-elus kepala Jojo pula.<br /><br />"Anaknya, Bu?" t anya salah seorang yang duduk dekat mereka.<br />"Iya..." Bude langsung menjawab.<br />"Anaknya berapa, Bu?" tanyanya pula.<br />"Ya, cuma ini aja," Bude menjawab.<br /><br />"Pantas. Kami sudah menduganya. Manja sekali. Namnya satu-satunya," komentar mereka. Jojo mendengarnya, tapi dia tak perduli dan tidak malu.<br /><br />"Udah ah. LIhat tuh, kamu dikatain manja. Malu gak?" Bude sengaja mengucapkannya agak sedikit keras. Tapi jojo diam saja dan tak mau lepas menyenderkan kepalanya dibahu Bude. Orang yang melihatnya pun tersenyum dan mampu memahami anak tunggal yang manja.<br /><br />Usai istirahat, berarti setenbgah jam lagi mereka akan sampai ke tujuan. Mereka kembali menyusuri jalan dan sudah memasuki wilayah kebun teh yang hijau dan asri. Walau jalannya tidak luas, tapi mobil bisa berselisih dengan baik dan aspalnya masih mulus. Bayangan Bude setengah jam, ternyata tanya 20 menit.<br /><br />Jalan yang meliuk-liuk itu, membuat mata mereka segar memandang dan mereka memasuki halaman villa di ketinggian. Sesekali embun menampar-nampar wajagh mereka dan sepeda motor langsung diminta supaya dimasukkan ke dalam garasi. <br /><br />"Mau kamar yang di bawah atau yang di atas?" tanya penjaga.<br />"Yang di atas," kata Jojo cepat, sebelum Bude menjawab dan Bude hanya tersenyum saja. <br />"Lutut ibu bagaimana, sayang" tanya Bude.<br /><br />"Jojo akan menuntun ibu kalau perlu Jojo akan gendong," katanya dengan kemanjaan. Penjaga villa tersenyum bersama isterinya mendengar jawaban Jojo.<br /><br />"Silahkan, nanti kami akan hubungi pakai aiphone," kata sang penjaga. Penjaga mengangkat ransel mereka dan Jojo menuntun Bude naik ke atas. Jojo memilih kamar yang menghadap ke kebun teh. Karena tidak ada penghuni lainnya, mereka bebas saja, mau ada di mana, karean di atas hanya atas tiga kamar. Bude dengan hati-hati menyampaikan, karean menurut dokter dia butuh istirahat dan ketenangan dia mohon kalau bisa tidak ada orang yang naik ke atas, kecuali jika ada tamu yang mengisi kamar.<br /><br />Penjaga mengerti dan menyanggupinya dan mengatakan akan membawa makanan naik ke atas agar Bude tak harus naijk-turun tangga.<br /><br />Begitu penjaga turun, Jojo langsung menutup pintu di tangga dan menguncinya. Klek... klek...!<br /><br />Bude tersenyum melihat tingkah Jojo. Itu artinya Jojo ingin hanya berdua saja dan mungkin saja Jojo ingin melakukan sesuatu yang seru. Begitu mengunci pintu, Jojo langsung menghambur ke Bude dan memeluknya lalu membawanya ke balkon dan menatap indahnya kebun teh yang terkadang diselimuti kabut. Jojo berdiri di balkon dan Bude memeluknya dan belakang, merapatkan teteknya ke punggung Jojo.<br /><br />Jojo tau, kalau yang rapat ke tubuhnya itu masih dilapisi Bra. Jojo membalikkan tubuhnya.<br /><br />"Kalau ibu tidak kedinginan, ayo, aku akan mengganti kapaian ibu dengan daster," ujarnya lembut. Bude tersenyum dan langsung ke kamar. Dia lepas kebayanya dan kain batiknya yang melilit tubuhnya dan dia sudah bugil. Jojo langsung memakaikan dasternya tanpa ada apa-apa di sebalik dastrer itu. Jojo juga melepas pakaiannya dan mengantinya dengan trainingspaak serta kaos oblong tanpa ada yang lain di sebaliknya. Mereka kembali ke balkon dan Bude memeluknya dari belakang.<br /><br />"Kita harus hemat, Bu. KIta harus punya rumah mungil di sini. Nanti kalau ibu sudah tua dan aku sudah bekerja, ibu harus banyak istirahat di sini dengan udara yang segar," kata Jojo seperti kepada dirinya sendiri.<br /><br />"Ya. Kita harus cari duit yang banyak. Selam kamu tida ada, aku tak pernah berpikir hemat dan tidak tau uangku habis demikian saja," kata Bude seperti menyesali. Jojo berbalik, lalu dia mencium bibir Bude. Mereka berpelukan dan loidah mereka saling mengkait. Saat itu terdengar suara aiphone dan Bude menerimanya. Ternyata makan siang suadh siap dan akan diantar ke atas.<br /><br />JOjo membuka pintu tangga dan penjaga suami-istri memgantar makanan ke atas. Nasi, lalap dan sambal, ikan asin dan ayam goreng serta sayur asam. Kemudian Bude menyerahkan menu untuk nanti malam dan seterusnya. Penjaga itu turun dan mereka berdua makan dengan lahap setelah pintu kembali dikunci.<br /><br />Jojo menatap tajam tubuh Bude dan Bude kebingungan dibuatntya, tapi tak berani bertanya. Jojho mendekati Bude dan melepas semua daster hingga bugil, lalu Jojo melepas pakaiannya juga sampai bugil. Jojo memeluk Bude dan kembali mereka berciuman. Saling menjilat leher, saling meraba dan saling memagut. <br /><br />Kabut semakin tebal udara semakin dingin, namun birahi membuat mereka hangat. Bude menuntun Jojo secara tak langsung ke sebuah kursi di sebuah sudut dan mendudukkan Jojo di kursi itu. Jojo pun mengisap pentil tetek Bude, dengan sebelah tangannya meremas, terkadang mengelus memek Bude. Sampai memek Bude benar-benar basa. Bude juga mengelus tubuh Jojo, juga meraba kontolnya. <br /><br />Bude menaiki sisi kursi, lalu menuntun kontol Jojo memasuki lubangnya. Bude menekan tubuhnya, hingga kontol Jojo menembus luabng nikmat itu. <br /><br />Uh.... Bude melenguh. Bude merasakan, ujung kontol Jojo mentok jauh di dalam, Untunglah dia melakukan hal ini, hingga dia mengetahui kedalaman memeknya dan kepanjangan kontol Jojo. <br /><br />Jojo merasakan ujung kontolnhya mentok jauh di dalam kemudian merasakan kehangatan memek Bude dan menikmati kedua tetek Bude lengket di dadanya dan menikmati jilatan lidah Bude di lehernya. Tubuh yang mungil itu semakin disayangi oleh Jojo. Seumru hiduponya dia tak pernah merasakan kenikmatan seperti ini dan kenikmatan hidup yang lain. <br /><br />Bude mulai memutar-mutar pantatnya untuk mencari titik nikmatnya agar dia buisa orgasme, sementara Jojo merasakan gesekan-gesekan dinding liang Bude pada kontolnya. Sudah hampir 20 menit mereka di kursi itu, dan terus tubuh mereka tak bisa diam. Akhirnya, kedua saling merangkul dengan kuat dan masing-masing merintih dengan lembut dan dari liang memek Bude keluar lendir kental membuncah, lalu disusul pula dengan semprotan sperma Jojo beberapa kali.<br /><br />Mereka pun merenggangkan pelukannya. Jojo membimbing Byude ke kamar dan mereka sembunyi di balik selimut tebal, karena terpaan hawa dingin.<br /><br />Selama tioga hari di villa, seperti tiada lelah bagi Jojo untuk menyetubuhi Bude, setidaknya dua kali sehari. Bude sepertinya tak sedetikpun dibiarkan oleh Jojo si remaja kemaruk itu lepas dari pelukan. Sebentar-sebenar dia mengecup entah bagian tubugh yang maa saja. Sebentar-sebentar dia menjilat, entah bagia tubuh yang mana saja.<br /><br />Saat mereka mau pulang, Dan sudah berpakaian agar pagi itu mereka pualng dan sempat istirahat di rumah serta besoknya tidak terlamat membuka kios, Saat mau turun tangga, kembali Jojo menarik Bude kembali ke atas, padahal mereka sudah menuruni dua buah anak tangga. Bude hanya menatap, mungkin ada yang tinggal. Begitu kembali tiba di atas, Jojo mengunci kembali pintu, lalu membuang ransel dan melapas kebaya Bude dan seterusnya sampai telanjang bulat.<br /><br />Jojo juga melepas semuapa pakaiannya sampai budil. Bude tersenyum Dia harus melayaninya. Di tempat tidur, langsung Bude dikangkangkan dan memeknya diserbu dengan jilatan lidah. Bude menggelinjang. Lebih menggelinjang lagi, saaat lidah Jojo menjuilatiu lubang duburnya dan ujung lidah itu memutar-mutar di lubang duburnya. Seumur hidup Bude tak pernah merasakan kenikmatan seperti itu.<br /><br />Jojo masih berdiri di lantai, sementara Bude terlentan di ranjang. Kemudian Jojo menusuk kontolnya ke memek Bude yang sudah becek. Kemudian ditarik lalu ujung kontolnya ditempelkan ke lubang dubur dan ditekan, kemudian dilepas lalu dimasukkan kembali ke lubang memek sampai dalam beberap akali kocokan lalu ditarik dan ujung kontol kembali ditekan ke luabnhg dubur lalu ditekan kuat. Begitru kepala kontolnya sudah masuk, Jojo menariknya kembali dan mencelupkannya ke lubang memek jauh ke dalam terus berganti-ganti.<br /><br />sampai akhirnya, setengah batangnya sudah memasuki dubur Bude dan Bude merintih. <br /><br />Perlahan Jojo menarik kontolnya dn perlahan pula dia menekannya. Jojo merasakan betapa nikmatnya cengkeraman loubang dubur Bude, kemudian saat mau melepas spermanya, Jojo menekan sekuat-kuatnya kontolnya sampai hilang ditelan dubur Bude dan di sana melepaskan spermanya. Kontolnya mengecil lalu keluar dari dubur dan Jojo kembali joingkok menjilati memek Bude sampoai Bude orgasme.<br /><br />Mereka pualng dengabn perlahan-lahan. Bahkan mereka berhenti sampai tiga kali di warung tepi jalan. Sore menjelang mahgrib mereka tiba di rumah. Karean sudah kenanyang, mereka langsung istirahat tidur, agar tidak bangun kesiangan. Jojo sempat mengantar Bude ke kios dan dia ke sekolah. Sepulang sekolah masih sempat membantu bude di kios.<br /><br />Sampai Bude mninggal dunia dalam usia 60 tahun, dia tak pernah melahirkan dan Jojo baru menikah dlam usia 36 tahun dan dia meneruskan usaia Bude sebagai agen jamu "Ny.M" di ibukota kecamayan itu.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-88017458402180667702014-01-06T22:36:00.002-08:002014-01-06T22:36:04.852-08:00Bercinta dengan Bu Mina tetanggaku - 1Ini adalah kisahku yang lain dengan tetanggaku di kampung. Awalnya waktu SMA aku sedang memanjat pohon sawo di belakang rumahku untuk mengambil buahnya. Secara tak sengaja mataku tertuju ke sebuah sumur tetangga yang tinggi dinding penutup kelilingnya hanya sebatas dada orang dewasa. Kulihat seorang wanita sedang membuka baju untuk mandi di sana. Tubuhnya kelihatan putih dan montok. Setelah kuperhatikan dengan cermat ternyata wanita itu adalah Bu Mina, tetangga selang tiga rumah sebelah barat dari rumahku. Bu Mina adalah istri muda dari seorang pengusaha angkutan. Ia membuka toko kelontong di rumahnya.<br /><br />Aku mencari posisi yang lebih enak untuk mengintipnya. Kerimbunan daun sawo cukup membantuku agar tidak kelihatan dari arahnya mandi. Sambil mengintip akupun berkhayal bersetubuh dengannya. Dari tempatku mengintip dadanya yang putih dan montok kelihatan jelas sekali. Begitulah kalau aku tidak ada kegiatan di sore hari maka aku akan memanjat pohon sawo di belakang rumah dan menunggu Bu Mina mandi.<br /><br />Bu Mina ini orangnya ramah dan supel (nantinya baru aku tahu kalau dia memang benar-benar supel alias suka peler). Kadang kalau aku duduk-duduk di depan tokonya ia menyapaku duluan. Asalnya sebenarnya dari pelosok, namun tidak kelihatan kampungan. Kukira nama sebenarnya Minah. Setelah kawin dengan Pak Yos dipanggil Bu Mina. Umurnya waktu itu kurang lebih tiga puluh tahun. Badannya sedikit gemuk tapi kulitnya kelihatan kencang. Ia paling sering pakai kain dan kebaya. Kalau sudah pakai kain dan kebaya, pantatnya yang besar kelihatan menantang dan bergoyang-goyang kalau sedang berjalan. Belahan buah dadanya terlihat sangat menggiurkan dan mengundang lirikan mata laki-laki.<br /><br />Sampai ketika aku kuliah dan sedang liburan semester di kampung. Malamnya sekitar jam sembilan malam aku singgah ke toko Bu Mina untuk membeli sesuatu.<br /><br />“Eh Mas Anto. Kapan datangnya dan libur berapa hari? Oleh-olehnya mana?” ia memberondongku dengan sejumlah pertanyaan. Tangannya diulurkan dan tentu saja kusambut dengan hangat.<br />“Tadi siang, dua minggu, pakaian kotor. Ibu mau?” jawabku taktis dan efisien menjawab semua pertanyaannya.<br />“Ihh.. Masa sih pacarnya kok cuma dibawain pakaian kotor,” katanya menggodaku.<br /><br />Dadaku berdesir. Pacarnya?<br /><br />“Beli apa Mas?”<br />“Enngghh, beli sabun dan shampoo”.<br />“Lho belum mandi toh?”<br />“Sudah, untuk besok pagi”.<br />“Lho baru datang tadi, besok pagi kok sudah mandi basah,” godanya makin berani.<br />“Ya, siapa tahu nanti malam mimpi basah, jadi paginya mandi basah,” kataku. Kepalang basah kubalas godaannya tadi. Pokoknya basah.. Sah.. Sah.<br /><br />Bu Mina masuk ke dalam tokonya. Pantatnya masih saja kelihatan besar dan padat di balik dasternya. Aku mengikutinya, sambil melihat-lihat barangkali ada barang lain yang tiba-tiba teringat untuk kubeli.<br /><br />“Ini sabun dan ini shampoonya. Eh nanti malam mimpi basah sama saya saja ya!” katanya berbisik sambil tersenyum.<br /><br />Kalau begini caranya nanti malam aku bisa benar-benar mimpi basah. Aku hanya diam saja dan menerima sabun dan shampoo tadi. Ketika memberikan belanjaanku ia seolah-olah memalingkan mukanya ke arah TV dan seperti tanpa sengaja telapak tangannya mengusap lenganku.<br /><br />“Eh maaf Mas. Habisnya acara di TV bikin penasaran saja”.<br />“Berapa Bu semuanya?” tanyaku sambil mengangsurkan selembar uang dua puluh ribuan.<br />“Ah, nggak usah Mas. Lagian uangnya besar begini nggak ada kembaliannya”. Ia menolak uangku. Aku jadi tidak enak.<br />“Ya sudah Bu, saya utang dulu. Besok saja sekalian saya bayar” kataku.<br />“Bayar pakai yang lain saja gimana Mas?”<br /><br />Aku garuk-garuk kepala kebingungan sambil meninggalkan tokonya. Karena masih lelah aku segera tertidur dan bangun agak kesiangan. Adik kecilku berdiri tegak, pertanda metabolisme dan kondisi tubuh masih fit.<br /><br />Setelah menyelesaikan ritual pagi hari, 3M, mandi, modol dan makan, aku berniat untuk jalan-jalan ke tempat Tina teman masa SD-ku (Aku Oase Para Wanita Bersuami 5: Tina). Kali-kali aja aku dapat jatah untuk sekedar kissing, necking dan petting. Tapi tiba-tiba aku ingat dari informasi yang kudapat tadi malam Tina sedang ke luar kota. Akhirnya kuputuskan untuk jalan-jalan ke pasar saja.<br /><br />Sampai di pasar aku berputar-putar di los pakaian. Aku terkejut ketika tiba-tiba pundakku ditepuk dari belakang.<br /><br />“Cari apa Mas Anto?”<br /><br />Aku menoleh ke belakang dan ternyata Bu Mina yang ada di belakangku. Ia mengenakan blouse putih tipis dengan celana panjang warna biru. BH-nya yang juga berwarna biru membayang di balik baju tipisnya.<br /><br />“Ibu bikin kaget saja. Tadinya pengen beli tas tapi nggak ada yang cocok. Maksudnya nggak ada yang cocok harganya, kalau modelnya sih banyak yang cocok,” kataku.<br />“Oh gitu. Gimana kalau kita jalan-jalan ke Malioboro atau Shoping Centre kali-kali aja ada yang cocok. Kebetulan aku juga lagi cari kain batik untuk Bapaknya. Ayolah mumpung masih pagi,” katanya sambil menarik tanganku. Aku tak bisa menolaknya.<br /><br />Dua jam kemudian kami tiba di Jalan Malioboro. Kami masuk ke sebuah toko dan melihat-lihat tas pakaian. Harganya memang murah dan modelnya bagus. Cuma aku memang tadinya juga cuma mau lihat-lihat saja, belum mau beli.<br /><br />Ketika masuk ke dalam toko kain, Bu Mina menggandeng lenganku dengan mesra. Aku jadi agak jengah juga. Akhirnya Bu Mina membeli dua potong kain batik. Satu untuk suaminya dan satu lagi untukku. Setelah itu kami makan.<br /><br />Selesai makan aku sudah bersiap untuk pulang, tapi Bu Mina masih saja duduk di kursinya. Ia menatapku sambil tersenyum.<br /><br />“Eh, ngomong-ngomong tadi pagi jadi keramas nih?” ia mulai menggodaku lagi.<br />“Iya,” jawabku singkat.<br />“Kalau.. Mmhh siang-siang gini keramas lagi mau nggak?” tanyanya sambil memegang telapak tanganku.<br />“Kalau tadi malam kamu mimpi basah, sekarang ngerasain yang sebenarnya mau nggak?” sambungnya.<br /><br />Aku hampir terjatuh dari kursiku. Sebenarnya tentu saja inilah yang kuharapkan, tapi untuk membuatnya penasaran aku hanya berdiam saja.<br /><br />“Ayolah!” rayunya.<br /><br />Akhirnya aku berdiri dan berjalan keluar dari restoran. Bu Mina memegang tanganku dan menarikku berjalan ke arah sebuah becak yang sedang mangkal.<br /><br />“Pasar Kembang, Pak!” katanya pada tukang becak.<br />“Kenapa nggak ke Kaliurang saja,” protesku.<br />“Kejauhan, waktu kita sedikit,” jawabnya pasti.<br /><br />Sampai di depan sebuah hotel yang cukup bagus di dekat pintu belakang Stasiun Tugu ia memberi kode kepada tukang becak untuk menepi.<br /><br />Kami segera masuk ke dalam hotel. Setelah menyelesaikan urusan di resepsionis kami masuk ke dalam kamar. Sebuah kamar yang lumayan bagus dengan sebuah ranjang besar yang empuk. Lantainya dilapis dengan permadani yang agak tebal.<br /><br />Begitu pintu kamar tertutup, Bu Mina langsung memelukku. Bu Mina menyapukan bibirnya ke bibirku dengan lembut. Aku belum membalasnya. Ia kemudian mengulangi dan melumat bibirku. Terasa lembut dan nikmat sekali bibirnya. Lama kelamaan ciumanku berubah menjadi lumatan ganas.<br /><br />Lidahnya mendorong lidahku dan menyelusuri langit-langit mulutku. Aku membalasnya, kudorong lidahnya, dia menyedot lidahku. Rupanya Bu Mina sangat lihai dalam berciuman. Kadang kepalanya dimiringkan sehingga mulut kami bisa saling menyedot. Suara kecipak perpaduan bibir kami mulai terdengar.<br /><br />“Lepas bajunya dulu, To!” ia menyuruhku.<br /><br />Kulepas baju, celana panjang dan sekaligus celana dalamku dalam sekali gerakan. Dadaku yang bidang dan berbulu lebat membuatnya berdecak kagum. Kejantananku langsung mencuat keluar dan perlahan-lahan terancung dalam kondisi lurus, bahkan sedikit mengacung ke atas.<br /><br />Kepala penisku kelihatan kemerahan dan mengkilat karena dari lubangnya sudah mulai keluar cairan bening agak kental dan lengket. Diusapnya lubang kejantananku dengan ibu jarinya dan diratakannya cairan bening yang keluar tadi di atas kepalanya sehingga kini semakin mengkilat. Diusap-usapnya kepala penisku sampai membesar maksimal.<br /><br />Bu Mina melepaskan pelukannya. Dengan gerakan pelan dan gemulai ia melepas blus, celana panjang dan akhirnya celana dalamnya. Tangannya membuka kancing bra-nya dan sebentar ia sudah dalam keadaan bugil. Tubuhnya yang montok dengan sedikit lemak di bagian perutnya. Gunung kembarnya dengan puncaknya yang kemerahan yang menggantung bebas. Kini kami berdua sama-sama dalam keadaan polos tanpa selembar benang pun. Selang beberapa menit kemudian Bu Mina berkata di telingaku dengan lirih..<br /><br />“Kita ke ranjang.. Sa.. Yang..”.<br /><br />Aku langsung menyergapnya dan mengulum bibirnya, dan dia membalasnya dengan sangat liar, kemudian aku merasa penisku semakin tegak dan terasa lebih keras dari biasanya. Aku berbaring di ranjang dan Bu Mina merangkak di atasku. Dadanya disodorkan ke mulutku dan dengan rakus kusedot dan kujilati buah dadanya. Tangan dan mulutnya menarik-narik bulu dadaku dengan lembut. Sekali waktu dia menarik dengan keras. Aku terpekik..<br /><br />“Ouuw.. Sakit Bu..”.<br />“Aku gemas melihat dadamu”.<br /><br />Dia terus memintaku meremas-remas payudaranya dan menghisap putingnya secara bergantian. Lalu dia mulai menjilati tubuhku dari mulai leher perlahan-lahan turun kebawah dan berhenti disekitar paha. Dia juga menjilati biji zakarku.<br /><br />“Agh.. Ugh.. Ouhh.. Enak Bu.. Ugh..!!” desahku.<br /><br />Bu Mina menggigit pahaku di bagian dalam dekat pangkal paha seolah-olah mengingatkan ini bukanlah sekedar mimpi basah tetapi kenyataan yang benar-benar sedang terjadi. Bu Mina terus melanjutkan aksinya, kini dia jongkok di atas pahaku.<br /><br />Tangannya meremas kejantananku dan menggoyangkannya sebentar. Digesekkannya kepala kejantananku pada bibir vaginanya, kemudian ia menurunkan pantatnya. Kepalaku sudah tertelan dalam vaginanya. Terasa vaginanya berair. Dengan pelan pantatnya bergerak turun sambil memutar-mutar. Kejantananku terasa ngilu dibuatnya.<br /><br />“Ibu masukin ya. Ayo To..!! Angkat ke atas..,.. Tunggu sebentar!” ia memberi komando.<br /><br />Diganjalnya pantatku dengan bantal, kuangkat pantatku sedikit untuk memudahkannya mengganjal pantatku dan kemudian pantatnya semakin turun. Dan dengan perlahan penisku masuk ke dalam sebuah lorong hangat. Aku merasakan penisku dihimpit oleh benda hangat, basah dan berdenyut, sebuah sensasi kenikmatan yang sangat luar biasa.<br /><br />“Agh.. Auw.. Ooh.. Nikmat sekali, To!!” rintihnya terbata bata.<br /><br />Kugerakkan pinggulku memutar berlawanan arah dengan gerakan pingulnya. Dibenamkam penisku dalam dalam sampai terasa tidak bisa masuk lebih dalam lagi, dan Bu Mina menjerit. Tangannya memainkan putingku dan sesekali menjilat dan mengisapnya. Aku menggigit bibir menahan rangsangan. Dia terus menggoyangkan pinggulnya dengan teratur dan makin lama makin cepat.<br /><br />“Ouchh.. Agh.. Ugh.. Oo.. Yes..!!” desisnya terdengar berulang-ulang.<br /><br />Bersambung . . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-54140512674739562942014-01-06T22:35:00.002-08:002014-01-06T22:35:36.101-08:00Bercinta dengan Bu Mina tetanggaku - 2Aku mempercepat gerakanku mengimbanginya dan makin cepat lagi sampai akhirnya..<br /><br />“Bu.. Aku.. Mau keluar nih.. Ouw..!!”<br /><br />Memang kurasakan jepitan vaginanya semakin keras dan kuat sampai sampai penisku terasa ngilu, Bu Mina terus mempercepat gerakannya dan aku mulai merasakan sesuatu akan terjadi pada tubuhku..<br /><br />“Aku.. Bu.. Aku,” aku memberontak.<br />“Ouhh To.. Aku juga..”.<br /><br />Kami tahu kalau sebentar lagi akan mencapai puncak. Beberapa detik kemudian cairan kental menyemprot beberapa kali keluar dari kemaluanku. Bu Mina pun menekankan pantat sekerasnya ke arahku sehingga tulang pubisnya menekan biji penisku sampai sakit. Kurasakan semprotannya sangat kuat dan banyak sampai sebagian keluar dari vaginanya.<br /><br />Setelah membersihkan diri, kami saling berpelukan dan aku masih menikmati sisa sisa kenikmatan tadi dalam keadaan telanjang bulat, hanya ditutup dengan selimut. Napasku mulai normal dan keringatku sudah mengering. Kepala Bu Mina masih berada di dadaku, matanya masih terpejam. Aku merenung sejenak, membayangkan apa yang baru saja terjadi.<br /><br />Kupeluk dia dan kucium belakang telinganya dengan lembut. Ia menggerinjal. Kuremas dadanya dengan lembut.<br /><br />“Sudahlah To, aku mau istirahat dulu sebentar. Kecuali kalau kau..”<br /><br />Tanpa menunggu lagi segera kulumat bibir indahnya.<br /><br />“Hmm.. Kudaku rupanya mengajak berpacu lagi..”.<br /><br />Kami berciuman lagi, semakin lama kembali semakin liar seiring dengan nafsu kami yang mulai bangkit lagi. Tanpa terasa selimut yang tadinya menutup tubuh kami sudah tersingkap jatuh ke lantai dan tubuh kami berdua kembali tidak tertutup apa-apa lagi.<br /><br />Bibir kami saling berpagut, hangat. Kulumat bibir Bu Mina itu dengan penuh nafsu. Sekali-sekali kugigit bibirnya dan kumainkan lidahku di atas langit-langit mulutnya. Nafsu sudah menguasai kami berdua.<br /><br />Kami semakin tenggelam dalam birahi. Kini leher jenjang Bu Mina menjadi sasaran berikutnya. Kuciumi dan kujilati sepuasnya. Hampir saja kugigit lehernya itu, kalau tidak diingatkan oleh Bu Mina.<br /><br />“Jangan To.. Nanti kelihatan orang”, bisiknya.<br /><br />Kupandangi tubuh indah itu sesaat. Lidahku tahu-tahu sudah memainkan puting payudara yang berwarna coklat muda dan keras itu. Pelan-pelan kaki kanannya ku angkat dan kuletakkan di atas perutku.<br /><br />Dalam posisi telentang berdampingan jari kiriku memainkan bulu-bulu halus di sekitar vaginanya, kemudian merambat menggesek-gesek lipatan pahanya. Pinggangnya terangkat dan bergerak-gerak tidak beraturan. Kudengar Bu Mina melenguh-lenguh tanda terangsang.<br /><br />“Ahh.. Ouuhgh.. Sedaap.. Sshh.. Nikkmaatt.. Terusskan..”.<br /><br />Kakinya kuturunkan dan dengan penuh nafsu serangan kuteruskan. Lidahku sudah berada di lipatan pahanya, menggantikan jariku tadi. Kudekatkan hidungku ke sela pahanya. Sekilas tercium bau segar yang khas.<br /><br />Akhirnya kuserang bibir vaginanya yang sudah mulai basah. Kujilat-jilat sambil sesekali menjepit bagian dalam bibir vaginanya itu dengan kedua bibirku. Dengan sentuhan ringan tanganku sesekali memainkan daging kecil sebesar biji kacang tanah. Rupanya seranganku membuahkan hasil. Bu Mina bergetar keras dan mulai meracau.<br /><br />“Hmm.. Sshh.. Ngghh.. Akhh. Aku juga mau To, berputar.. Berputar”.<br /><br />Tangannya kemudian memegang kepalaku, meraih pinggang dan menangkap kakiku dan memutarnya ke arah mukanya. Kuikuti saja kemauannya.<br /><br />Kami berbaring berlawanan arah. Aku tengkurap diatas tubuhnya. Selangkanganku berada di atas mulutnya dan sebaliknya sambil kami terus melakukan stimulasi di sekitar paha. Ia langsung melahap penisku sampai habis. Diisap-isap, dikocok-kocok dan dijilati sampai puas. Gantian aku yang menggelinjang hebat.<br /><br />“Mmhh.. Srup.. Srup..”.<br /><br />Penisku dihisap-hisap dan dijilati sampai badanku merinding semua. Ia memberi isyarat agar berubah posisi. Kami berguling ke samping dan kini masih tetap dalam posisi kepalaku pada selangkangannya dan sebaliknya, aku sekarang yang berada di bawah.<br /><br />Rupanya dengan posisi demikian ia lebih mudah menikmati penisku. Akupun demikian, lebih leluasa untuk menjelajahi selangkangannya. Kami saling merintih dan melenguh memberikan respon terhadap rangsangan yang diterima. Bu Mina menggelinjang penuh kenikmatan ketika kujilat dan kugigit klitorisnya. Tetapi sebaliknya Bu Minapun semakin gencar menyerang penisku dengan tak kalah hebatnya.<br /><br />Kami tetap dalam posisi ini sampai beberapa menit.<br /><br />Tiba-tiba ia menghentikan serangannya dan duduk di tepi ranjang. Ditariknya tanganku. Kupeluk dari samping dan kemudian ditariknya badanku sehingga kami jatuh ke karpet di lantai dekat ranjangku. Dipeluknya tubuhku dengan eratnya dan dengan gencar menciumiku, sampai aku kesulitan mengambil napas. Suara dari ciuman mulut kami semakin keras.<br /><br />Sejenak kemudian ia menghentikan gerakannya. Aku mencoba bangkit dan berusaha mengangkatnya kembali ke ranjang. Tapi dia menggigit daun telingaku dan berkata lirih..<br /><br />“Jangan To.. Tidak usah. Kita coba variasi lain.. Di bawah.. Di karpet saja”.<br /><br />Aku tidak jadi mengangkatnya dan kembali kurebahkan di atas karpet yang lembut dan empuk. Kutindih tubuhnya dan ia mengangkangkan kedua kakinya lebar-lebar. Kucoba untuk menerobos lubang guanya, meleset, kucoba lagi dan meleset. Kepala penisku sudah masuk dan menyentuh bibir vaginanya. Bu Mina merintih rintih minta agar aku segera memasukkan penisku.<br /><br />“Masukkan.. To.. Masukin sekarang!”.<br /><br />Rupanya dia tidak sabar lagi. Ia segera menggenggam batang penisku dan mengarahkan ke vaginanya yang merekah. Begitu seluruh kepala penisku yang besar sudah menerobos masuk ke bibir vaginanya, ia tersentak dan menekan pantatku dengan kedua tangannya.<br /><br />“Dorong To.. Anto dorong kuat-kuat,” desahnya.<br /><br />Kudorong pantatku dengan kuat sampai semua batang penisku amblas di dalam liang guanya. Ia berteriak agak kuat, kututup dengan tanganku. Ia menggoyangkan kepalanya ke kanan ke kiri dan melakukan gerakan-gerakan tak beraturan.<br /><br />“Naikkan sedikit lebih ke atas dan turunkan lagi,” desisnya.<br /><br />Kuangkat pantatku sedikit naik dan tangannya kemudian memegang pinggangku untuk membantuku melakukan gerakan memompa. Gesekan kulit penisku dengan dinding vaginanya membuat aku mendesis nikmat. Kucium dadanya dan kugigit sampai merah. Ia sudah tidak peduli lagi dengan aksiku, hanya aku saja yang menjaga agar cupangku tidak sampai pada bagian tubuh di luar baju, kelihatan orang nantinya.<br /><br />Kini aku sudah bisa menikmati dan melakukan gerakan memompa dengan terkendali. Payudaranya kukulum sampai setengahnya dan putingnya kugigit kecil. Kepalanya tersentak menengadah sehingga lehernya yang jenjang terlihat semakin menggairahkan. Kalau mulutku di payudaranya, maka tanganku mengusap pipi dan lehernya, jika mulutku ada di lehernya maka tanganku meremas payudaranya. Ia mengimbangi dengan menggerakkan pinggulnya memutar sehingga penisku terasa seperti tersedot suatu pusaran arus yang kuat.<br /><br />Kutambah kecepatan permainanku karena akupun merasa sudah mendekati saat-saat terakhir menggapai puncak. Kurasakan darah mengalir deras ke penisku. Kugoyang, kugenjot dan kugoyang terus. Putaran pinggulnya juga dipercepat. Tubuh kami saling merapat. Akhirnya kusemburkan spermaku ke dalam vagina Bu Mina dengan menekan pantatku kuat-kuat sampai menyentuh dinding rahimnya.<br /><br />“Ouhh Bu Mina.. Oouhh!!”<br />“To.. Anto.. Tahan sebentar..” Kurasakan dinding rahimnya berdenyut-denyut.<br />“Sekarang To.. Sekarang ayo tusukkhh!!”<br /><br />Aku mencapai puncak kenikmatan terlebih dulu dan dalam hitungan sepersekian detik Bu Minapun kemudian mendapatkan orgasmenya. Kulihat ia akan berteriak dan kusumbat dengan mulutku karena akupun rasanya juga akan berteriak sambil memperketat pelukanku. Penisku terus berdenyut-denyut dan kurasakan dinding vaginanyapun juga berdenyut. Kedua kakinya terangkat ke atas dan bergerak-gerak seperti mengayuh sepeda.<br /><br />Semenit berikutnya kami berpagut mesra. Hingga akhirnya ia mendorong tubuhku ke samping.<br /><br />“Kamu pintar sekali,” katanya sambil mencubit lenganku.<br /><br />Akhirnya menjelang sore kami check out dan pulang, sampai di rumah kurang lebih jam lima sore. Kami berjanji tiga hari kemudian untuk berkencan lagi di Kaliurang.<br /><br />Tiga hari seperti yang dijanjikan pagi-pagi kami sudah ada dalam sebuah kamar di Kaliurang. Kupeluk Bu Mina dari belakang dan kuusap pinggangnya. Kurapatkan tubuhku ke tubuhnya sehingga kejantananku menekan belahan pantatnya. Ia mengenakan baju model kebaya warna hijau dengan kancing di depan dada sampai perut. Celana panjangnya berwarna hitam.<br /><br />Sambil kupeluk kubawa ia ke jendela sambil melihat puncak Gunung Merapi dan Gunung Merbabu di kejauhan. Kucium tengkuknya dan ia menarik napas panjang..<br /><br />“Hhmmh.. Anto”.<br /><br />Ia membalikkan badannya. Mukanya sedikit mendongak, bibirnya yang merah merekah setengah terbuka dan semakin mendekat ke bibirku. Kami berciuman dengan lembut namun penuh gairah. Ia merogoh kantung celananya dan mengambil sebutir pil, dan menyuruhku untuk meminumnya.<br /><br />“To ini diminum dulu agar kita bisa bermain sampai sore”.<br /><br />Kuambil pil itu dan segera kutelan. Aku sebenarnya tidak terlalu percaya dengan khasiat obat kuat. Kupikir staminaku masih mampu untuk mencapai tiga atau empat puncak, bahkan sampai esok pagi rasanya masih mampu. Namun untuk menyenangkannya dan kupikir tidak ada salahnya untuk mencoba khasiat obat ini.<br /><br />Kubuka kancing baju model kebayanya di depan dadanya dengan gigiku dan kemudian tanganku melanjutkan untuk membukanya. Dadanya yang terbuka berwarna putih mulus terlihat kontras dengan bra berwarna merah yang masih menutup payudaranya. Kucium bahunya, kumainkan tali bra-nya. Ia memelukku dan mengusapkan pipinya di kepalaku. Mulutnya menjilati lubang telingaku dan membisikkan kata-kata penuh gairah..<br /><br />“Ouhh Anto.. Hari ini akan menjadi hari panjang yang melelahkan. Kita akan menikmatinya sepenuhnya.. Ouhh!”<br /><br />Kucium dan kugigit bagian dada di antara dua gundukan daging payudaranya. Kulitnya memerah karena bekas gigitanku tadi. Ia tidak mencegahku untuk mencupangnya, bahkan ia memintaku untuk melakukannya lagi.<br /><br />“Anto.. Berikan lagi gigitanmu. Cupang aku.. Aoouhh!”<br /><br />Kubuka bajunya kemudian bajuku sendiri dengan posisi tetap berciuman dan berpelukan. Kudorong tubuhnya ke ranjang dan kutindih tubuhnya. Bibirku menyusuri bahunya melepas tali bra-nya lewat tangannya bergantian kanan kiri, kubiarkan bra-nya masih menutup dadanya karena pengait dipunggungnya belum kubuka. Kembali bahunya yang sudah terbuka kucium dan kugigit sampai memerah.<br /><br />Aku bergerak memutar sehingga berada di belakangnya. Kulepas pengait bra-nya, dan kutarik dengan gigitanku. Kini dadanya terbuka polos. Dari belakangnya, tanganku meremas pantatnya dan menciumi punggungnya yang putih. Tanganku meremas buah dadanya yang kencang. Kuciumi leher dan belakang telinganya, kemudian kugesekkan pipi kananku ke pipi kirinya.<br /><br />Sambil kucium punggungnya kini tanganku melepas celananya dan celana dalamnya sekaligus. Tak lama celana dan celana dalamkupun sudah melayang. Aku tetap menciuminya sambil berbaring miring di belakangnya. Kugigit punggungnya dan terus menyusuri sekujur punggungnya ke bawah. Tanganku mengusap pantatnya dan buah pantatnya kugigit pelan. Bu Mina menggelinjang.<br /><br />Ia berbalik dengan posisi dadanya di depan mukaku. Putingnya yang berwarna coklat kemerahan digesekkannya di ujung hidungku dan segera kutangkap dengan bibirku. Mulutku bergerak ke bawah perutnya, ia membuka pahanya agar memudahkan aksiku. Aku hanya menggesekkan hidungku ke bibir vaginanya. Aku tidak ingin merangsangnya dengan mulutku. Kepalaku bergerak ke atas dan menciumi ketiaknya yang terbuka, karena tangannya berada di atas kepala sambil meremas bantal.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-17850800609230980642014-01-06T22:34:00.002-08:002014-01-06T22:34:16.379-08:00Isteri sahabatku - 1Aku mempunyai sahabat sedari kecil, kami tumbuh bersama, kenakalan kecil, belajar mabuk, melamar pekerjaan, bahkan main cewek pun kami berangkat bersama. Robert memang ganteng dan lumayan play boy. Yang aku tahu pasti, dia termasuk hiper. Two in one selalu menjadi menu wajib kalo kami mampir ke jl Mayjen Sungkono Surabaya. Dia juga mempunyai banyak teman mahasiswi yang “siap pakai” dan lucunya dia sering menawari aku bercinta dengan gadis mahasiswinya di depan hidungnya. Terkadang dia mengajak threesome. Aku sih ok ok saja, why not…enak kok…dan lagi ketika itu aku cuma karyawan swasta yang bergaji kecil ketika itu sedang Robert sudah memiliki usaha sendiri yang cukup sukses.<br /><br />Sayang sekali di umur 35, sahabatku ini mengalami kecelakaan yang membuat dia terpaksa menggunakan kursi roda. Padahal dia baru 2 tahun menikah dan dikaruniai satu anak laki laki yang lucu.<br /><br />Peristiwa ini benar benar membanting dirinya, untunglah Arini benar benar istri yang setia dan selalu memompakan semangat hidup agar Robert tidak menyerah. Sebagai sahabat akupun tidak bosan bosannya menghibur agar dia mau mencoba mengikuti terapi.<br /><br />Seperti biasa di malam minggu aku main kerumahnya, daripada ngluyur nggak karuan, maklum setua ini aku masih bujang.<br /><br />“ Ron..elo masih ingat jaman kita gila dulu. Minimal gue selalu ambil dua cewek. Hahahaha dan mereka selalu ampun ampun kalo gue ajak lembur.” Robert tersenyum senyum sendiri. Aku memahami rupanya Robert terguncang karena kemampuan sex yang dibanggakan mendadak tercerabut dari dirinya.<br /><br />“ Ron, gue harus sampaikan sesuatu ke elo, kenapa gue selalu bicara tentang sex ke elo. Hhhhhhhh....gue kesian sama Arini....dia istri yang baik dan setia, tetapi gue tidak mungkin memaksa dia untuk terus menerus mendampingi gue. Dia punya hak untuk bahagia. Dan lagi....hhhh dan lagi....” Robert terdiam cukup lama.<br /><br />“ Istriku masih muda, 25 tahun….gue nggak ingin dia nanti menyeleweng. Lebih baik kami berpisah baik baik, dia bisa mendapatkan suami yang lebih baik.” Matanya menerawang.<br /><br />Tetapi Arini tetap bersikukuh tidak mau. Baginya menikah cuma sekali dalam hidupnya. Tetapi gue kuatir Ron...gue kuatir...karena...hhhhh karena....Arini nafsunya besar. Bisa kamu bayangkan betapa tersiksanya dia. Kami dulu hampir setiap hari bercinta.<br />Robert terdiam lagi lama.<br /><br />“Kemarin dia bicara, mas aku nggak akan menyeleweng, karena cintaku sudah absolut. Kalo kamu memaksa untuk berpisah, aku tidak bisa. Memang kalau bicara sex, sangat berat bagiku. Tapi kita bisa mencoba pakai tangan kan mas. Mas bisa puasin pakai tangan mas, pake lidah juga masih bisa....kita coba dulu mas...<br /><br />Kami mencobanya tetapi karena lumpuhku, jari dan lidahku tidak bisa maksimal, dan dia tidak mampu orgasme. Sempat juga pakai dildo. Itupun juga gagal. Ini lebih disebabkan posisi tubuhku yang tidak mendukung. Akhirnya aku mengatakan bahwa bagaimana kalau kamu mencoba pakai cowok beneran. Kita bisa pakai gigolo, asal kamu bercinta di depanku jangan di belakangku. Aku bilang bahwa ini hanya murni untuk menyenangkan dirinya. Kamu tahu...istriku hanya menangis, dalam hatinya sebenarnya dia mungkin mau tapi entahlah...”Robert sudah tidak berloe gue lagi....<br /><br />Hhh...sebenarnya aku mau minta tolong kamu...pertama kamu temanku, sudah seperti saudara sendiri, kamu belum menikah, kamu sekarang juga sudah nggak segila dulu...mungkin udah berhenti ya ?....jadi aku minta tolong...bener bener minta tolong..puaskan istriku...” Kata Robert, suranya sedikit tercekat...<br /><br />“ No..no..no no no no....nggak Rob..aku nggak mau...maaf aku gak bisa bantu seperti itu, Arini wanita baik baik, aku melihatnya seperti malaikat. Dan aku sungguh menghormatinya. Sorry aku pulang dulu Rob...tolong pembicaraan ini jangan diteruskan.” Aku menghindar.<br /><br />Arini adalah wanita sempurna, cantik, hatinya lembut, setia ke suami, tidak neko neko, dan tubuhnya benar benar sempurna. Robert benar benar sinting kalo aku diminta meniduri istrinya...<br /><br />3 minggu kemudian, pagi pagi aku mampir lagi ke rumahnya, aku pikir dia sudah tidak mau membicarakan itu lagi, ternyata aku salah. Kali ini dia memintaku sambil memohon, bahkan matanya berkaca kaca : “ Ron please, bantu aku, kamu tidak kasihan lihat istriku ? kami sudah sepakat kalau kamu dan dia tidak perlu ML. Mungkin memuaskan dengan tangan atau lidah ?<br /><br />Aku sungguh tidak setuju dengan rencananya, tapi melihat permintaannya hatiku trenyuh...: “Ok Rob, aku coba bantu, tapi aku perlu bicara dulu dengan Arini....”<br /><br />“Bicaralah dengannya, dia ada di beranda belakang, bicaralah..”.Desak Robert.<br /><br />Perlahan aku melangkah ke bagian belakang rumahnya yang besar, aku lihat Arini sedang menyirami bunga anggrek, sinar matahari pagi turut menyiram wajahnya yang lembut, kimononya yang berwarna merah kontras sekali dengan kulitnya yang putih bersih,..sungguh anggun... Mungkin Robert sudah memberi tahunya karena dia seperti menunggu kedatanganku.<br /><br />“ Hai Rin...mana si kecil Ardi ? masih tidur ya ?” Tanyaku basa basi.<br />“Hai mas..iyaaa..Ardi masih bobo...tumben datang pagi begini...udah sarapan belum ?”Arini tersenyum lembut. Wajahnya hanya ber make up tipis, begitu sempurna.<br /><br />Mmmm. udah kok…uummm, aku bantu potongin anggrek ?…dulu aku suka bantu ibuku merawat anggrek…aahhh ini sepertinya kepanjangan Rin..coba deh dipotong lebih pendek lagi, supaya lebih cepat berbunga.” Kataku sok serius.<br /><br />“ Mas…aku sangat mencintai mas Robert. Akupun tahu dia sungguh mencintaiku. Dia adalah suami yang pertama dan terakhir....” Suaranya tercekat, wajahnya menunduk.Arini bicara langsung ke pokok persoalan. Ini lebih baik, karena semakin lama disini aku semakin canggung.<br /><br />“ Aku sungguh berharap, mas Ronny tidak menganggapku wanita murahan. Mas Robert bilang bahwa kalau melihat aku bahagia maka dia juga bahagia. Jadi nanti apa yang kita lakukan harus masih dalam koridor saling menghormati ya mas...” Kini matanya berkaca kaca.<br /><br />“ Rin aku ikuti apa maumu, kalau nanti kamu minta berhenti , aku berhenti. No hurt feeling...jangan kuatir aku tersinggung, Kamu adalah wanita yang paling aku hormati setelah ibuku. Aku... aku akan memperlakukanmu dengan terhormat. “Bisikku.<br /><br />Perlahan Arini menarik tanganku menuju lantai 2, mungkin ini kamar tamu. Interior kamar sungguh nyaman, warna warna soft mendominasi, mulai dari warna bedcover, bantal dan gorden terkomposisi dengan baik, benar benar mendapat sentuhan wanita.<br /><br />“ Ummmm.. bagaimana dengan Robert, dia pernah bilang kalo harus sepengetahuan dia..”Tanyaku kuatir, aku tidak mau dituduh mengkhianati sahabat sendiri.<br /><br />“ Mas Robert nanti datang setelah dia rasa kita ada hubungan chemistry yang lebih jauh. Aku juga keberatan kalo mas menyentuhku di depan mas Robert terlalu terus terang. Aku tidak mau hatinya sakit. Dan ditahap awal ini aku sungguh berharap kita tidak terlalu jauh.<br />Mungkin aku belum terlalu siap...dan maaf kalo tiba tiba aku minta berhenti..mas ngerti kan perasaanku ? Arini berkata dengan wajah menunduk. Tangannya terlihat gemetar ketika perlahan lahan membuka bedcover. Aku hanya mengangguk tanpa bicara…<br /><br />Lalu Arini berjalan menuju meja rias, membelakangiku, perlahan dilepas cincin kawin dijarinya, “aku tidak bisa bercinta dengan orang lain dengan tetap memakai cincin ini…” katanya berbisik. “ Maafkan aku Rin…aku akan meperlakukan kamu dengan baik..” bisikku dalam hati.<br /><br />Perlahan dia berbalik menghadapku sambil membuka gaunnya, ternyata dibalik kimononya, Rini hanya memakai lingerie warna pink, G string plus stocking putih berenda. “ Aku tidak mau sembarangan untuk memulainya. Ini aku pakai juga untuk menghormati mas Ronny” Arini berjalan perlahan ke arahku. AKu hanya bisa menahan nafas, dadaku sesak bergemuruh, rasanya sulit untuk bernafas, rasanya aku tidak akan bisa menyentuhnya, dia terlalu indah, Arini terlalu indah untukku….kakiku lemas.<br /><br />Dengan perlahan Arini membuka kancing bajuku, sedikit mengelus dadaku yang berbulu, wajahnya masih menunduk, tanganku menyentuh rambutnya lembut kemudian aku cium perlahan keningnya.. Dengan bertelanjang dada tanpa melepas celana panjangku, kutuntun Arini ketempat tidur. Aku peluk lembut, aku ciumi keningnya berulang kali. Turun ke pelipis, lama aku cium di situ. Aku harus membuatnya rileks....<br />Matanya yang indah tampak berkaca kaca. Hembusan nafasnya masih memburu bergetar.<br />Aku mengerti Arini masih belum siap...<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-75398058977625757222014-01-06T22:33:00.009-08:002014-01-06T22:33:53.088-08:00Isteri sahabatku - 2Aku bisikkan kata kata lembut ketelinganya :” Rin...kamu santai saja, aku nggak akan menyentuh yang nggak semestinya kok. Jangan kuatir, kita tidak terlalu jauh, ini hanya semacam perkenalan saja...ok ? “ Arini mengangguk sambil memejamkan matanya mencoba menghayati.<br /><br />Kemudian bibirku menyentuh pipinya, harum Kenzo di lehernya, menuntunku ke arah sana. Lehernya sungguh indah, bibirku menyelusuri leher jenjangnya sambil sekilas menciumi belakang telinganya.<br /><br />“ Ahhhhhh..... mas..ahhhh” Nafasnya dihembuskan panjang, rupanya tadi dia terlalu tegang. Aku tetap mencium tidak beranjak dari sekitaran pipi, kening, leher dan telinga. Sengaja tidak kucium bibirnya, takut membuat moodnya jadi hilang. Tetapi ternyata Arini sendiri yang mencari bibirku, dan mencium lembut perlahan. Badanku merasa meremang.<br /><br />Kemudian kami berpandangan dekat, matanya lekat menghunjam mataku, seperti mencari kepercayaan disitu. Ini adalah titik kritis, berhenti atau lanjut....<br /><br />Perlahan Arini memejamkan matanya, bibirnya sedikit terbuka, aku mengerti kalau ini semua bisa berlanjut lebih jauh. Kucium lama dan lembut bibirnya yang indah itu.<br />Perlahan bibirku turun ke leher sedikit ke bawah. Turun ...turun ke belahan dadanya yang ranum. Wanginya sungguh memabukkan. Arini hanya melenguh pelan “ ehhhhh..mas..”.<br /><br />Tanganku mulai mengelus pahanya…aku gosok perlahan, tanganku berhenti ketika jemari Arini menyentuh tanganku. Ahh mungkin aku terlalu jauh..ternyata jemari Arini menggosok permukaan lenganku. Kulanjutkan lagi gosokan tanganku ke pangkal pahanya.<br /><br />Kusentuh missVnya yang hangat. Aku tidak membuat gerakan yang tiba tiba, semua harus mengalir lembut. Cukup lama jemariku menyentuh bulu bulunya. Bibirnya terasa dingin, Arini sudah mulai terangsang…sambil masih mencium lembut bibirnya, jemariku mulai menyentuh klitorisnya, begitu tersentuh, Arini langsung merintih nafasnya memburu : Mas…uffff..mas..fiiuhhh…” Cepat sekali vaginanya basah. Aku memahami, mungkin sudah satu tahun Arini tidak disentuh Robert.<br /><br />Bibirku perlahan mulai mencium dari belahan dada menuju bukit indahnya. Belum pernah kulihat payudara seranum ini. Lidahku menari nari diujung putingnya yang merah muda. Aku sentuh dengan ujung lidah kemudian sedikit aku sedot lalu aku lepas lagi, begitu berulang ulang. Nikmat sekali. Aku lirik wajah Arini merah padam, nafasnya tersengal sengal “ geliii...aaahhhh...geliii mas....jangan lama lama...geli...aduuuuhhh.”<br />Sengaja aku teruskan jilatanku, dengan sedikit mengeluarkan erangan, agar Arini mengerti kalo aku sendiri juga super terangsang. Eranganku dengan erangannya kini bersahut sahutan. Kepala Arini bolak balik terbangun mungkin karena dia tidak tahan dengan gelinya. Jemariku bertambah cepat menggosok klitorisnya. Tiba tiba jemari Arini meremas rambutku dan kedua tangannyapun menekan kepalaku, sehingga aku sulit bernafas karena terbenam di buah dadanya. Pinggul Arini terangkat tinggi sambil merintih panjang...: “masssssss...ahhhhh” Arini Orgasme....<br /><br />Pinggul kembali terhempas ke tempat tidur yang langsung terayun ayun, badannya melemas, tangannya lunglai ke bawah, sambil berkali kali menelan ludahnya Arini mulai menangis memalingkan wajahnya....<br />Aku ciumi lembut kepalanya, kucium air matanya di pipi, kemudian kucium tipis bibirnya.<br /><br />Perlahan kepalaku turun ke leher, dada, perut, pusar dan berhenti di bulu bulu kemaluannya. Lidahku mulai menari di klitorisnya yang super basah. Arini hanya terdiam.<br /><br />Aku masih sibuk menjilati vaginanya yang wangi. Arini mulai recovery lagi…jemari lentiknya meremas rambutku. Dagunya terangkat ke atas, nafasnya terputus putus memburu. Perlahan kuturunkan celanaku….bibirku kembali ke atas, mencium pusarnya, mengecup putingnya kemudian menyentuh bibirnya. Mataku beradu dengan matanya. Pandangan mataku bertanya, haruskah kuteruskan…. Arini mengerti kalau batangku menempel kemaluannya. Perlahan kakinya melingkar ke pahaku..mata kami tetap berpandangan. Ku gesekkan batangku perlahan lahan, Arini sedikit merintih, bibirnya terbuka..<br /><br />Kepala batangku mulai menekan, menekan…sedikit masuk, masuk lagi perlahan, lalu kaki Arini menekan pinggulku sehingga batangku lebih dalam masuk. Masuk seluruhnya..badanku meremang, batangku terasa hangat. Mata kami masih beradu pandang...tiba tiba disudut matanya muncul air bening yang mengalir perlahan ke pipinya. Arini kembali menangis...<br /><br />Kembali aku cium lembut bibirnya. Pinggulku tidak langsung aku gerakkan, agar dia merasa nyaman dulu dengan batangku didalam. Lalu Perlahan aku mulai gerakkan pinggulku sedikit demi sedikit, pelan pelan...Arini merintih : Mas...” Gerakan lebih kupercepat...aku rasakan batangku masuk sepenuhnya kedalam vaginanya, Tempat tidur mulai berguncang, bunyi geritan besi tempat tidur mulai keras terdengar.<br /><br />Tiba tiba Arini memelukku erat, bibirnya mendekat ke telingaku dan berbisik : ”kok besar sekali mas....terima kasih...nikmat sekali mas...ooohhh nikmat..” Arini kini lebih agresif menciumku, lidahnya mulai berani masuk ke mulutku. Tubuh kami berguling, kini dia diatasku. Otomatis batangku lebih menghunjam ke dalam, posisi ini favoritku karena aku bisa sepenuhnya melihat kecantikannya, melihat lekuk tubuhnya, meremas dadanya dan pinggulnya lebih leluasa.<br /><br />Gerakan tubuh Arini mulai liar, wajahnya tengadah keatas dengan mata terpejam. Gerakannya malah lebih cepat dari gerakanku. Tubuhnya mulai menggigil dipenuhi peluh yang mengucur deras di sela belahan buah dadanya, pemandangan ini membuat tubuhnya tampak sensual, kujilati semua peluhnya dengan nikmat. Arini mendekati puncak....sementara aku susah payah bertahan agar tidak ejakulasi.<br /><br />” aaaaa.....aaaaaaahhhh.. aahh !” Dia mulai tidak malu mengeluarkan rintihan dan erangan suaranya lebih keras, tiba tiba tubuhnya menghentak keras, lenguhannya memanjang kemudian tubuhnya lunglai ambruk di tubuhku. Segera kupeluk erat dan kucium lembut keningnya. Aku lega....senang bisa memuaskannya..<br /><br />” Terima kasih mas....terima kasih...aku belum pernah merasa nikmat seperti ini, dua kali orgasme...”Bisik Arini. ”Aku bisa teruskan kalo kamu mau Rin....Bisikku sambil menciumi pelipisnya.<br /><br />”Terima kasih...may be next time...sekarang giliran mas Ronny...mas belum puas kan.?<br />Aku tersenyum dan kugelengkan kepalaku : ” No...tidak perlu...itu tidak penting. Kamu bisa menikmati itu lebih penting. Kalau aku turut mencari kepuasan artinya aku tidak menghargai kamu. Semua ini untuk kamu Rin...hanya untuk kamu” Dalam hati kumaki maki diriku, mengapa aku sok suci. Tetapi tak bisa kumaafkan diriku kalau aku ikut menikmati kesempatan emas ini, Arini bersedia bercinta denganku artinya dia sudah menghempaskan semua harga dirinya dihadapanku. Aku menghargai dan menghormatinya.<br /><br />”Mas...kamu baik sekali...sungguh kamu baiiiikk sekali.” Rini memelukku erat lama sekali sampai aku terengah engah karena kepalaku terbenam di belahan payudaranya. Sebenarnya aku ingin meneruskan dengan melumat dan mengigit gigit putingnya, tapi aku tidak mau merusak suasana.<br /><br />”Mengapa robert tidak kemari, bukankah dia minta kita bercinta di depannya. Aku tidak mau dikatakan mengkhianati teman...”<br /><br />”Mas Robert mungkin sudah melihat kita dari tadi, dia ada di ruangan dibalik kaca meja rias, itu kaca tembus pandang mas, ” Arini menjelaskan ketika melihat mataku memandang pintu.<br /><br />”uummm mas gak bersih bersih badan ? aku bantu di kamar mandi yuk...“ sambil menarik tanganku.<br /><br />Kami saling menggosok badan, aku remas lembut buah dadanya dari belakang dan mencium lembut punggungnya. Arini kembali merintih..tubuhnya berbalik kemudian melumat bibirku, benar benar agresif, tiba tiba Arini jongkok dan cepat menggenggam batangku sedetik kemudian mulutnya mengulum milikku yang makin mengeras penuh. Aku benar benar tidak menduga Arini melakukan itu. Tindakannya membuat kakiku lumpuh. ” Jangan Rin...jangan Rin...nanti aku keluar ahhh...Rin..sudah..please...” Rintihku.<br /><br />Arini segera berdiri lagi lalu berbalik menghadap shower dinding. Aku mengerti dia ingin aku masuk dari belakang. Dengan guyuran air hangat, aku masukkan batangku cepat, aku sudah tidak tahan, nafsuku sudah memuncak, Arini pun mengerakkan tubuhnya mengimbangi tubuhku. ” Aaahhh mas...aku ...aku...ahhh.aku....” Tubuhnya kembali menggeliat dan mengejang, jemarinya kuat meremas tangkai shower, sementara aku benar benar tidak dapat menguasai diriku. Spermaku yang tertahan dari tadi akhirnya mau tak mau menyembur keluar, masuk jauh ke relung vaginanya...” Sh(bip)t mengapa aku tidak bisa menahannya ? Arini kembali jongkok dan kini membersihkan lelehan spremaku dengan lidahnya. Aduh aku merasa geli sekali. Dia kocok kocok lagi agar semua spermaku keluar. Kemudian mengakhirinya dengan sedotan panjang diujung batangku.<br /><br />Ahhh Arini..kenapa aku harus ejakulasi...<br /><br />Selesai berbersih diri dan memakai baju, kami keluar kamar. Rupanya Robert sudah menunggu di depan TV, dia tersenyum dari kejauhan. Ake merasa jengah, merasa tidak enak. Sementara Arini menunduk dan berjalan ragu ke sebelah suaminya.<br /><br />Dari kursi rodanya, Robert memeluk pinggang istrinya : ”terima kasih Ron, kamu sahabat yang baik. Aku sudah melihat percintaan kalian tadi. Aku berharap kamu tidak keberatan untuk meneruskan nanti.”<br /><br />Aku hanya mengangguk pelan. Bisakah aku hanya bertahan murni bercinta tanpa melibatkan perasaan ? Aku tidak yakin dengan diriku. Aku tidak yakin nanti tidak jatuh cinta kepada Arini...dan aku yakin Arinipun mempunyai perasaan yang sama. Sorot matanya ketika bercinta tadi menunjukkan itu.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-33829667835135434992014-01-06T22:33:00.006-08:002014-01-06T22:33:31.667-08:00Kenanganku bersama CindySangat menjemukan mendengar ocehan guru sejarahku yang membuat aku pusing , karena aku tidak menyukai pelajaran itu apalagi wajah gurunya judes dan sangat terkenal dengan julukan si nyamuk karena badanya yang kurus dan suaranya yang sember seperti nyamuk.<br /><br />Kriiiiinnnnggg suara bell berbunyi mendandakan waktu pulang dan itu yang aku tunggu-tunggu , "Cha....elo lewat mana.." suara Cindy tiba tiba nyeletuk dari sebelahku lewat biasa sih..cuman nggak tau nih mau ke menyewa VCD dulu kayaknya..., mau ikut?" jawabku "Boleh..., tapi kerumah gue aja yuk? Gue ada sewa VCD baru nih!" cindy sambil menunjukan VCD yang baru dipinjam di rental sebelah sekolah "film apaan...? Bagus nggak?" sela ku sambil melihat VCD yang dipegangnya.<br /><br />"Dijamin deh ..gini gini khan tau film yang ok" jawabnya sambil memasukan VCD nya ke tasnya.<br /><br />"Udah yuk sekarang perginya biar nanti nggak kesorean" dengan tidak sabar aku langsung keluar kelas bersama Cindy,sesampainya dirumah ternyata .. "kok sepi banget Cind?" tanyaku "iya..bokap and nyokap pergi ke surabaya , makanya gue berani ajak elo , jarang jarang khan kalo gue ngundang cowok kerumah gue" jawab Cindy sambil membawakan air minum. "Wah enak dong kita bisa ngapa ngapain" jawabku sambil bercanda.<br /><br />"Ah elo bisa aja". "Eh Cha elo udah pernah nonton film blue belon?" tanya Cindy malu malu "udah, kenapa?" tanyaku "nggak tanya aja, kemaren malam gue ngintip bokap gue nonton film gituan dikamarnya, buset satu cewek dua cowok nggak sakit apa yach ceweknya?" tanya Cindy heran "ah elo nanyanya bikin gue ngaceng nih.."<br /><br />"Lihat donk Cha..kontol elo... boleh nggak ?". "Boleh tapi elo mesti buka baju lo juga , biar adil". "ok, tapi elo yang bukain yach dan gue bukain baju elo!" akhirnya kami saling membuka baju masing masing.... Aku merasakan sentuhan tangan Cindy yang halus apalagi saat ia memegang kontol gue..ah..enak banget. "Cha ? kontol elo gede juga cha..." kata Cindy sambil mengelus kontol gue.<br /><br />Gue nggak bisa bilang apa apa karena keenakan dipegang Cindy... "Cind ..isep dong say...gatel nih..." Cindy pun langsung memasukan kontol gue ke mulutnya dan mengisap kedalam mulutnya sampai pangkalnya... ternyata Cindy pintar sekali memainkan lidahnya mengulum kontol gue.. "gantian cha... gue juga gatel nih.." Pinta Cindy sambil langsung berbaring di sofa ruang tamu itu dan mengangkang seolah siap untuk dijilati, akupun langsung menjilati memeknya yang kemerah-merahan itu dengan bulu jembutnya yang tebal sekali.<br /><br />Itil Cindy telah mengeras ku jilat-jilat terus pada ujung nya, kuhisap-hisap , cindy mulai mengerang merasakan kenikmatan luar biasa yang baru pertama kali dirasakan "sshhh.. nggkk.. ahhh.. enak Cha.. terusin... Cha aduh.. ssshhhsh..." suara Cindy membuat ku makin menikmati memeknya yang makin memerah dan mengeras basah.<br /><br />"Cha masukin dong kontol elo.. nggak kuat nih.." pinta Cindy memelas akupun langsung memasukan kontol ku ke lobang memeknya yang masih sempit dan.. blesss.. kumasukan pelan pelan wah enak sekali hangat memeknya membuat ku makin bergairah.<br /><br />"Ngggg.. sshhh.. akhkkhhh.. enak Cha terusin yang dalam Cha..... achhhsss...." kata cindy. Aku mulai mengoyangkan kontolku keluar masuk memeknya terdengar seperti suara becek dibibir memeknya yang sempit itu. ach nikmat sekali kontolku terasa disedot-sedot nikmat, Cindy memutar mutar pinggulnya membuatku semakin bersemangat menggenjot memek nya.<br /><br />Tak terasa ternyata kami telah melakukan lebih kurang 45 menit dan sepertinya Cindy sudah mulai mengejang pertanda mau mencapai orgasme."Cha aku mau keluar nih..." badan Cindy mulai berkelojotan dan.. nggg aaahhhhh keluar banyak cairan dari memek Cindy. Melihat Cindy orgasme akupun menjadi ingin orgasme pula, Cindy terdiam lemas sambil merapatkan kakinya.<br /><br />Aku segera mempercepat genjotan kontolku dimemeknya dan ujung kontolku terasa makin geli-geli nikmat acchhhh...... sssrrrr cret cret crettt.....ttt... kuhujamkan kontolku dalam-dalam, air mani ku keluar banyak sekali didalam memek Cindy.<br /><br />"Cind aku juga keluar ah eenaakk.. tenan !!!" dengan lemas aku berbaring telentang disebelah Cindy . "Cha kamu hebat, ternyata main sex itu enak sekali ya.." kata Cindy. "Iya Cind kamu juga hebat , aku nggak nyangka kalau kita bisa seperti ini, kamu mau nggak jadi pacar gue Cind ?" pintaku sambil membelai rambutnya Cindy mengangguk menandakan setuju.<br /><br />Mulai saat itu kami berdua sering pulang bareng dan bila nafsu kami memuncak , kami sering melakukannnya, sekarang Cindy telah menjadi istriku dan semua itu menjadi kenangan indah yang tak mungkin kami lupakan.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-70742218295621208212014-01-06T22:33:00.002-08:002014-01-06T22:33:05.779-08:00Kenikmatan dengan pacar kakakSiang itu aku sendirian. Papa, Mama dan Mbak Sari mendadak ke Jakarta karena nenek sakit. Aku nggak bisa ikut karena ada kegiatan sekolah yang nggak bisa aku tinggalin. Daripada bengong sendirian aku iseng bersih-bersih rumah. Pas aku lagi bersihin kamar Mbak Sari aku nemu sekeping vCD. Ketika aku merhatiin sampulnya.. astaga!! ternyata gambarnya sepasang bule yang sedang berhubungan sex. Badanku gemetar, jantungku berdegup kencang. Pikiranku menerawang saat kira-kira 1 bulan yang lalu aku tanpa sengaja mengintip Mbak Sari dengan pacarnya berbuat seperti yang ada di sampul vCD tsb. Sejak itu aku sering bermasturbasi membayangkan sedang bersetubuh.<br />Tadinya aku bermaksud mengembalikan vCD tersebut ke tempatnya, tapi aah.. mumpung sendirian aku memutuskan untuk menonton film tersebut. Jujur aja aku baru sekali ini nonton blue film.<br /><br />Begitu aku nyalain di layar TV terpampang sepasang bule yang sedang saling mencumbu. Pertama mereka saling berciuman, kemudian satu persatu pakaian yang melekat mereka lepas. Si cowok mulai menciumi leher ceweknya, kemudian turun ke payudara. Si cewek tampak menggeliat menahan nafsu yang membara. Sesaat kemudian si cowok mejilati vaginanya terutama di bagian klitorisnya. Si cewek merintih-rintih keenakan. Selanjutnya gantian si cewek yang mengulum penis si cowok yang sudah ereksi. Setelah beberapa saat sepertinya mereka tak tahan lagi, lalu si cowok memasukkan penisnya ke vagina cewek bule tadi dan langsung disodok-sodokin dengan gencar. Sejurus kemudian mereka berdua orgasme. Si cowok langsung mencabut rudalnya dari vagina kemudian mengocoknya di depan wajah ceweknya sampai keluar spermanya yang banyak banget, si cewek tampak menyambutnya dengan penuh gairah.<br /><br />Aku sendiri selama menonton tanpa sadar bajuku sudah nggak karuan. Kaos aku angkat sampai diatas tetek, kemudian braku yang kebetulan pengaitnya di depan aku lepas. Kuelus-elus sendiri tetekku sambil sesekali kuremas, uhh.. enak banget. Apalagi kalo kena putingnya woww!!<br />Celana pendekku aku pelorotin sampe dengkul, lalu tanganku masuk ke balik celana dalam dan langsung menggosok-gosok klitorisku. Sensasinya luar biasa!!<br />Makin lama aku semakin gencar melakukan masturbasi, rintihanku semakin keras. Tanganku semakin cepat menggosok klitoris sementara yang satunya sibuk emremas-remas toketku sendiri. Dan,<br />“Oohh.. oohh..”<br />Aku mencapai orgasme yang luar biasa. Aku tergeletak lemas di karpet.<br /><br />Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Tentu saja aku gelagapan benerin pakaianku yang terbuka disana-sini. Abis itu aku matiin vCD player tanpa ngeluarin discnya.<br />“Gawat!” pikirku.<br />“Siapa ya? Jangan-jangan pa-ma! Ngapain mereka balik lagi?”.<br />Buru-buru aku buka pintu, ternyata di depan pintu berdiri seorang cowok keren. Rupanya Mas Andi pacar Mbak Sari dari Bandung.<br />“Halo Ulfa sayang, Mbak Sarinya ada?”<br />“Wah baru tadi pagi ke Jakarta. Emang nggak telpon Mas Andi dulu?”<br />“Waduh nggak tuh. Gimana nih mo ngasi surprise malah kaget sendiri.”<br />“Telpon aja HP-nya Mas, kali aja mau balik” usulku sekenanya.<br />Padahal aku berharap sebaliknya, soalnya terus terang aku diem-diem aku juga naksir Mas Andi. Mas Andi menyetujui usulku. Ternyata Mbak Sari cuman ngomong supaya nginep dulu, besok baru balik ke Bandung, sekalian ketemu disana. Hura! Hatiku bersorak, berarti ada kesempatan nih.<br /><br />Aku mempersilakan Mas Andi mandi. Setelah mandi kami makan malam bareng. Aku perhatiin tampang dan bodi Mas Andi yang keren, kubayangkan Mas Andi sedang telanjang sambil memperlihatkan “tongkat kastinya”. Nggak sulit untuk ngebayangin karena aku kan pernah ngintip Mas Andi ama Mbak Sari lagi ml. Rasanya aku pengen banget ngerasain penis masuk ke vaginaku, abis keliatannya enak banget tuh.<br />“Ada apa Ulfa, Kok ngelamun, mikirin pacar ya?” tanyanya tiba-tiba.<br />“Ah, enggak Mas, Ulfa bobo dulu ya ngantuk nih!” ujarku salting.<br />“Mas Andi nonton TV aja nggak papa kan?”<br />“Nggak papa kok, kalo ngantuk tidur aja duluan!”<br /><br />Aku beranjak masuk kamar. Setelah menutup kintu kamar aku bercermin. Bajuku juga kulepas semua. Wajahku cantik manis, kulitku sawo matang tapi bersih dan mulus. Tinggi 165 cm. Badanku sintal dan kencang karena aku rajin senam dan berenang, apalagi ditunjang toketku yang 36B membuatku tampak sexy. Jembutku tumbuh lebat menghiasi vaginaku yang indah. Aku tersenyum sendiri kemudian memakai kaos yang longgar dan tipis sehingga meninjolkan kedua puting susuku, bahkan jembutku tampak menerawang. Aku merebahkan diriku di atas kasur dan mencoba memejamkan mata, tapi entah kenapa aku susah sekali tidur. Sampai kemudian aku mendengar suara rintihan dari ruang tengah. Aneh! Suara siapa malam-malam begini? Astaga! Aku baru inget, itu pasti suara dari vCD porno yang lupa aku keluarin tadi, apa Mas Andi menyetelnya? Penasaran, akupun bangkit kemudian perlahan-lahan keluar.<br /><br />Sesampainya di ruang tengah, deg!! Aku melihat pemandangan yang mendebarkan, Mas Andi di depan TV sedang menonton bokep sambil ngeluarin penisnya dan mengelusnya sendiri. Wah.. batangnya tampak kekar banget.<br /><br />Aku berpura-pura batuk kemudian dengan tampang seolah-olah mengantuk aku mendekati Mas Andi. Mas Andi tampak kaget mendengar batukku lalu cepat-cepat memasukkan penisnya ke dalam kolornya lagi, tapi kolornya nggak bisa menyembunyikan tonjolan tongkatnya itu.<br />“Eh, Ulfa anu, eh belum tidur ya?”<br />Mas Andi tampak salting, kemudian dia hendak mematikan vCD player.”<br />Iya nih Mas, gerah eh nggak usah dimatiin, nonton berdua aja yuk!” ujarku sambil menggeliat sehingga menonjolkan pepaya bangkokku.<br />“Oh iya deh.”<br />Kamipun lalu duduk di karpet sambil menonton. Aku mengambil posisi bersila sehingga bawukku mengintip keluar dengan indahnya.<br /><br />“Mas, gimana sih rasanya bersetubuh?” tanyaku tiba-tiba.<br />“Eh kok tau-tau nanya gitu sih?”<br />Mas Andi agak kaget mendengar pertanyaanku, soalnya saat itu matanya asyik mencuri pandang ke arah selakanganku. Aku semakin memanaskan aksiku, sengaja kakiku kubuka lebih lebar sehingga vaginaku semakin terlihat jelas.<br />“Alaa nggak usah gitu! Aku kan pernah ngintip Mas sama Mbak Sari lagi gituan.. nggak papa kok, rahasia terjaga!”<br />“Oya? He he he yaa.. enak sih.”<br />Mas Andi tersipu mendengar ledekanku.<br />Akupun melanjutkan, “Mas, vaginaku sama punya Mbak Sari lebih indah mana?” tanyaku sambil mengangkat kaosku dan mengangkangkan kakiku lebar-lebar so bawukkupun terpampang jelas.<br />“Ehh glek bagusan punyamu.”<br />“Terus kalo toketnya montokan mana?” kali ini aku mencopot kaosku sehingga payudara dan tubuhku yang montok itu telanjang tanpa sehelai benang yang menutupi.<br />“Aaanu.. lebih montok dan kencengan tetekmu!”<br />Mas Andi tampak melotot menyaksikan bodiku yang sexy. Hal itu malah membuat aku semakin terangsang.<br /><br />“Sekarang giliran aku liat punya Mas Andi!”<br />Karena sudah sangat bernafsu aku menerkam Mas Andi. Kucopoti seluruh pakaiannya sehingga dia bugil. Aku terpesona melihat tubuh bugil Mas Andi dari dekat. Badannya agak langsing tapi sexy. penisnya sudah mengacung tegar membuat jantungku berdebar cepat. Entah kenapa, kalo dulu ngebayangin bentuk burung cowok aja rasanya jijik tapi ternyata sekarang malah membuat darahku berdesir.<br />“Wah gede banget! Aku isep ya Mas!”<br />Tanpa menunggu persetujuannya aku langsung mengocok, menjilat dan mengulum batang kemaluannya yang gede dan panjang itu seperti yang aku tonton di BF.<br />“Slurp Slurp Slurpmmh! Slurp Slurp Slurp mmh.”<br />Ternyata nikmat sekali mengisap penis. Aku jepit penisnya dengan kedua susuku kemudian aku gosok-gosokin, hmm nikmat banget! Mas Andi akhirnya tak kuat menahan nafsu. Didorongnya tubuh sintalku hingga terlentang lalu diterkamnya aku dengan ciuman-ciuman ganasnya. Tangannya tidak tinggal diam ikut bekerja meremas-remas kelapa gadingku.<br /><br />“Ahh mmh.. yesh uuh.. enak mas”<br />Aku benar-benar merasakan sensasi luar biasa. Sesaat kemudian mulutnya menjilati kedua putingku sambil sesekali diisap dengan kuat.<br />“Auwh geli nikmat aah ouw!”<br />Aku menggelinjang kegelian tapi tanganku justru menekan-nekan kepalanya agar lebih kuat lagi mengisap pentilku. Sejurus kemudian lidahnya turun ke vaginaku. Tangannya menyibakkan jembutku yang rimbun itu lalu membuka vaginaku lebar-lebar sehingga klitorisku menonjol keluar kemudian dijilatinya dengan rakus sambil sesekali menggigit kecil atau dihisap dengan kuat.<br />“Yesh.. uuhh.. enak mas.. terus!” jeritku.<br />“Slurp Slurp, vaginamu gurih banget Ulfa mmh”.<br />Mas Andi terus menjilati vaginaku sampai akhirnya aku nggak tahan lagi.<br />“Mas.. ayo.. masukin penismu.. aku nggak tahan..”<br /><br />Mas Andi lalu mengambil posisi 1/2 duduk, diacungkannya penisnya dengan gagah ke arah lubang vaginaku. Aku mengangkangkan kakiku lebar-lebar siap menerima serangan rudalnya. Pelan-pelan dimasukkannya batang rudal itu ke dalam vaginaku.<br />“Aauw sakit Mas pelan-pelan akh..”<br />Walaupun sudah basah, tapi vaginaku masih sangat sempit karena aku masih perawan.<br />“Au.. sakit”<br />Mas Andi tampak merem menahan nikmat, tentu saja dibandingkan Mbak Sari tempikku jauh lebih menggigit. Lalu dengan satu sentakan kuat sang rudal berhasil menancapkan diri di lubang kenikmatanku sampai menyentuh dasarnya.<br />“Au.. sakit..”<br />Aku melonjakkan pantatku karena kesakitan. Kurasakan darah hangat mengalir di pahaku, persetan! Sudah kepalang tanggung, aku ingin ngerasain nikmatnya bercinta. Sesaat kemudian Mas Andi memompa pantatnya maju mundur.<br />“Jrebb! Jrebb! Jrubb! Crubb!”<br />“Aakh! Aakh! Auw!”<br />Aku menjerit-jerit kesakitan, tapi lama-lama rasa perih itu berubah menjadi nikmat yang luar biasa. vaginaku serasa dibongkar oleh tongkat kasti yang kekar itu.<br />“Ooh.. lebih keras, lebih cepat”<br />Jerit kesakitanku berubah menjadi jerit kenikmatan. Keringat kami bercucuran menambah semangat gelora birahi kami.<br /><br />Tapi Mas Andi malah mencabut penisnya dan tersenyum padaku. Aku jadi nggak sabar lalu bangkit dan mendorongnya hingga telentang. Kakiku kukangkangkan tepat di atas penisnya, dengan birahi yang memuncak kutancapkan batang bazooka itu ke dalam bawukku,<br />“Jrebb.. Ooh..” aku menjerit keenakan, lalu dengan semangat 45 aku menaik turunkan pantatku sambil sesekali aku goyangkan pinggulku.<br />“Ouwh.. enak banget tempikmu nggigit banget sayang.. penisku serasa diperas”<br />“Uggh.. yes.. uuh.. auwww.. penismu juga hebaat, bawukku serasa dibor”<br />Aku menghujamkan pantatku berkali-kali dengan irama sangat cepat. Aku merasa semakin melayang. Bagaikan kesetanan aku menjerit-jerit seperti kesurupan. Akhirnya setelah setengah jam kami bergumul, aku merasa seluruh sel tubuhku berkumpul menjadi satu dan dan<br />“Aah mau orgasme Mas..”<br />Aku memeluk erat-erat tubuh atletisnya sampai Mas Andi merasa sesak karena desakan susuku yang montok itu.<br />“Kamu sudah sayang? OK sekarang giliran aku!”<br /><br />Aku mencabut vaginaku lalu Mas Andi duduk di sofa sambil mememerkan ‘tiang listriknya’. Aku bersimpuh dihadapannya dengan lututku sebagai tumpuan. Kuraih penis besar itu, kukocok dengan lembut. Kujilati dengan sangat telaten. Makin lama makin cepat sambil sesekali aku isap dengan kuat.<br />“Crupp.. slurp.. mmh..”<br />“Oh yes.. kocok yang kuat sayang!”<br />Mas Andi mengerang-erang keenakan, tangannya meremas-remas rambutku dan kedua bola basket yang menggantung di dadaku. Aku semakin bernafsu mengulum. Menjilati dan mengocok penisnya.<br />“Crupp crupp slurp!”<br />“Ooh yes.. terus sayang yes.. aku hampir keluar sayang!”<br />Aku semakin bersemangat ngerjain penis big size itu. Makin lama makin cepat cepat Cepat, lalu lalu<br />“Croot.. croot..”<br />Penisnya menyemburkan sperma banyak sekali sehingga membasahi rambut wajah, tetek dan hampir seluruh tubuhku. Aku usap dan aku jilati semua maninya sampai licin tak tersisa, lalu aku isap penisnya dengan kuat supaya sisa maninya dapat kurasakan dan kutelan.<br /><br />Akhirnya kami berdua tergeletak lemas diatas karpet dengan tubuh bugil bersimbah keringat. Malam itu kami mengulanginya hingga 4 kali dan kemudian tidur berpelukan dengan tubuh telanjang. Sungguh pengalaman yang sangat mengesankan.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-41803125915358179402014-01-06T22:32:00.001-08:002014-01-06T22:32:39.641-08:00Nafsu istriku“ Papa sih! Diajak naik pesawat aja ngga mau!” Omelnya sembari menciutkan wajahnya yang cantik.<br />“ Sorry Say, aku hanya berpikir eman eman mesti membuang buang duit buatbeli tiket pesawat. Juga mesti sewa mobil untuk tour, khan uangnya bisa kita pake abis abisan buat muasin liburan kita?” Jawabku mencoba menetralisir.<br />Ia mengehela napas panjang. Terasa sekali atmosfir kekesalan dan kejenuhannya.<br /><br />Kemudian ia meraih tas tangannya yang diletakkan di jok belakang yang kosong. Ia mengeluarkan sebungkus rokok LA light menthol kegemarannya. Ia kuakkan sedikit jendela mobil sekedar cukup membuang asap rokoknya.<br /><br />“ Papa nanti mesti carikan pemijat nih!” ujarnya ketus dengan muka yang masih ditekuk.<br />“ Ya,ya” jawabku sembari melempar sebuah senyum mesra padanya.<br /><br />Anna tidak menggubris malahan ia memalingkan wajahnya kearah kiri. Ia lebih memilih melayangkan pandangannya pada panorama senja yang kami lalui. Juga pura pura kecil yang berjajar disepanjang perjalanan itu. Tepat jam tujuh waktu setempat, kami masuk ko ta Denpasar. Langsung kugiring Teriosku kesebuah hotel yang telah kupesan lewat tele phone dikawasan Legian. Hotel berbintang tiga yang berdampingan langsung dengan pantai.<br /><br />Sesampai dikamar, nuansa romantis pulau Bali sekonyong konyong menyergap sukmaku dan membangkitkan gairah untuk bercinta. Kulihat istriku sudah menanggalkan kaos you can see dan hotpansnya dan seperti akan menggantinya dengan sebuah gaun tidur. Ia berdiri membelakangi hanya berpenutup tubuh sebuah celana dalam krem berenda. Diusianya yang ketigapuluhtujuh ia masih memiliki bentuk tubuh yang sangat indah dengan tonjolan pantat yang berisi. Libidoku semakin naik keubun ubun saat menatapnya lebih lama sehingga tanpa bisa kutahan lebih lama kudekati dirinya mencoba memeluknya dari arah belakang.Kutempelkan bibirku pada tengkuknya sebagai pembuka ajakanku untuk bercinta. Tetapi Anna berusaha berkelit dan memaksakan diri memasang daster pada tubuhnya. Kucoba menahan tangannya sambil meneruskan ciuman ciumanku pada bagian bawah cuping telinganya sebagai acara pembuka yang biasa ia sukai, namun saat itu ia malahan bereaksi sebaliknya. Ia malahan berusaha berkelit.<br /><br />“ Papa aku mau mandi dulu!” protesnya seraya memutar badannya mengahadap kearahku.<br />“ Ayolah Sayang! Aku sudah kebelet banget nih! “ rajukku sedikit memaksa.<br />Istriku berusaha melepaskan diri lalu dengan cuwek bebek ia ngeloyor kekamar mandi meninggalkanku begitu saja.<br />“ Tadi Papa sudah janji nyarikan pemijat khan?” tagihnya.<br /><br />Belum sempat aku menjawab ia sudah menyambung sebelum ia tutup pintu kamar mandi, “ selesai mandi aku mau pemijatnya sudah siap, Pa!”.<br /><br />“ Ya,ya” Jawabku sedikit kesal juga karena ajakanku tidak diturutinya.<br /><br />Kemudian kulangkahkan kaki menuju lobby hotel mencari info pemijat yang bisa aku sewa. Seorang receptionist perempuan menyambutku dengan sangat bersahabat.Dengan sangat ramah dan sopan ia menawarkan bantuan. Kujawab kalau aku lagi cari pemijat yang profesional untuk istriku.Perempuan itu menyodorkan sebuah album photo dan mempersilahkan aku untuk memilihnya.Kulihat album itu memuat belasan foto lelaki muda berpostur atletis. Aku sempat ragu lalu kusodorkan kembali pada gadis itu.<br /><br />“ Jangan ragu pak! Cowoq cowoq pemijat kami dijamin professional! Pasti istri bapak akan puas” Ujarnya berusaha meyakinkanku.<br />“ Loh puas? Maksudnya?” gumamku penuh ketidakmengertian.<br />“ Belum pernah menyewa messureboy plus,kayak begini Pak?” sambung gadis itu dengan pandangan mata yang genit.<br /><br />Aku menjawabnya dengan sebuah gelengan kepala.<br /><br />“ Kalau gitu tidak ada salahnya mencoba pengalaman yang lebih mendebarkan, mengesankan dan tentunya menggairahkan, Pak! Jadikan ini sebuah kejutan buat istri bapak! Dijamin istri bapak akan senang.” Perempuan itu tiada henti memaksakan tawarannya.<br /><br />“ Cowoq cowoq kami dijamin “bersih” Pak! Jangan kuatir” imbuhnya.<br />Aku jadi teringat kata kata istriku beberapa minggu saat kami nonton bokep.<br />“ Gimana rasanya di masukin penis sepanjang itu ya Pa?”<br />“ Mestinya enak, Ma! Pingin nih?” godaku<br />“ kalau diijinin” Jawabnya sangat lirih dan ragu ragu.<br /><br />Ketika kucoba shrare dengan beberapa temen dikantor, mereka pada menganjurkan mencoba soft swing dengan menyewa jasa pemijat pasutri, kebanyakan mereka sudah punya pengalaman dan istri istri mereka jadi tambah bergairah katanya. Kala itu advise mereka kuanggap keterlaluan masa aku sebagai suami bisa merelakan istriku ditiduri lelaki lain?. Namun membayangkan sebuah pengalaman baru membuat pendirianku goyah juga akhirnya. Kuterima tawaran receptionist lady itu hitung hitung sebagai variasi demi membahagiakan istri sendiri sekaligus untuk membutikan omongan temen temen.Kutinggalkan lobby setelah kupilih seorang lelaki yang kuanggap memenuhi selera istri ku tercinta. Lelaki ganteng type bule dan berperawakan tinggi besar.<br /><br />Ketika sampai dikamar kulihat istriku sudah selesai mandi dan sedang merias wajah didepan kaca rias, dengan hanya melilitkan sebuah handuk ditubuhnya yang sintal.Ia spontan menanyakan apa aku sudah dapat pemijatnya.Kujawab sudah<br /><br />“ Papa milihin yang pijatannya enak khan? Tidak kasar.tapi kuat?”<br />“ Pasti!Yang lembut mainnya tapi kuat sodokannya,khan? aku paham koq seleramu, Mam! Pasti deh kamu puas”<br />“ Puas? Maksud Papa?” tanyanya sambil memelototkan mata tampak bingung.<br />“ Maksudku jadi lega gitu loh. Ma” kucoba memperhalus.<br /><br />Kunyalakan tivi lalu memilih beberapa chanel yang ada sambilngobrol santai di sofa. Sekitar lima menit kemudian, terdengar pintu diketuk. Akupun bangkit. Seorang lelaki muda bertubuh tegap dengan tinggi sekitar seratus delapanpuluhan centi telah berdiri disana. Ia tersenyum sangat ramah dan sangat bersahabat. Wajah dan postur tubuhnya tidak berebeda jauh dengan fotonya tadi.<br /><br />“ Malam Oom! Saya Nicko… Massuerboy yang Oom pesan tadi” sapanya sopan.<br />“ Oh! Malam! Yuk Masuk!”<br /><br />Lelaki itupun dengan sangat sopan melangkah masuk. Ia melayangkan pandangannya kearah istriku sembari melemparkan senyum.<br /><br />“ Ini Nicko, Mam! Pemijat yang Papa pesan” Kataku memperkenalkan setelah kami bergabung. Keduanya bersalaman dan Nicko mencium tangan istriku dengan sangat mesra.<br />“ Senang sekali bisa bertemu bidadari sesexy dan secantik Anda” katanya mencoba menebar rayuan maut.<br /><br />Istriku tersipu malu sekaligus bangga mendengar pujian dari lelaki ganteng yang belum dikenalnya. Wajah cantiknya merona merah. Ia melirik kearahku dengan tatapan bingung, seakan meminta penjelasan arti semua ini.<br />“ Malam ini kita coba variasi yang lain ya, Mam?” sahutku sembari mengerling penuh arti. Istriku hanya bisa memandangiku dengan bengong.<br />“ Bagaimana Tante cantik? Apa bisa kita mulai pemijatan sekarang?” usul Nicko menawarkan diri.<br />“ Ayolah Mam! Nikmati aja!” ujarku menyemangati sambil menarik tangannya lalu membimbingnya keranjang.<br /><br />Istriku akhirnya mau merebahkan diri dan menelungkup diranjang dengan berbalut sebuah handuk mandi. Ia terus menatapku dengan tatapan yang sama. Kubelai belai rambutnya sambil mengatakan,” it’s okey Dear! Let it be!”. Sampai ia mulai terlihat rilex.<br /><br />Nicko lebih dahulu menuangkan minyak khusus ditelapak tangannya lalu ia oleskan pada kedua tungkai kaki Istriku. Setelah terlumasi dengan sempurna Nicko mulai memijit diawali dari telapak kaki. Dari olah tangannya, terlihat pemuda itu benar benar profesional. Kutanyakan bagaimana pijatan Nicko, "sangat enak" jawab istriku.<br /><br />Tangan lelaki itu kini digeserkan semakin naik. Menjelajahi betis dan paha istriku yang mulus terawat.Sedang asyik asyiknya menonton, ponselku yang kuletakkan diatas meja rias menyalak. Mengagetkan dan sangat mengganggu. Dari big boss ternyata. Sialan bener! Masak dia tega bener menggaggu saat liburan seperti ini, omelku.<br /><br />“ Sorry! Terpaksa gua telephone elu! proporsal pengajuan proyek “ Mega Dip” ( Maksudnya proyek pembangunan apartemen mewah di jalan Diponegoro )nya apa udah elu e mail ?”<br /><br />“ Sudah pak! Sejak kamis lalu” Jawabku seraya melangkah keluar menuju ke teras balkon agar tidak mengganggu istriku.<br /><br />Lebih dari seperempat jam kuhabiskan waktu berdikusi dengan big boss sampai beliau puas dengan keteranganku karena proyek yang sedang kami tangani saat itu memang bernilai sangat besar. Ketika aku kembali masuk kekamar, aku sempat merinding juga mendapati tubuh istriku yang telah dalam keadaan telanjang bulat dalam posisi telungkup sedang diurut urut tangan lelaki itu dibagian pundak dan punggungnya. Handuk yang tadi dililitkan ditubuhnya kini tampak tergolek begitu saja dikarpet seperti habis dilemparkan. Sementara itu pemuda itupun telah melepas pakaiannya dan hanya menyisakan celana dalamnya saja. Lelaki itu kelihatan sangat terangsang menyaksikan kemolekan tubuh telanjang istriku yang sedang dipijitnya. Otot diselakangannya tampak menonjol dari balik celana dalamnya yang ketat dalam kondisi yang sudah sangat tegang. WOW! Sangat panjang barangkali delapanbelas sampai duapuluhan centi.<br /><br />Kudengar istriku mulai mendesah pelan ketika tangan Nicko mendarat pada bongkahan pantatnya. Tangan itu terus meremas remas dengan tehnik tertentu yang kelihatan sangat nyaman rasanya. Sesekali ia sengaja memplesetkan tangannya kebawah hingga menyentuh bibir kemaluan istriku. Berulang ulang itu dilakukannya sampai istriku harus mengangkat angkat pinggulnya saking geregetan. Nicko benar benar pria yang ahli menstimulasi birahi wanita. Terdengar berulang ulang erangan nikmat Istriku sembari membenamkan muka dalam dalam pada bantal.<br /><br />Suatu saat Nicko memintanya berbalik. Istriku menurut saja dan tidak mempedulikan ke hadiranku lagi. Dirinya seperti terhipnotis dan menjadi begitu tunduk dibawah kekuasan lelaki itu.Ia terlentang dengan sangat pasrah. Nampakter seperti sedang menunggu pemuda itu meningkatkan level kenikmatan yang diberikanya. Nicko mendaratkan telapak tangannya di seputar payudara istriku yang montok dan masih kencang. “ Buahdada Tante sangat menggemaskan” Rayu Nicko seraya memainkan jari jari ajaibnya.<br /><br />Istriku mengulas senyum. Senyum penuh kebanggan saat mendengar pujian itu. Ia picingkan mata ketika telapak tangan Nicko mulai merayap dan meratakan lotion kebuahdadanya yang membusung dan putingnya yang mulai mengeras.Sepasang bukit kembar itu terlihat menjadi semakin merangsang!.Jari jari Nicko terus menari naik turun dan memutar mutar laksana pemain iceketting yang tengah meluncur luncur diatas hamparan es yang licin. Pemuda itu benar benar ahli dan sangat menguasai.Istriku memejam kan mata, mendongakkan kepala, dan mengangakan mulutnya. Ia sangat menikmati setiap sentuhan Nicko.Kini tangan lelaki itu bergerak turun melintas diperut lalu bulu bulu lebat didaerah segitiga dan daerah lipatan paha. Istriku semakin kelonjotan didera birahi yang dahsyat. Ia menggerinjalkan badannya sembari melenguh nikmat setiap kali jari nakal Nicko meraba bibir vaginanya.<br /><br />Berkecamuk dalam diriku antara perasaan cemburu dan nafsu. Disuatu saat aku ingin menghentikannya namun disaat lain aku lebih suka menonton. Namun setiap kali kulihat ekspresi kenikmatan istriku, rasa cemburu dan tidak nyaman itu berangsur berubah. Aku sebagai suami merasa bisa memberinya kebahagian yang sangat istimewa. Apalagi saat mendengar setiap desahan erotisnya yang sungguh merangsang kelelakianku membuat aku lebih memilih ikut menikmatinya.<br /><br />Suatu saat saking tidak tahan lagi oleh dorongan nafsu sexual dalam dirinya,istriku nekad menjulurkan tangan meraih kepala Nicko lalu ditariknya kebawah menuju selakangannya yang telah dibuka lebar lebar.<br /><br />“ Sekarang cumbuin aku, Nickk!" pintanya dengan suara yang gemetaran menahan gairah yang siap meledak kapanpun.<br /><br />Liang vaginanya terlihat sangat basah dipenuhi lendir asmara. Bibir vaginanya telah merekah bak kuncup bunga yang sedang mekar. Nicko langsung menjawab undangan cinta Istriku.Ia benamkan muka diselakangannya. Mengendus enduskan sejenak ujung hidung mancungnya pada bulu bulu kemaluan istriku yang dibiarkan tumbuh lebat. Nicko menjulurkan lidah kemudian mulai melumat liang berlendir itu. Istriku menggelinjang gelinjang bak cacing kepanasan disertai desahan desahan yang membangkitkan nafsu. Ia benar benar sedang mabuk birahi.Kuputuskan untuk ikut bergabung dengan menghampirinya.Kubenamkan wajah pada belahan buahdadanya yang membusung. Kuciumi dan kujilati dengan penuh nafsu.<br /><br />“ Nick.Oh! Nick! Masuki aku sekarangg!” seru Istriku.<br /><br />Nicko langsung bereaksi. Ia tarik lepas celana dalamnya mengeluarkan magnum laras panjangnya lalu mengarahkan keliang syahwat Istriku yang sudah menunggu untuk dimasukinya. Ia dorong hingga terbenam seluruhnya, “ BLESH!”.Istriku memiawik!.<br /><br />Nicko mulai dengan tusukan tusukan yang perlahan tapi dalam.terus menerus menyodok tonjolan G spotnya dalam irama yang tetap. Aku masih mengulum dan menghisapi puttingsusunya. Sesekali kugigit gigit lembut. Serangan kami berdua benar benar efektif. Istriku tampak semakin tergiring mendekati puncak tertingginya. Mendadak Nicko mempercepat dan memperkuat sodokannya. Istriku menggelinjang gelinjang histeris hingga kedua buahdadanya ikut terpental pental naik turun.<br /><br />Sampai akhirnya,Istriku menjerit panjang ketika mencapai klimaks.<br /><br />Setelah mereda Nicko mencoba memanaskan kembali gairah Istirku dengan menjilati vaginanya Sementara itu aku sudah sedemikianterangsang. Kubuka celana lalu kusodorkan batang kemaluanku yang sudah sangat tegang kemulut Istirku.Ia menyambutnya dengan sangat bergairah lebih dari biasanya. Ia jilati seluruhnya dengan sangat mesra. Kemudian ia mulai masukkan kedalam mulutnya. Kupejamkan mataku ketika ia mulai mengeluar masukkan sambil menyedot dengan kuat.<br /><br />Gairah Istirku telah menyala kembali. Ia meminta Nicko menyetubuhinya lagi sementara mulutnya masih mengulum batang kemaluan ku.Nicko langsung menyerbu dengan sodokan sodokan yang kuat dan cepat. Saking semangatnya hingga kantung zakarnya menepuk nepuk selakangan Istriku dan menimbulkan bunyi yang cukup keras: “ Plok! PLok! Plok!”.<br /><br />Selang beberapa menit tubuh Istriku terasa mengejang. Perutnya tampak bergetar hebat. Dan lewat sebuah pekikan panjang ia sambut klimaks keduanya. Matanya terbeliak beliak seperti sedang tersengat berjuta juta volt kenikmatan.<br /><br />Sejenak kemudian ketegangannya mereda. Nicko turun dari tubuh Istriku penisnya masih tampak menegang dan belum ejakulasi. Ia memberiku giliran untuk menyetubuhi Istriku yang cantik. Kurengkuh tubuhnya lalu kutelentangkan ditepi ranjang. Kurentangkan kedua kakinya lebar lebar hingga tampak liang syahwatnya yang melongo sehabis dijejali kemaluan Nicko.Sisa sisa lendir orgasmenya yang berwara putih kental meleleh di bawah celah itu. Persis seperti setangkup burger bermayonness. Pemandangan itu membangkitkan rasa lapar birahiku. Dengan gemas kulesakkan batang kemaluanku kedalam liang kenikmatannya,Kemudian kukayuh pinggul maju mundur dengan kuat dan tempo yang cepat.<br /><br />Sementara itu Nicko telah menempatkan dirinya disamping Istriku dan menyodorkan batang kemaluannya.Istriku meraup dengan sepontan dan menyambutnya dengan jilatan jilatan yang rakus. Nicko mengulurkan tangannya kearah selakangan Istirku. Ia gunakan jari tengahnya untuk menggesek kelentit Istriku sementara aku menggejot liangnya penuh nafsu.Istriku melengkungkan punggungnya penuh rasa nikmat. Berulang ulang ia mengerang memintaku agar memperkuat tusukanku dan meminta Nicko mempercepat gosokannya.Istriku mengejankan tubuhnya disertai jeritan penuh kepuasan. Dinding dinding dalam vaginanya terasa mencengkeram kuat kuat batang kemaluanku!. Beberapa detik,sampai lendir orgasmenya memancar keluar dan membasahi seluruh batang kemaluan ku.<br /><br />Kami berganti posisi lagi. Aku duduk ditepi ranjang sementara istriku membungkuk tepat di depanku dan menggenggam erat batang kemaluanku. Ia menjilat, mengulum, menghisap dan menggosoknya dengan cepat. Nicko menghampiri pinggul istriku yang dalam posisimenungging menghadap kearahnya. Matanya melotot menatap bongkahan indah vagina yang menyembul tepat dibawah belahan pantat sembari tak henti hentinya memuji muji keindahannya.Ia merendahkan tubuhnya lalu melumat vagina Istriku dari belakang.<br /><br />Setelah memastikan segalanya siap,Nicko kembali memasuki vagina Istri ku dari arah belakang. Ia membombardir dengan tusukan tusukan yang kuat dan sangat cepat. Kuselipkan tangan pada selakangan Istriku menggelitik kelentitnya.Anna memeluk pinggangku dengan kuat sambil membenamkan mukanya diselakanganku setiap kali Nicko menghujamkan sedalam mungkin penis panjangnya.Batang kemaluanku yang ada dalam kuluman mulut istriku terperosok lebih dalam hingga menyentuh pangkal lidahnya setiap kali Nicko mendorong kuat kedepan.<br /><br />Dan suatu kali kembali Anna mengejang!. Sedangkan Nicko masih terus menyerbunya dengan ganas. Anna menjerit sejadi jadinya sambil mengangkat pinggulnya saat dirinya dilecut orgasme yang keempat.Hampir bersamaan terdengar lenguhan keras Nicko. Ia hujam kan penisnya sedalam mungkin menjelang ejakulasi. Selanjutnya dengan sangat cepat ia cabut, menggenggamnya lalu memuntahkan spermanya pada celah pantat Istriku sambil menggeram bak seekor gorilla jantan.<br /><br />Anna dengan sangat lahap kembali mengulum batang kemaluanku yang masih ada dalam gengamannya. Sedotan dan jilatannya yang ahli memojokkan dan memaksaku untuk segera menyerah. Tangannya kini ikut mengocok dengan sangat cepat Ia merancapiku semakin cepat. menghisap semakin kuat!.Sampai akhirnya ujung penisku menggeliat geliat!. Berkelonjotan sebentar kemudian menyemburlah cairan kejantananku berulangkali dalam mulutnya. Kupejamkan mata sambil menggeram saat kurasakan Istriku menyedot setiap pancaran maniku. Luar biasa!.<br /><br />Setelah mereda kami bertiga menuju kamar mandi untuk membersihkan diri sambil berendam di bathtube yang sudah kami isi dengan air hangat. Anna bergelayut manja dipangkuan Nicko sedang aku duduk diseberang mereka. Sembari berendam kulihat mulut Nicko tidak mau lepas dari payudara Istriku. Lelaki itu agaknya sangat terobsesi dengan keseksian tubuh Istriku dan terus ingin menikmatinya mumpung diberi kesempatan. Istriku membiarkannya bahkan tampak sangat menikmati. Kini keduanya tengah terlibat adu bibir saling memagut dan saling menjilat penuh hasrat. Sementara itu tangan Nicko tanpa henti meremasipayu daranya. Dengan posisi seperti itu memaksa Anna menunggingkan pinggulnya. Tepat menghadap kearahku. .Dapat kulihat celah vaginanya yang sangat menggoda. Merekah dan basah mengkilat oleh lendir. Kubasahi sebuah jari tengahku dengan ludah lalu kugelitiki kelen titnya lewat bongkahan pantatnya. Lendir birahi semakin banyak meleleh keluar membanjiri celah itu pertanda siap dimasuki.<br /><br />Dengan nada yang sangat manja ia memintaku untuk menyetubuhinya dari belakang. Kubimbing batang kemaluanku lalu kumasuki liang syurganya,sementara Istriku masih asyik berciuman dengan Nicko.Istriku langsung mendesah erotis saat kugerakkan penisku keluar masuk. Vaginanya memang terasa sangat nikmat tidak berubah sejak pernikahan kami beberapa tahun lalu. Bahkan menjadi lebih nikmat dalam posisi doggy style seperti itu. Namun aku tidak mau cepat selesai dan cepat cepat ejakulasi, sehingga kuputuskan untuk menarik tubuh Istriku keujung bak tanpa melepas batang kemaluanku dari vaginanya. Aku duduk dibawah sedang ia mengangkang diatas dalam posisi membelakangi . Ia kini yang aktif menggali kenikmatan dengan menggerakkan pinggulnya naik turun dengan giat. Kupegang kedua pinggangnya dengan mantap untuk menjaga kesetabilan dirinya yang terus bergerak dengan sangat liar diatas pangkuanku. Nicko memilih menghisapi putingsusu Istriku dengan mulut dan menggelitiki kelentitnya dengan jari. Aku dan istriku terus saling mem<br />bagi kenikmatan. sampai terdengar kembali jeritan kepuasan Istriku yang segera kususul dengan pancaran dahsyat didalam himpitan liang yang sarat dengan kenikmatan itu.<br /><br />“ Crot! Crot! Crot!” sangat banyak yang kumuntahkan hingga meleleh keluar dari celah vaginanya.<br /><br />Setelah selesai Nicko membantu membersihkan bagian intim Istriku dengan air bak yang hangat kemudian ia angkat tubuh bugil itu menuju kamar tidur sementara aku mengganti air bak dengan air baru lalu kupakai berendam untuk menyegarkan keletihanku. Kunikmati benar saat air hangat itu merayap keseluruh permukaan kulitku dan membuka simpul simpul keletihanku. Sayup sayup kudengar rintihan erotis Istriku.<br /><br />Sialan! Rupanya Nicko tak mau merelkankan tubuh Istriku menganggur barang sejenak pun mumpung dikasi kesempatan dan dibayar lagi.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-27977867084736551882014-01-06T22:30:00.002-08:002014-01-06T22:30:22.564-08:00Sandal jepit istrikuSelera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin tak ketulungan.<br /><br />"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.<br /><br />"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.<br /><br />"Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku masih dengan nada tinggi.<br /><br />Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.<br /><br />*******<br /><br />Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada. <br /><br />"Ummi... Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"<br /><br />Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis," batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.<br /><br />"Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.<br /><br />Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…<br /><br />********<br /><br />Bi..., siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.<br />"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.<br />"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.<br />"Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa," ucap isteriku lagi.<br /><br />"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.<br /><br />*******<br /><br />Pertemuan dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin. <br /><br />Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.<br /><br />"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.<br /><br />"Krek...," suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*) ku!" pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.<br /><br />Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."<br /><br />Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!<br /><br />"Maryam...!" panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.<br /><br />"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini.<br />"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.<br /><br />******<br /><br />Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah, jazakallahu...," ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.<br /><br />Ah, Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud (**) dan 'iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku? <br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-18943043572047031462013-12-21T02:12:00.002-08:002013-12-21T02:12:05.593-08:00Istri teman-temanku - 1Hari itu aku menerima sebuah email dari grup swinger dimana kami menjadi anggotanya.yang intinya adalah sebuah undangan untuk turut serta pada sebuah acara yang akan diadakan di hotel terbesar di Jawa Barat di tepi pantai.<br /><br />Ketika kusampaikan pada Anita ia hanya mengernyitkan kening “Nggak kejauhan tuh pah?”, tanyanya.<br />”Ya entahlah.., mereka set up tempatnya disana, tinggal kita mau ikut atau nggak, semua ada 4 pasang, dengan kita” jawabku.<br /><br />Mengingat waktu yang dipilih adalah week end, kami setuju untuk turut serta, apalagi mengingat sepanjang bulan Desember hingga lewat tahun baru kami jarang punya kesempatan untuk berdua, maklum anak anak sudah semakin besar dan tuntutannya untuk mengisi liburannya juga semakin beragam, sehingga praktis setiap ada waktu libur serta sepanjang libur natal dan tahun baru yang cukup panjang, waktu kami dikuasai ’mereka’<br /><br />Pada malam harinya sebelum kami berangkat telp ku berbunyi, ternyata Sonny yang call ”Hey.....udah siap?” tanpa basa basi ia bertanya, memang kawan satu ini orangnya straight tapi baik dan humoris. ”Sudah jawabku, pagi-pagi kami berangkat” jawabku, <br />”Gini...gini....bisa nggak kalau kita minta tolong?” tanyanya<br />”Anything ..man” jawabku<br />”Aku, Herman, dan Andi besok pagi ternyata mesti ketemu sama client, nggak bisa ngelak, ada sedikit masalah soal proyek kita” jelasnya<br />”Lalu..?” tanyaku masih belum mengerti maksudnya<br />”Titip Wirda my wife, juga Irene dan Cinthya, kalian berangkat aja duluan kita nyusul setelah pertemuan, soalnya you know.., mereka udah siap – siap kalau dengar berangkatnya jadi kesiangan moodnya suka hilang terus ngambek, nggak fun nantinya ..ok?” jelasnya panjang lebar, dan yang dimaksud Irene dan Cintya adalah istri Herman dan Andi.<br />”O..itu, ya nggak masalah lagian mobilku kan lumayan besar” jawabku<br />”Apa kujemput mereka satu persatu?” tanyaku melanjutkan<br />”Ah nggak usah, come over to my place aja pagi pagi, mereka udah janjian ngumpul disini.”katanya<br />”Oke.., sampai besok ya..” kataku menutup pembicaraan.<br /><br />Pagi pagi sekali kami sudah berada di sebuah kompleks perumahan elite di wilayah selatan dan ketika kami tiba di kediaman Sonny, suasana sudah ramai.<br /><br />”Hey... kami saling berpelukan saat bertemu mereka, memang walau kami belum pernah gabung di acara yang dihadiri Andi dan Cintya serta Herman dan istrinya Irene, namun kami sudah saling mengenal dan pernah makan malam bersama.<br />”Okay ..udah jangan kebanyakan cerita.., berangkat aja..kita bereskan dulu pertemuan dengan client cerewet itu, nanti kita menyusul” Sonny yang tanpa basa basi langsung berkata.<br />”Eh...ngusir.....awas ya kamu Son..baru datang boro-boro dikasih minum, ” Anita menanggapi gurauan Sonny.<br />”Kamu yang awas ntar disana.., jangan minta tambah lho,” ujar Sonny menyambut gurauan Anita.<br />Demikianlah sekejab kemudian mobil yang kukemudikan sudah meluncur mulus menembus cerahnya udara pagi.<br /><br />Dari percakapan antar para istri di mobil aku baru tahu kalau Sonny, Andi dan Herman sama sama bekerja dalam sebuah holding yang cukup ternama, dan sesungguhnya sama sekali tak diduga kalau hari ini mereka ditugaskan menemui dan rapat dengan client holding tersebut, ”Namanya juga cari makan.., ya udah mau nggak mau” Wirda menyelesaikan penjelasannya.<br /><br />Wirda adalah seorang wanita yang masih tampak menarik di usianya, memang ia dan suaminya adalah anggota tertua dalam komunitas kami, Sonny berusia 55 tahun dan Wirda hampir mencapai 50 tahun, masih tampak lebih muda dari usianya, Irene yang termuda berusia sekitar 28 tahun, wajahnya cantik sekali dengan sepasang mata yang besar dan menarik hati, berambut ikal sebahu tubuhnya langsing dan walau dadanya tidak terlalu besar namun proporsional, sementara Cintya sekitar 35 tahun, wajahnya lumayan manis dengan tubuhnya tidak terlalu tinggi, payudaranya besar sekali, namun pinggangnya termasuk ramping, dengan pinggul yang bulat,<br /><br />Aku mengemudikan dengan santai dan hampir 5 jam kemudian kami tiba di lokasi, sebuah hotel yang terdiri atas beberapa bungalow dan terletak persis ditepi pantai.<br /><br />Demikianlah setelah merapihkan barang - barang kami di masing – masing bungalow, waktu ternyata sudah lewat tengah hari dan kami semua sudah kelaparan, makanan yang disediakan ternyata lumayan enak dan akhirnya dengan perut kenyang kami semua kembali ketempat masing – masing untuk beristirahat.<br /><br />Sonny ternyata memesan 4 buah bungalow untuk kami semua, sehingga tiap pasangan punya privacy dan khusus untuk bungalow yang ditempatinya ia memesan yang terbesar dengan 2 kamar, dan aku mengerti maksudnya, kamar yang satunya akan menjadi ’kamar bermain’.<br /><br />Siang itu aku tertidur di bungalow kami, Anita juga nampak masih lelap ketika aku bangun, hari sudah menjelang sore, kubuka jendela kamar, tampak lautan lepas menghampar membawa ombak dengan buih buihnya, udara cerah dan semua terasa nyaman.<br /><br />’Tok....Tok...”pintu kami diketuk dan ketika kubuka nampak Wirda berdiri didepan pintu dengan wajah keruh..”Yuk...masuk..”kataku mempersilahkan dan Anita yang juga baru bangun... sudah bergabung.<br /><br />”Sonny..nampaknya nggak bisa datang” katanya langsung, ”Juga Herman dan Andi, rupanya urusan cukup penting hingga mereka sampai harus menyelesaikannya minggu ini juga” katanya lagi.<br /><br />Aku tidak menjawab, ku ambil HP ku dan kuhubungi Sonny, ”Hey..man,,,gimana nih..kamu yang punya acara malah masih di Jakarta, kasihan nih para nyonya udah capek capek 5 jam perjalanan kok jadinya begini?” tanyaku langsung <br />”Sorry, sorry banget.., ada masalah dengan pekerjaan., bener-bener nggak bisa kutinggal.., terserah kalian deh.., tapi aku minta maaf, nih Andi mau bicara” katanya lalu menyerahkan telpnya pada Andi yang juga menerangkan hal yang sama.<br />”Oke..oke.., aku sih bisa paham, jadi enaknya gimana apa kami semua balik saja ke Jakarta malam ini ?” tanyaku pada Sonny<br />”Terserah nyonya nyonya deh...., habis gimana..., kalau kamu sih enak perusahaan punya sendiri.” jawabnya pasrah<br />”Ok coba nanti kuatur deh..” jawabku <br /><br />Jujur saja, suasana disini sesungguhnya nyaman sekali dan aku benci kalau harus nyetir balik ke Jakarta malam ini juga.<br /><br />Kupandangi Anita dan kami beradu pandang sebentar, lalu istriku berkata pada Wirda, ”mBak.. kita makan malam dulu deh.., sambil berunding... ” lalu entah apa yang dibisikannya pada Wirda, namun serta merta wajahnya menjadi cerah.<br /><br />Malam itu kami makan malam di hotel lagi, karena memang makanannya enak dan fasilitas restorannya lumayan bagus, setelah kenyang makan sea food kami memesan minuman dan sepakat untuk ngobrol di dalam bungalow saja sambil minum.<br /><br />Sambil minum kami ngobrol santai, kecuali aku dan Wirda yang duduk di lantai beralaskan bantal yang lain ber leha leha di sofa, sambil sesekali mengomel pada ketiga pria yang tidak kunjung muncul.<br /><br />Suasana cukup ramai, bayangkan 4 wanita berkumpul dan aku laki laki sendirian, menjadikanku hanya sebagai pendengar, belum ada sejarahnya seorang laki laki sanggup mengatasi pembicaraan 4 wanita sendirian.<br /><br />Tiba tiba Wirda yang duduk disampingku melingkarkan tangannya dibahuku, dan ketika aku menoleh, bibirnya sudah mencium bibirku, aku melayaninya dan membalas permainan lidahnya, tubuh kami sudah berpelukan dengan rapatnya dan karena memang posisi kami dilantai, kurebahkan tubuhnya dengan bibir kami tetap berpagutan dan tangan kami saling meraba tubuh masing masing.<br /><br />Kancing bajuku sudah terbuka dan baju Wirda juga mulai terbuka, tanganku memeluknya dan dengan mudah kait BH yang dikenakannya kulepas, dan beberapa kejab kemudian, puting susunya sudah dalam mulutku. <br /><br />Walau sudah tidak terlalu kencang dan padat, namun buah dadanya masih cukup ’layak’ untuk dinikmati, dan tangannya juga tak kalah cekatan, karena batang kemaluanku sudah dalam genggamannya.<br /><br />Tiba tiba kurasakan ada tangan lain yang menyentuhku,, ternyata istriku, yang kini ’membantu’ melepaskan pakaianku, sehingga sebentar saja aku sudah telanjang bulat. Wirda sudah menikmati kemaluanku dengan mulutnya dan Anita kini gantian berciuman denganku, sempat terpikir, wah...4 orang wanita..apa kuat..?<br /><br />Kerasnya lantai membuatku tak nyaman, maka kuusulkan pindah kekamar, dan sambil berpelukan kami semua pindah kekamar, Cinthya dan Irene masih jadi penonton,<br /><br />sementara Wirda dan istriku sudah mulai ’menyerang’ begitu tubuhku mendarat diranjang.<br />Aku telentang dan Wirda berjongkok diwajahku menyodorkan vaginanya untuk kujilat dan lidahkupun segera saja mengembara kesetiap sudut vagina wanita itu sementara tanganku memainkan buah dadanya.<br /><br />Istriku masih asyik dengan mulutnya dijilat dan disedotnya batang kemaluanku dan juga bijiku tak luput dari serangan mulutnya.<br /><br />Merasa cukup lagi pula aku tak ingin cepat cepat selesai, kuminta Wirda bergeser dan kuberi tanda pada istriku untuk berhenti, lalu dengan posisi Wirda dibawah kuangkat kedua kakinya kebahuku dan batang kemaluankupun menembus vaginanya. Kupilih posisi ini karena kuingat cerita Sonny suami Wirda bahwa ia paling tidak tahan lama dengan posisi demikian. Benar saja belum lama aku mengayunkan batang kemaluanku mengaduk aduk bagian dalam vaginanya ia sudah mulai mengerang dan mendesah tidak karuan dan semakin cepat aku bergerak semakin cepat ia mengimbangi hingga akhirnya dengan satu keluhan panjang ia mendesis keras ”O...God....I am cumming....cumming..ahhh....” dan tubuhnya mengejang hebat hingga akhirnya berhenti bergerak dengan batang kemaluanku tertanam di dalam vaginanya yang basah.<br /><br />Sambil berbalik merebahkan diri kemaluanku tercabut dari vagina Wirda yang nampak puas, namun secepat itu pula batang kemaluanku yang masih penuh lendir itu sudah berada dalam mulut hangat Irene yang entah kapan sudah berada disisiku.<br /><br />Anita kembali menciumi wajahku, dan bergerak kebawah, sementara Irene ternyata juga seorang ’maestro’ dalam memainkan kemaluan pria dengan mulutnya.<br /><br />Entah kode apa yang digunkan, namun kini Anita sudah diatasku dan kemaluanku diarahkan memasuki vaginanya, aku agak mengeluh dalam hati karena aku tahu kalau dalam vagina istriku, aku takkan mampu bertahan lama, ada suatu kelebihan pada vagina istriku dan itu terbukti, karena banyak sudah aku mendengar pujian dari banyak laki laki yang pernah merasakan Anita, vaginanya memiliki dinding yang dapat meremas dan berdenyut denyut, luar biasa nikmat. Apalagi saat itu lidah Irene juga tak kunjung berhenti menyapu bijiku dan sesekali bibirnya menyedot dan saat istriku menarik pinggulnya terasa lidahnya menyapu batang kemaluanku. <br /><br />Anita juga sudah sangat terangsang mungkin karena suasana, permainanku dengan Wirda barusan dan sentuhan sentuhan lidah Irene yang pasti sesekali menyentuhnya dengan batang kemaluanku didalam vaginanya. Karena kami sudah sangat dekat dan kenal kebiasaan satu dengan lain, kode yang diberikannya segera kupahami, ia mulai mengayunkan pinggulnya dengan irama nya yang khas dan kami bersama sama mendaki menggapai puncak dan akhirnya ”aku keluar......pa...aku keluar..........aahh...” dan beberapa saat kemudian aku menyusul ”ssshh...ya...ya....ahh...namun tiba tiba Anita melepaskan batang kemaluanku dari vaginanya dan tanpa diduga digantikan oleh mulut Irene. Aku yang sudah sampai dipenghujung tak perduli lagi dan ”Sssshhh... crrrt.....air maniku menyembur dalam mulut wanita istri Herman itu. <br /><br />Dengan mulutnya disedotnya semua yang kukeluarkan dan kemaluanku baru dilepaskan setelah mengerut kecil.<br /><br />Tidak lama aku dapat bersantai, Irene yang wajahnya nampak sekali masih sangat bernafsu sudah mulai lagi dengan serangannya, lidahnya menjilatiku dari atas hingga kebawah, bahkan satau persatu jari tangan ku di emutnya dengan mulutnya, dan mau tidak mau batang kemaluanku menjadi tegang dan keras kembali. <br /><br />Kami sedang dalam posisi 69, tubuhku diatas tubuh Irene dan wajahku terbenam dalam vaginanya, dengan lidahku yang berusaha mencapai sudut sudut yang terdalam, sementara kembali batang kemaluanku sudah dalam mulut Irene ketika tiba tiba kurasa ada tubuh lain yang menempel dipunggungku dan sepasang buah dada yang kenyal dan besar menempel di punggungku, Cintya juga ikutan rupanya.<br /><br />Kuminta Irene menungging, dan dengan posisi doggy style kumasukan kemaluanku dalam vaginanya. Sambil mengayunkan pinggulku Cintya yang berada disampingku menyorkan buah dadanya kemulutku yang segera kusambut dan kusedot sedot, konsentrasi ku kembali agak terganggu karena dalam posisi berlutut dan kemaluanku terbenam dalam vagina Irene, ada yang menerobos dibawahku dan Wirda sudah menjilati bijiku, anusku, dan kembali ke bijiku, wah..........kalau begini aku tak kan bisa lama pikirku, kupercepat dan dengan keras kuhantam vagina Irene dengan ayunan yang cepat, untunglah Irene segera naik dibegitukan dan akhirnya ...hampir bersamaan aku kembali keluar....sedetik kemudian Irene pun berteriak ...”ahh....keluar...keluar.....sssshhh...tubuhnya mengejang sejenak terus melemas dan kemaluanku pun lepas yang rupanya hanya pindah ke mulut Wirda.<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-79493050047596277112013-12-21T02:11:00.003-08:002013-12-21T02:11:39.482-08:00Istri teman-temanku - 2Cintya yang masih belum ’kebagian’ nampak agak kecewa, namun kutarik tubuhnya...kucium bibirnya dan kubisikan untuk sedikit bersabar..., ’habis ini ya...?’ yang dijawab dengan kecupan di bibirku.<br /><br />Kami kembali bersantai semua tetap telanjang bulat dan kusempatkan untuk menyiram tubuhku dengan air dingin yang segar,... aku tak tahu berapa lama pertempuran akan berlangsung namun yang kurasakan adalah rasa lelah dan mengantuk yang mulai menyerang, hanya mengingat janjiku pada Cintya lagi pula dengan bentuk badannya yang sangat montok, Cintya seakan menjanjikan kenikmatan tersendiri.<br /><br />Hampir satu jam kami bersantai, istriku dan Irene saling ngobrol cekikikan, entah apa yang dibicarakan, sementara Cintya berada dipelukanku, tanganku tak henti hentinya memainkan buah dada yang besar itu, terbesar dibanding semua wanita yang ada disini.<br /><br />Wirda yang mungkin kelelahan nampak meringkuk tertidur di sofa dengan tubuh telanjang. Aku berdiri mengambil selimut dan menutupi tubuh istri temanku itu lalu , kubisikan sesuatu pada Cintya dan kami naik keatas tempat tidur, diikuti pandangan mata Irene dan istriku.<br /><br />Aku dan Cintya mengambil posisi 69, dengan dia diatasku, mulutnya segera memainkan batang kemaluanku dan sebentar saja akupun sudah bangkit lagi, sementara vaginanya yang kujilat dan kusedot sedot itu, klitorisnya yang kumainkan dengan lidahku membuatnya banjir dengan lendir, dan tak lama kemudian ia sudah menunggangiku dan bergerak dengan liarnya, buah dada yang extra besar itu berayun ayun yang segera kutangkap dan kupilin pilin putingnya, sesekali direndahkan dadanya untuk di hisap dan disedot olehku. Cintya tak tahan terlalu lama dengan satu gerakan yang sangat keras ditanamkannya batang kemaluanku sedalam dalamnya dan ia meracau tak keruan lalu mendesah dan ambruk di dadaku.<br /><br />Masih kubiarkan sebentar ia diatasku lalu kurebahkan ia kesamping dan kucium bibirnya, matanya tampak mengantuk dan wajahnya nampak puas. Cintya memang tak terlalu cantik namun wajahnya manis mencerminkan hatinya yang baik.<br /><br />Baru saja mau bangkit, istriku sudah menahan dadaku agar tetap rebah dan kini mulutnya bermain, seakan ingin ’pamer’ pada yang lain ia menghisap dan menjilati batangku, pinggulku diganjalnya dengan bantal dan kakiku diangakat keatas lalu lidahnya menembus anusku, sesekali diputarnya lidahnya dalam anusku dan kembali batangku masuk kedalam mulutnya, istriku tahu sekali kelemahanku dan untuk ketiga kalinya malam ini aku ejakulasi hanya dalam waktu beberapa jam. Pas saat aku keluar Irene juga sudah didekat kami dan ikut mencicipi lagi air maniku.<br /><br />Kali ini aku ’habis’ dan tanpa dapat ditahan sekejab kemudian aku sudah lelap. <br /><br />Mataku masih terasa sangat berat untuk dibuka, namun suatu perasaan aneh menjalariku, rasa hangat dan nikmat di selangkanganku mulai menyerang, aku masih terpejam ..., entah siapa yang memainkan mulutnya di batang kemaluanku yang dengan cepat sudah kembali menegang, dan sejujurnya.., aku tidak peduli. Namun rasa tidak peduli itu berubah ketika sebuah mulut hangat lainnya menelusuri dadaku, mengemut puting dadaku dan naik keatas lalu mencium mulutku, lidah kami bertautan dan saling mengisi rongga mulut masing-masing, tanganku bergerak memeluk tubuhnya dan ketika akhirnya kubuka mataku, kulihat Wirda yang menciumku dengan hangatnya dan entah siapa yang masih asyik dengan mulutnya di batang kemaluanku, aku belum tahu.<br /><br />Wirda bergerak menurun dan kini kedua wanita itu seakan memperebutkan batang kemaluan yang kumiliki, mereka bergantian menghisap dan menjilatku, bila yang satu menghisap dan memasukan batang kemaluanku dalam mulutnya maka yang lain menjilati bijiku dan sebaliknya, aku mengangkat kepalaku ternyata wanita satunya adalah Irene.<br /><br />Gerakan mereka terhenti sebentar, Wirda mengambil posisi dan setengah berjongkok ia mengarahkan batang kemaluanku menembus vaginanya sementara Irene menggenggam bijiku, dan setelah terbenam seluruhnya Wirda mulai bergoyang rodeo, seakan dia cowboy dan aku kudanya, buah dadanya berayun ayun, aku masih belum sempat ’menyelaraskan’ irama gerakan ku ketika entah dari mana Irene ’menduduki’ wajahku dan menyodorkan vaginaku yang kujilat dan kusedot sedot, tanganku melupakan buah dada Wirda dan memegang pantat Irene, dengan jariku ’kubelah’ vaginanya dan lidahku masuk sedalam mungkin sesekali kusedot dan kuemut emut klitorisnya.<br /><br />Tidur tadi rupanya tidak membuatku menjadi lebih perkasa karena mulai kurasakan denyut denyut di batang kemaluanku, tanda bahwa aku tak kan tahan lama, namun aku juga pantang mengecewakan wanita, maka supaya ’selesai’ bersama, jariku kumasukan ke vagina Irene dan klitorisnya kesedot, ku emut dan kuhisap dengan teratur, terasa lendirnya makin banyak memasuki mulutku dan desah serta erangannya semakin keras, Wirda juga mengayunkan pantatnya dengan batang kemaluanku tertancap di vaginanya semakin cepat.<br /><br />Tidur tadi rupanya tidak membuatku menjadi lebih perkasa karena mulai kurasakan denyut denyut di batang kemaluanku, tanda bahwa aku tak kan tahan lama, namun aku juga pantang mengecewakan wanita, maka supaya ’selesai’ bersama, jariku kumasukan ke vagina Irene dan klitorisnya kesedot, ku emut dan kuhisap dengan teratur, terasa lendirnya makin banyak memasuki mulutku dan desah serta erangannya semakin keras, Wirda juga mengayunkan pantatnya dengan batang kemaluanku tertancap di vaginanya semakin cepat.<br /><br />Dengan tangan berpegangan pada bahu Irene yang juga bergerak dengan liarnya diatas wajahku, akhirnya Wirda dengan setengah menjerit disertai nafas yang memburu keras berteriak ”Ahhs....ss....st...god ..keluar,,....ahhhh”, disusul Irene yang akhirnya juga mencapai puncaknya. Aku yang tak tahan lagi akhirnya ’meledak’ dengan dahsyatnya...”ahhh..st.........aaahhh......, namun aku tidak bisa memeluk siapapun dan hanya bisa meremas buah dada Irene yang masih ’menduduki’ wajahku dan menyemburkan seluruh sisa persediaan air maniku dalam vagina Wirda.<br /><br />Bertiga akhirnya kami terkulai dan rasanya semua itu bagiku seperti mimpi karena kejab berikutnya aku sudah kembali terlelap dengan wajah penuh lendir Irene dan kemaluan yang menciut namun masih ’basah kuyup’<br /><br />Cahaya silau menerpa mataku, ternyata hari sudah terang, entah siapa yang menutupi tubuhnku dengan selimut, karena aku sudah terbungkus dalam selimut, walau masih tetap telanjang, ketika kulirik ternyata aku sendirian, lalu kemana emapat wanit yang semalam menemaniku ?, Aku bangkit dari tempat tidur dan seperti biasa, batangku juga ikut ’bangun’ dengan menguap lebar aku melangkah mengambil air minum, lalu kekamar mandi, ketika kubuka pintunya ”Aw..” sebuah teriakan kecil mengejutkan ku, ternyata Cintya sedang berendam di bathtub, dengan busa dan gelembung sabun menutupi tubuhnya, ”Pagi...” kataku, ”yang lain nya kemana?” tanyaku sambil melangkah ke toilet dan sambil menunggu jawabannya aku membuang air seniku ditoilet, wah..banyak sekali pagi ini, mungkin karena habis terforsir semalaman. ”Lagi pada jalan.., katanya sih mau cari oleh-oleh” jawabnya, ”Ok..ya udah santai aja Cyn.., kataku..sambil melangkah ke washtafel, mengambil sikat gigi dan menggosok gigiku.<br /><br />”Ikutan ya ?” pintaku menghampiri bathtub, dan dengan segera Cynthia memberika ruang bagiku dihadapannya, dan kamipun berendam bersama, namun karena tidak cukup lebar maka posisi kami berhadapan.<br /><br />Kakiku yang satu menumpangi pahanya dan kaki satunya ditumpangi oleh kaki Cinthya dan isengnya...jari jari kakinya menyentuh batang kemaluanku.<br /><br />” Mas ..” kata Cynthia lembut<br />”Hmmm..”jawabku sambil tetap memejamkan mata menikmati hangatnya air sabun dan sntuhan kakinya di kemaluanku.<br />”Aaaah...males ih.., mau diajak ngobrol malah merem..”katanya manja<br /><br />Ia bangkit, menarik tanganku dan kamipun berdiri, tanpa menggunakan aba aba kami sudah berpelukan dengan tubuh licin karena busa sabun, seperti ikan belut ia menggelinjang dan menggeserkan tubuh dan buah dadanya yang besar merangsang itu ditubuhku, kemaluanku yang tegang bertambah keras rasanya.<br />Kunyalakan air dan memancur melalui deuce yang digantung dan sambil berpelukankami membersihkan busa sabun yang memenuhi tubuh kami.<br /><br />Sambil berpelukan dan berciuman, tanpa mengeringkan tubuh kami menuju ranjang dan langsung bergumul. Kali ini tanpa ada yang ’mengganggu’, kunikmati betul buah dada yang besar itu, kuremas, kuhisap putingnya, kusedot dan kumainkan sepuas mungkin sementara Cynthia juga tidak tinggal diam, tangannya memainkan dan meremas kemaluanku.<br /><br />Dengan posisi diatas aku leluasa mengatur permainan, kini dengan lidah menelusuri tubuhnya terus kebawah aku sampai di vaginanya. Saat terang begini terlihat kalau vaginanya masih bagus, sedikit direkahkan nampak kemerahan dengan kebasahan yang mengundang selera, dan Cintya memang berkulit halus, tidak terlalu putih namun juga tidak gelap, puting susunya merah kecoklatan, dan klitorisnya masih sangat ’layak’ dijilat.<br /><br />Aku tidak mau tanggung, kuganjal pinggulnya dan kuangkat kakinya sehingga aku semakin leluasa mengembara di vaginanya, sesekali kuberi ’perjalanan keliling dunia’ ketika lidahku menyapu anusnya, lalu tanpa memberi kesempatan lagi aku bangkit dan meletakan kakinya di pundakku, dan batang kemaluanku sudah terarah ke vaginanya.<br />”Mmm...kemulut dulu...” protesnya<br />”ssshh...udah nggak tahan nih...” kataku<br />Memang siapa yang akan tahan lama pagi pagi bersetubuh, itu hukum alam, kalau pagi, setelah bangun tidur, sperma sudah diperoduksi maksimum pasti tidak akan bertahan lama, apalagi wanita yang kuhadapi ini memiliki mulut yang sedemikian nikmatnya.<br />”Blessss..” kemaluanku langsung kutanamkan sedalam mungkin hingga matanya agak terbeliak saat vaginanya dimasuki langsung begitu, lalu pantatku mulai mengayun dengan irama yang teratur., <br /><br />Kini dapat kurasakan benar bagaimana nikmatnya vagina Cinthya, legit dan enak.<br /><br />Kurendahkan tubuhku sambil tetap bergoyang dengan irama yang teratur dan mulutku berhasil mencapai mulutnya dengan kakinya masih tetap dipundaku, vaginanya seakan menelan kemaluanku, dan posisi ini ternyata membuatnya sangat nikmat..”ah..ah...,sssh...enak...aduh...enak....ah hh” racaunya tak henti henti, dan akhirnya ”cepet ...cepet....mau keluar...” aku mengayunkan pinggulku semaksimal mungkin dan bersamaan kami mencapai puncak...”sssh..ah.ssshh..hhh” entah usra dan lenguhan siapa yang paling keras. Air maniku pun pagi ini sudah menyiram rahim dan vagina Cynthia. Ejakulasi yang pertama pagi ini.<br /><br />Kami terdiam beberapa saat menikmati sisa sisa getaran kenikmatan, sebelum terkulai.<br /><br />”Mas..., kalau Mas Andi ada...pasti langsung di masukin lagi nih, dia paling senang kalau habis dipakai begini langsung masuk” katanya menceritakan suaminya<br />”Iya..” jawabku, ”Memang enak kok...sloopy second” jawabku dan ia tersenyum, mencium bibirku lalu bangkit menuju kamar mandi membersihkan diri.<br /><br />Aku juga bangkit, namun mengambil rokok dan menghisapnya penuh nikmat.<br /><br />Cintya lalu kembali dan kami ngobrol macam macam hal. Masih tetap telanjang dan aku sungguh senang menatap buah dadanya yang besar itu, namun padat dan kencang menantang.<br /><br />Agak lama kami menunggu hingga Anita dan lainnya kembali, dan saat mereka tiba ”Wah.....bugil bugilan” kata istriku menghampiriku dan mencium bibirku, aku tahu ia pasti mencium aroma vagina di wajahku karena dengan kerling nakal ia berkata..”Curang ya..udah start lagi” katanya. Aku hanya tersenyum.<br /><br />Kami sarapan dikamar, dan wajah heran waitres yang mengantarkan makanan tak kuasa ia sembunyikan melihat 4 wanita, yang satu hanya menutupi tubuhnya dengan selimut saat masuk dan aku yang juga masih telanjang cuma menutupi ’barang’ ku dengan bantal.<br /><br />Setelah kenyang, kami jalan jalan dipantai, wah...seperti raja dengan 4 permaisuri saja rasanya aku hari itu, sampai lupa memberi laporan sama suami suami yang tertahan dengan pekerjaan.<br /><br />”Hallo..., Hey..gimana...” suara Sonny memasuki gendang telingaku saat Wirda memberikan HP nya padaku ketika suaminya menelpon ”Man...your wife ...lezat bener rasanya..” kataku , ”Sialan...., enak ya loe...gila...semua digilir..? tanyanya.<br />”Bukan ..mereka yang menggilirku” jawabku sekenanya.<br />”Nih..Andi mau ngomong” katanya<br />”Hey,..thank’s ya...pagi pagi Cintya udah sarapan tuh...sarapan rohani...eh...susunya itu..aduh...nggak bosen deh ” kataku sambil tertawa. ”Diancuk....” Andi yang berasal dari Jawa Timur memaki dengan logatnya yang khas dan kepada Herman pun aku sempat mengucapkan salam dan berkata ”Man..Irene mulutnya luar biasa ya... thank’s ya sering sering aja kalian lembur begini ha..ha...”.<br />Suara tawa terdengar di ujung sebelah sana, memang begitulah pujian tentang bagaimana nikmatnya rasa istri dari teman yang mencobanya adalah nilai yang sangat ditunggu, karena memberikan kebanggan.<br /><br />Siang itu, karena hari masih panjang, kami bersantai dan saat Irene dengan Cintya berenang, aku ’ditangkap’ oleh Wirda, awalnya aku disuruh telungkup, lalu punggungku dijilati dari leher samapi pantat, di belahnya pantatku dan lidahnya menari nari disitu, aku kali ini tidak diberi kesempatan menjilatinya karena saat berbalik, ia langsung berada diatasku dan membenamkan batang kemaluanku dalam vaginanya, cukup lama kami bersetubuh, karena tadi sudah keluar di vagina Cynthia aku jadi agak lama, istriku kali ini hanya menonton, asli menonton memperhatikan setiap gerakan kami, mengamati saat aku dihisap, dijilat dan sebaliknya, dan rupanya ia menunggu, karena setelah Wirda mencapai puncaknya terkulai dan lepas dari tubuhku, kemaluanku sudah memasuki vaginanya, aku masih tetap dalam posisi dibawah. Hingga kami sama sama mencapai nirwana.<br /><br />Pas saat aku melepaskan kemaluanku dari vagina istriku, Irene dan Cynthia masuk, mereka tersenyum dan Irene menghampiriku lalu ’membersihkan’ punyaku dengan lidahnya ”Pemanasan’ katanya..ketika aku memandangnya. ”Habis ini ya”<br /><br />Setelah beristirahat sebentar, Irene berusaha keras membangunkanku yang lalu menuntaskan hasratnya dengan liarnya, kali ini ketiga wanita yang lain menjadi penonton,.. hingga....... menjelang kami mencapai puncak, Irene mencapai tujuannya beberapa saat lebih dahulu, dan ampun.............saat aku keluar seperti sudah berjanji Irene melepaskan kemaluanku dan ketiga mulut yang selalu ’haus’ itu menjilati dan menghisap air mani yang keluar sampai ngilu aku dibuatnya.<br /><br />Kami masih bersantai hingga sekitar Pk. 15.00, dan sesaat sebelum berkemas mereka gantian kembali menjilat dan menghisap batang kemaluanku, namun hanya istriku yang menerima air maniku karena aku mengeluarkannya dalam-dalam di mulutnya, ...namanya juga etika suami istri.... lalu kami pun siap untuk pulang ke Jakarta, <br /><br />Hampir sepanjang perjalanan pulang semua tertidur karena lelah dan ini adalah perjalanan terberat yang kulakukan, mataku benar benar berjuang untuk tetap terbuka dan menjaga konsntrasi pada jalan raya.<br /><br />Perlu waktu hampir tiga hari bagiku untuk memulihkan kondisi, bahkan dua hari pertama setelah pulang punyaku sama sekali tidak bangkit walau pagi hari sekalipun, terlalu diforsir rupanya, namun pengalaman tersebut adalah salah satu yang sangat mengesankan.<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-11611947530052917492013-12-21T02:10:00.006-08:002013-12-21T02:10:47.239-08:00Biar lambat asal nikmat - 1Matahari bersinar sangat terik sekali siang ini. Farid baru saja membuka pintu gerbang, ingin secepatnya masuk ke dalam rumah yang sejuk. Ditutupnya kembali pintu gerbang, menuntun motor bebeknya, memarkirnya dengan rapi di garasi samping, segera melangkahkan kaki ke pintu depan. Pintu depan terbuka, sepertinya ada tamu, Farid melihat bayangan orang sedang berbicara dari balik jemdela. Kurang jelas terlihat dari pagar sini. Sambil melangkah masuk ia mengucapkan salam.<br /><br />”Lho...ibu...kapan datang...? Kok nggak ngabarin ? Mana Ayah ?”<br />”Baru saja ibu sampai.Sengaja tak memberi kabar, sekalian kejutan.”<br /><br />Baru saja Farid hendak bertanya, budenya sudah memotong pembicaraan<br /><br />”Sudah, kamu makan saja dulu. Nanti kan bisa ngobrol sama ibumu, sana kamu ganti baju dulu.”<br />”Iya bude.”<br />”Sekalian kamu bawakan tas ibumu ini...”<br /><br />Faridpun mengambil tas yang dibawa ibunya, banyak juga bawaannya. Tak seperti biasanya. Faridpun melangkah masuk ke dalam. Masih bertanya – tanya, kan baru 2 bulan yang lalu ibu berkunjung kemari bersama ayah, kok sekarang sudah datang lagi. Nah sebelum pembaca bingung, ada baiknya dijelaskan dulu semuanya dari awal ya....<br /><br />Farid, awal 19 tahun, baru saja masuk kuliah tingkat 1 di sebuah Universitas Negeri di kota Yogyakarta, sebentar lagi bersiap masuk tingkat 2, Jurusan Tekhnik. Aslinya dia tinggal di Jakarta. Tapi karena kuliahnya sekarang, dia tinggal di rumah pakde dan budenya yang memang menetap di Yogyakarta.<br /><br />Ayahnya, Joko, 45 tahun, orang Jakarta asli, pegawai bank pemerintah, bekerja dari awal karir saat masih bujang, kini menduduki jabatan yang lumayan sebagai kepala bagian kredit di salah satu kantor cabang di Jakarta. Ibunya Lisna, 39 tahun, asli Yogyakarta, ibu rumah tangga. Walau ayahnya orang Jakarta, tetapi ibunya lebih terbiasa memanggil suaminya itu dengan sebutan Mas, bukan abang. Farid mempunyai satu orang kakak perempuan, Ningsih, 21 tahun, sudah menikah. Kini ikut suaminya yang bekerja di Kalimantan. Awalnya setelah lulus SMA, ayahnya menginginkan Ningsih kuliah, tetapi bang Husin, 24 tahun, masih tetangga mereka, yang telah memacari kakaknya dari awal kakaknya SMA melamar kakaknya. Orangtua bang Husin juga memaksa, akhirnya karena kak Ningsihnya juga tak keberatan, dan ayah juga sangat mengenal baik kedua orangtua bang Husin, mereka diijinkan menikah. Awalnya setelah menikah mereka masih tinggal di rumah, tetapi tak lama bang Husin dikirim perusahaan pusat ke Kalimantan. Awalnya bang Husin berangkat sendiri, setelah 3 bulan di sana, setelah merasa mantap, juga karena mendapatkan mess bagi karyawan yang menikah, ia meminta istrinya menyusul. Maklum penganten baru hehehehe. Tentu saja ayah dan ibu awalnya berat melepas anak mereka, tetapi sadar kini kak Ningsih telah menjadi tanggung jawab dan juga hak suaminya. Sedangkan Farid sendiri, sewaktu akhir kelas 3, dia mengikuti program masuk universitas negeri, mengambil jurusan tekhnik yang ia suka. Memilih kota Yogyakarta dan satu kota lain sebagai pilihannya, dan behasil lolos. Memang walau sepintas gayanya seperti malas, tapi otaknya cukup encer. Sebenarnya ayah dan ibunya keberatan, anak perempuannya sudah merantau dibawa suaminya, kini anak lelakinya harus kuliah di Yogyakarta. Tapi untuk menghargai usaha Farid yang bisa lolos dari ujian itu, dan karena di Yogya ada keluarga, maka akhirnya merestui.<br /><br />Awalnya Farid memang maunya kost saja, tapi ditolak ayahnya. Tak ada yang mengawasi katanya. Di Yogyakarta ini ada kakak ibu, bude Sri, 42 tahun. Suaminya Pakde Harno, 46 tahun, insinyur mesin, bekerja di perusahaan swasta yang bergerak di alat berat dan mesin industri. Perusahaan pusatnya di Jakarta. Pakdenya bekerja di cabang yang meliputi region Yogyakarta, Solo dan Jawa tengah. Anak mereka 2 orang, perempuan semua. Sebenarnya Farid juga tak asing lagi dengan mereka. Sudah sering berkunjung dan menginap di sana kalau saat libur sekolah atau hari raya. Pakdenya juga amat sangat senang menerima Farid, maklum tak punya anak lelaki. Anak pertamanya, Mbak Santi, 22 tahun, sudah menikah dan kini menetap di Sumatra, ikut suaminya. Suaminya itu pegawai bank swasta. Awalnya kerja di kantor cabang Yogyakarta. Atasannya menyukai dan senang dengan cara kerjanya. Sewaktu ada informasi mengenai posisi yang bagus di cabang Sumatra, atasannya mengajukan dirinya. Sifatnya optional, boleh diambil, boleh tidak, setelah berdiskusi dengan istri dan mertuanya, akhirnya ia mengambilnya, karena selain akan naik jabatan dan memperoleh fasilitas, juga yang menjadi pertimbangan utama..gajinya naik dalam jumlah yang signifikan. Berangkatlah mereka, rupanya sangat kerasan di sana, bahkan suaminya dibajak sebuah bank di sana, mendapatkan fasilitas dan juga rumah dinas yang baik, sepertinya bakalan berkarir penuh selamanya di sana. Anak Pakdenya yang kedua, mbak Sinta, 20 tahun, baru menikah 2 bulan yang lalu, di mana ayah dan ibu Farid juga datang menghadiri acaranya. Menikahnya masih sama tetangga sekomplek. Hampir serumah sama kak Ningsih dulu, pacarnya ngebet minta kawin. Jadilah walau mbak Sinta masih kuliah, namun tetap menikah. Kini tinggalnya cuma beda beberapa blok saja dari sini.Suaminya pegawai Pemda. Mbak Sinta juga tentu saja tetap melanjutkan kuliah. Nah Farid ini menempati kamar mbak Santi, sebenarnya Farid sangat tak enak, karena kamar tersebut sangat bagus dan komplit. Ceritanya sewaktu baru menikah dulu suami mbak Santi merombak sedikit kamar itu. Di bagian luar ada kelebihan lebar sekitar 1.5 meter, ia membuat kamar mandi di dalam, mungkin biar praktis dan nyaman, tak perlu mondar – mandir ke kamar mandi luar. Ternyata tak lama ia bertugas di Sumatra. Jadilah Farid beruntung menempati kamar 4 x 4 dengan kamar mandi di dalam. Pakde dan Budenya, juga mbak Santi, sudah nyaman dengan kamarnya masing – masing dan tak mau menempati kamar mbak Sinta. <br /><br />Setelah menikah, kamar mbak Sinta tentunya kosong, Pakde Harno yang memang ingin mempunyai ruang kerja juga perpustakaan mini, akhirnya merombak kamar itu. Toh mbak Sinta tinggal hanya beberapa blok saja dari sini, jadi kalaupun datang tak mungkin menginap. Ia meminta bantuan Farid, dikerjakan kalau hari libur, santai saja. Farid tentu saja senang membantu, peralatan kerja Pakdenya juga komplit, mengerjakannya juga santai saja tak buru - buru, setelah beberapa lama mengerjakan jadilah rak – rak untuk buku juga beberapa meja. Farid sebenarnya agak heran kok banyak juga mejanya, tetapi Pakdenya bilang, ruang ini juga untuk Farid. Dan yang lebih menyenangkan Pakdenya memasang internet dan mengganti komputer yang lama dengan yang baru, komplit sama scanner dan printernya, memang untuk mendukung pekerjaan Pakdenyanya juga. Lumayan pikir Farid, nggak perlu ke warnet lagi. Kasur yang lama disimpan di gudang. Pakdenya hanya berpesan, ruang ini boleh Farid pakai, tetapi di luar waktu khusus Pakdenya. Semua anggota keluarga sudah paham mengenai waktu khusus ini. Baik hari biasa atau libur, Pakdenya setiap jam 7 sampai jam 9 malam, rutin meluangkan waktu untuk dirinya sendiri, baik untuk membaca atau bekerja, dan tak ada yang boleh mengganggu. Dan kini makin asik saja setelah mempunyai ruang khusus. Farid sih tak masalah, toh ia bisa memakainya di luar waktu itu.<br /><br />Ayah dan ibu mengantar Farid ke Yogyakarta, sekalian mengurus pendaftaran dan administrasi kuliahnya, dan meminta ijin ke saudaranya. Awalnya sewaktu meminta ijin supaya Farid bisa menetap di situ, ayah bermaksud membayar uang tinggal, ya, karena ini kan bukan seperti kunjungan saat liburan. Tentu saja Pakde Harno keberatan, agak tersinggung, katanya ke ayah saat itu. Apa –apaan kau Joko, Farid ini keponakanku, seperti anakku, tinggal saja, tak usah kau malu hati sampai mau membayar uang sewa, memangnya ini kost – kostan. Dan memang Pakdenya ini sangat senang, seperti dapat teman ngobrol sejiwa, maklum nggak punya anak laki, kini dia punya teman diskusi, teman nonton bola saat malam. Memang Pakde dan Farid maniak bola, dulu Pakde kalau nonton malam hanya sendiri, baru bisa mendiskusikannya besok saat ketemu teman di kantor, kini ada Farid yang menemani. Kehadiran Farid seperti anak lakinya sendiri saja.<br /><br />Untuk uang kiriman bulanan, Farid benar – benar bisa berbahagia, sangat – sangat lebih dari cukup. Ya, maklumlah, ayahnya kan kini berkurang kewajibannya, sudah tak membiayai kakaknya, Ningsih. Jadi bisa melebihkan jatah Farid. Buat makan, paling Farid keluar uang saat di kampus saja, selebihnya dia makan di rumah Pakdenya. Paling ia membeli kopi, susu, gula, dan makanan kecil dalam jumlah agak banyak yang sebagian akan ditaruhnya di lemari dapur, buat keluarga Pakdenya. Selebihnya buat rokok dan bensin. Ayahnya juga membelikan motor bebek, walau bukan baru dan bukan terbitan tahun muda, tapi Farid senanglah, daripada berangkot ria. Pendeknya buat masalah uang, Farid benar – benar makmur, setiap akhir bulan selalu bersisa lumayan banyak, juga bisa lumayan sering traktir temannya.<br /><br />Normalnya Farid pulang tiap libur semester atau kadang hari raya, kalau ayah dan ibunya tak berhari raya di Yogyakarta. Memang biasanya orangtuanya rolling, tahun ini hari raya di Jakarta dengan keluarha ayah, tahun besok di Yogyakarta keluarga ibu. Ibu hanya 2 bersaudara dengan budenya, orangtuanya sudah tiada, tapi saudara dan kerabat masih lumayan banyak di Yogyakarta dan sekitarnya. Setelah Farid kuliah di sana orangtuanya kadang menjenguknya, ayahnya biasa ijin atau cuti sehari, berangkat kamis malam, nanti kembali Minggu pagi, naik bis atau kereta, kalau lagi banyak rejeki, naik pesawat. Dahulu kalau ayah ibu datang, maka ayahnya akan tidur di kamar Farid, sedang ibunya sekamar dengan mbak Sinta. Jutru ini, sekarang kan kamar itu sudah dirombak, Farid baru ingat hal itu saat ia membawa tas ibunya. Ia terdiam, berbalik kembali ke ruang tamu. Terakhir 2 bulan lalu saat ayah ibunya datang menghadiri kawinannya mbak Sinta, kamar itu masih belum dirubah.<br /><br />”Eh, bude, kan kamarnya mbak Sinta sudah jadi ruang kerja Pakde...”<br />”Oh iya, bude lupa...iya Lis, mas Harno sudah merubah kamarnya Sinta buat ruang kerjanya dan juga buat Farid...ya wislah, kamu tidur di kamar Farid sja, tak masalah kan...?”<br />”Ng..iya deh mbak, di mana saja juga tak masalah.”<br /><br />Farid segera membawa tas ibunya, kasur peninggalan mbak Santi ukuran besar, maklum kasur ukuran suami istri. Farid memakainya tanpa menggunakan kayunya, cukup di lantai dialas karpet tipis. Biar nanti dia tanya ibu, kalau memang ibu mau sendiri, dia akan ambil kasur yang di gudang, ngegelar di sebelahnya atu di pojokan kamar. Farid segera mengganti baju dan ke kamar mandi bersih – bersih. Saat ia keluar dari kamar mandi, ibunya sudah di kamar.<br /><br />”Bu..anu..kalau ibu maunya tidur sendiri, biar nanti Farid ambil kasur yang di gudang buat Farid.”<br />”Ya..ndak usahlah Rid, kasur ini juga besar, kamu nanti di pinggir sana saja.”<br />”Ya...sudah kalau begitu. Oh ya bu, jadi bagaimana ceritanya nih sampai ibu kemari tanpa pemberitahuan ? Ayah ke mana ? Terus berapa lama ibu nginapnya...?”<br />”Duh nanyanya satu – satu dong, tolong nyalain kipas anginnya Rid, ibu gerah nih...”<br /><br />Farid segera menyalakan kipas angin kecil, memang ibunya tak tahan gerah, sudah kayak udang rebus saja saat ini karena cuaca siang ini memang lumayan panas. Dia menunggu ibunya mendinginkan diri sebentar. Setelah sudah agak adem ibunya memulai menjelaskan.<br /><br />”Ibu memang sengaja tak beritahu kamu. Jadi ceritanya ayahmu itu lagi ada dinas luar, agak lama 2 bulan, di Sulaiwesi. Karena memang cuma 2 bulan dan sayang ongkos, maka ayahmu memutuskan sekalian saja terus disana. Nah ibu kan sendirian di rumah, daripada tak ada kerjaan juga tak ada yang menemani, maka ibu usul ke ayahmu agar selama ia di sana, ibu tinggal di rumah budemu saja. Ayahmu tak keberatan, bahkan mendukung.”<br />”Oh begitu, sekarang di rumah siapa yang tinggalin bu? Terus memangnya ayah dinas apaan, tumben, biasanya cuma seminggu atau 2 mingguan saja.”<br /><br />Ibunya menjelaskan, rumah mereka di Jakarta ditunggui sama Mang Jaka, adik ayahnya. Ibu lalu menjelaskan, di kantor cabang Sulaiwesi, tempat bank ayahnya bekerja, telah terjadi masalah, ada kebocoran serius ( Bahasa halusnya buat korupsi ). Pimpinan dan pegawainya banyak yang dipecat. Dari pusat memutuskan untuk merekrut atau mempromosikan tenaga baru dari daerah itu, tapi tetap harus ditraining dan dibina oleh orang pusat. Juga sekalian membenahi pembukuannya yang sudah disulap sana – sini. Maka ayahnya dan beberapa orang lainnya dikirim ke sana. Nantinya tinggal di mess milik Perusahaan. Ayahnya mau, uang dinasnya lumayan kata ibu...hehehe dasar. Jadi begitulah ceritanya sampai ibunya datang tanpa pemberitahuan. Ya sudah, farid sih senang – senang saja dengan kehadiran ibunya. Tak lama bude memanggil mengajak makan, Farid keluar duluan, ibunya ganti baju dulu lalu menyusul.<br /><br />Setelah makan, Farid masuk kamar, mau rebahan sebentar, tadi mbak Sinta baru saja datang ditelepon bude yang mengabarkan kedatangan ibu, kini asik mengobrol sama ibunya dan Bude. Farid segera berbaring sambil mulai berpikir. Agak aneh juga nanti harus tidur sama ibunya. Farid memang sayang sama ayah dan ibunya. Ibunya juga sangat sayang padanya, karena Farid anak bontotnya. Ibunya walau begitu, selalu menjaga diri dengan baik, tak pernah sembarangan kalau mengganti baju, tak pernah bebas membiarkan Farid melihatnya. Farid sendiri termasuk anak yang baik dalam hal perilakunya selama ini, tak pernh menyusahkan atau terlibat masalah serius, sekolah juga tak pernah bikin masalah, namun seiring umurnya tentu saja ia juga sudah mengenal dan melewati tahap pubernya. Bahkan untuk urusan seks juga Farid bukanlah anak kemarin sore lagi. Di SMA dulu, sering melakukannya dengan pacarnya, sayang hubungannya putus. Di kuliahan sekarang, ia juga akrab bergaul, beberapa anak mahasiswi di kampusnya kini mulai dalam tahap seleksinya. Dan jujurnya, memang Farid mengagumi dan mengakui kecantikan ibunya. Dan seperti anak remaja yang dalam tahap berkembang, dulu juga sering ia berkhayal mengenai ibunya. Tapi tak lebih dari itu. Farid juga remaja yang normal, sering membayangkan gadis remaja seusianya.<br /><br />Sewaktu tinggal di Yogyakarta, memang Farid mengakui kalau kedua kakak sepupunya cantik dan Farid juga nggak munafik sering mengagumi dan mengkhayalkan mereka. Namun Farid mendapati dirinya justru lebih menyenangi dan lebih bergairah pada budenya, Sri. Walau usianya sudah 42 tahun, tetapi bodinya tetap yahud. Bahkan tanpa ragu Farid berani berkata bahwa bodi budenya jauh...jauh lebih nafsuin dan jauh lebih mendebarkan dibandingkan kedua kakak sepupunya itu. Pantatnya besar, teteknya apalagi besar dan masih kencang, selalu membuat Farid ngaceng setiap melihat tonjolan kembar itu di balik dasternya. Yang paling menyenangkan Farid, budenya ini suka sekali memakai daster yang belahan lengannya lebar, memang kadang tetap memakai BH, tetapi kalau hari panas atau malam menjelang tidur, umumnya Bude akan melepas BHnya, dan kalau budenya mengangkat tangannya agak tinggi, maka Farid dari samping bisa melihat pinggiran tetek budenya yang besar itu, kadang bebas, kadang terbungkus BH yang ketat, juga pangkalan lengannya yang berketek rimbun. Dan budenya juga entah tak ngeh atau memang tak peduli, cuek saja. Memang sih Farid sebisa mungkin mencuri lihat dengan tak terlalu bernafsu, tak pernah ketangkap basah sedang memandang, jadi tak ketara. Yang paling Farid ingat, waktu siang dia sudah pulang kuliah, setelah istirahat, budenya yang lagi membereskan kamar mbak Sinta yang baru menikah, memanggilnya. Budenya berdiri di atas kursi, menurunkan kardus – kardus di atas lemari, tadinya Farid menawarkan diri menggantikan, tapi nggak usah kata budenya. Budenya berdiri di atas kursi, menjulurkan tangan mengambil kardus, yang agak ke belakang letaknya. Farid menunggu untuk menerima kardus itu. Matanya sangat melotot seakan mau lepas, menyaksikan belahan lengan daster budenya, bagian samping sebelah tetek budenya sangat jelas terlihat, karena budenya rada mencondongkan badan. Besar, walau sedikit turun, tapi sangat seksi terlihat, pentilnya juga besar dari samping. Mungkin karena gerah mengangkat – ngangkat, bude tak memakai BH. Karet CD atasnya juga terlihat Belum lagi keteknya kehitaman dan rimbun, sangat erotis. Kont01 Farid sangat keras sekali saat itu, untung celana pendeknya yang model lebar, kalau nggak bisa tengsin. Mana kardusnya lumayan banyak, agak lama jadinya memindahkannya, sangat memuaskan mata Farid menatap keindahan di balik belahan lengan daster itu, juga sekaligus menyiksa, celananya sangat sesak rasanya. Yang pasti kalau lagi seru bermasturbasi, Farid senang sekali membayangkan budenya itu. Tapi ya itu tadi, cuma bisa berkhayal saja. Tak mungkin berbuat lebih.<br /><br />Sehari sudah ibu menginap.Ternyata ibunya mengalami sedikit masalah, biasanya kan kalau menginap ibunya selalu tidur di kamar mbak Sinta. Kini ibunya mempunyai masalah, kalau mau ganti baju, dia tak nyaman melakukannya di depan Farid. Farid yang memang tak mempunyai pikiran apapun, awalnya tak menyadari, tetap saja cuek di kamar. Barulah saat ibunya menyuruhnya keluar, Farid sadar...duh repot pikir Farid. Memang tak setiap saat, hanya kalau saat Farid sudah di rumah, tapi lumayan mengganggu. Dari sisi Farid sendiri, ia mengalami masalah juga, baru kali ini di usianya yang sekarang ini ia tidur lagi bersama ibunya. Dulu masih kecil sih sering, tapi itu dulu waktu masih kecil dan belum kenal namanya wanita dan seks. Memang ibunya tidur memakai daster yang besar, atau kadang daster model kaos dan celana pendek. Ibunya tidur di pojokan dekat tembok, dia di sisi satunya. Awalnya sih biasa saja, tapi kala ia melihat ibunya yang tertidur tak urung matanya jadi jelajatan, walau saat itu ibunya tidur dalam balutan busana yang sopan, tapi melihat tonjolan teteknya yang sangat busung itu, tetap saja membuat Farid bereaksi. Membuatnya berkhayal, seperti apakah keindahan di balik daster itu. Untunglah ia mampu mengendalikan dirinya.<br /><br />Dua hari pertama, ibunya banyak melewati hari mengobrol sama budenya, atau kadang jalan keliling ke saudara. Farid kuliah seperti biasa. Di hari ketiga saat mandi pagi harinya, Farid sedang asik nongkrong sambil merokok, ritual rutin pagi harinya. Ibunya sudah di depan membantu budenya menyiapkan sarapan. Matanya menangkap BH ibunya yang tergantung di gantungan tembok kamar mandi, Farid menatapnya, mulai berpikiran ngeres, ia bangun dan segera mengambilnya, besar juga pikirnya...size 38, Farid mendekatkan hidungnya, aromanya sangat lembut dan wangi, kont01nya mulai mengeras, sesekali ia gesekkan kont01nya ke BH ibunya. Dan tak lama ia sudah asik main sabun, mengocok kont01nya sambil tetap menciumi BH ibunya, sungguh sangat merangsang dirinya. Setelah lumayan lama kont01nya pun ngecret, agak memerah. Farid menaruh kembali BH itu. Farid kini mulai terobsesi untuk benar – benar dapat melihat tubuh telanjang ibunya, bagaimanapun caranya, biar sebentar atau sekali saja, ia harus bisa. Berjuanglah...Farid menyemangati dirinya sendiri. Farid berpikir sambil memandang sekeliling ruangan kamar mandi itu, mata Farid memandang pintu alumunium kamar mandi, pintunya rapat sekali...tapi untuk saat ini saja pikirnya. Memang kalau buat urusan ngeres, otak kadang – kacang bisa menjadi sangat kreatif dan inovatif hehehe. Ia segera mengambil handuk, menutupi tubuh bagian bawahnya, keluar sebentar, ibunya masih di luar, ia segera membuka laci meja di kamarnya, mengambil obeng model double, ia kembali ke kamar mandi, menutup pintunya, melepas handuknya dan memulai kreatifitasnya. Mengukur posisi yang pas buat matanya, agak tinggi di tengah, biar tak perlu terlalu membungkukkan badan, juga sudut pandangan harus luas dan maksimal. Dengan mata obeng kembang, ia mulai mengendorkan beberapa mur, tak perlu terlalu kendor. Setelah kelar, ia balik mata obeng, memakai mata obeng min, ia mulai mencongkel sela sekat alumunium, perlahan dan pelan saja, terciptalah celah yang lumayan nyaman dan tak mencolok mata, kalaupun ada yang melihat tak akan curiga itu sengaja dibuat. Obeng ia taruh di pinggir bak mandi. Ia mengarahkan matanya, mencoba mengintip, nampak ruangan kamarnya dengan jelas. Pas....pikirnya. Apalagi bagian belakang pintu kamar mandi ini tak digunakan untuk menggantung handuk. Ia segera mulai mandi sambil bersiul - siul dengan gembira. Setelah selesai mandi dan berpakaian, ia tutup pintu amar mandi dari luar, mengetes sebentar, sangat jelas...hatinya bersorak. Ups...hampir lupa, ia segera mengambil obeng dan membereskannya. Lalu ia keluar kamar, siap sarapan dan berangkat kuliah. Di luar Pakdenya sudah duduk, minum kopi sambil makan roti. Farid mengucapkan salam, lalu duduk ikut sarapan. Bude dan ibunya nampak sedang asik sarapan sambil menonton acara gosip di TV.<br /><br />”Hey Rid...nanti malam ada siaran langsung nih..Milan lawan MU, temanin Pakde nonton ya.”<br />”Iya Pakde, pastilah, seru sih, nanti Farid temanin. Sekalian nanti sore Farid beli cemilan. Megang mana Pakde ?”<br />”Pasti Milanlah. Kuliah jam berapa Rid..?”<br />”Nanti jam 9an. Kelar jam 1.”<br />“Oh gitu…ya sudah, nanti malam ya. Pakde pulangnya mungkin agak malam, maklum di kantor sini lagi sibuk. Pusat baru saja dapat kontrak awal rencana kerjasama dengan Perusahaan pertambangan, sekarang lagi sibuk banget, seleksi tenaga terbaik buat dikirim ke sana. Kalau Pakde sih rasanya berat kepilih, maklum sudah tua, mungkin jatah yang muda.”<br />”Iya Pakde. Oh iya Pakde, itu komputernya sudah selesai Farid install program - program yang Pakde minta, nanti kalau sempat dicek saja ya.”<br />”Iya...iya, bagus tuh, Pakde memang butuh program itu, bakal membantu kerjaan Pakde. Sengaja pinjam CDnya sama teman Pakde, sayang Pakde sulit installnya, nggak kayak biasa sih. Rada gaptek.”<br />”Nggaklah...nanti Farid ajarin deh, nggak beda sama yang biasa, Cuma perlu penyesuaian sedikit.”<br /><br />Bersambung . . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-68706816945479889352013-12-21T02:10:00.003-08:002013-12-21T02:10:24.179-08:00Biar lambat asal nikmat - 2Memang Pakde Harno tak terlalu menguasai komputer, kalau install program sebenarnya dia bisa, tapi ya itu, kalau program yang benar dan sesuai, tinggal klik, next, klik, next, finish. Kalau program – program yang seperti ia minta Farid installin memang ia tak paham. Maklum program bajakan. Pakde nggak paham memakai cracknya. Takut salah katanya. Padahal sih tinggal copy exe.nya ke directorynya atau masukin patchnya sesuai direktori installnya. Ya sudahlah Farid sih senang saja membantu Pakdenya yang sudah baik padanya. Dia sendiri juga tak begitu paham program – program yang Pakdenya minta install, lebih ke program buat mesin dan perhitungan yang rumit. Belum ia pelajari di kuliahnya. Akhirnya Pakde dan Farid kelar sarapan dan segera berangkat.<br /><br />Di kampus Farid sama sekali tak konsentrasi. Pikirannya terlalu penuh bayangan mesum. Setelah jam pertama selesai, ia memutuskan bolos saja mata kuliah selanjutnya nitip absent saja. Mau pulang nggak enak, masih pagi, ya sudah ia kini asik nongkrong di kios – kios dekat kampusnya. Mengobrol sama beberapa anak jurusan lain yang ia kenal. Biasalah, mengobrol ngalor – ngidul sambil merokok bareng, Farid memesan kopi susu. Menawarkan kepada yang lain, yang dengan tanpa sungkan menerima. Ya, betapa rokok dan minuman ringan dapat menjadi media yang menjembati dan menghasilkan persahabatan. Sekitar jam 12 kurang, matanya menangkap sosok cantik yang sudah lama ia suka. Kakak seniornya, Yuni, anak hukum tingkat 4. Sudah beberapa kali Farid mencuri kesempatan mengajak bicara. Awalnya kaku, tapi karena Farid cukup luwes dan juga muka badak, akhirnya mulai akrab. Juga mendapat nomor HP-nya, sesekali Farid kirim SMS. Tapi Farid tetap waspada, selalu berusaha mengajak ngobrol kalau Yuni sedang sendiri. Bukan apa, takut anak hukum pada ngamuk, biar gimana kan dia sudah menjamah lahan dan propertinya anak hukum, bisa dituntut pasal berlapis, pidana dan perdata. Nah itu Yuni sedang foto copy. Farid permisi sebentar sama anak – anak, bilang ke si Joe yang punya warung, nanti dia bayar,nanti dia balik lagi. Farid melangkah dengan pasti, melirik dulu ke sekeliling, takut ada anak senior dari hukum, oke tampaknya aman.<br /><br />”Hei Yun..”<br />”Eh...kamu Rid, nggak masuk ?”<br />”Sudah tadi, tapi mendadak bosan, ya sudah titip absent saja.”<br />”Dasar..entar ketinggalan lho.”<br />”Hehehe. Lagi apa Yun..?”<br />”Oh ini, aku lagi fotocopy bahan kuliah, minjam di perpus.”<br />”Oh gitu, kamu nggak ada kuliah..?”<br />”Ada sih, nanti jam 1, Hari ini cuma satu saja, jam berikutnya malas, habis yang masuk asisten dosen doang. Nanggung sih benarnya.”<br /><br />Farid masih asik mengobrol, akhirnya fotocopyan Yuni selesai, ia membayarnya. Maksudnya Yuni yang bayar, bukan Farid dong hehehe. Farid melirik jam duabelas seperapat, nekad sajalah...<br /><br />”Yun..eh..sudah makan belum ? Eh anu..kalau belum, mau nggak sekalian sama aku. Aku traktir deh, makan bakso saja di pengkolan, mau nggak..?”<br />”Duh..gimana ya, aku sebenarnya mau balikkin buku lagi ke perpust...eh tapi enak juga nih kalau ditraktir. Ya sudah deh.”<br />”Nah gitu dong. Kamu tunggu sebentar ya. Aku ambil motorku dulu.”<br /><br />Farid bergerak cepat, kembali ke warung minuman, membayarnya, sekalian pamit sama anak – anak, ada bisnis katanya. Anak – anak yang sempat melihat Farid mengajak Yuni mengobrol di kejauhan, hanya memberi semangat sambil bertoast ria dengannya. Iyalah anak kuliahan juga norak, kalau temannya ada yang usaha dekati anak senior, mereka juga ikut senanglah. Setelah beres, Farid ke parkiran. Tak sampai 4 menit ia sudah membonceng Yuni ke warung bakso. Nggak terlalu jauh juga tak terlalu dekat sih, tapi sangat enak dan murah, sering dikunjungi anak – anak kuliahan. Agak ramai siang ini, karena pas jam makan siang, setelah menunggu, akhirnya mereka berdua sudah asik menikmati pesanannya. Farid makan dengan grogi, ya pastilah...nggak nyangka bisa ngajak Yuni. Mereka makan sambil mengobrol. Ngalor ngidul yang penting ngobrol. Sudah kelar Farid membayar dan mengantarkan Yuni kembali. Berhenti sedikit jauh dari gerbang kampus...<br /><br />”Kok di sini berhentinya Rid..”<br />”Eh..sori Yun, nggak enak sama angkatan kamu, ngerti kan..”<br />”Iya juga sih hehehe....ya sudah..makasih ya Rid sudah ditraktir.”<br />”Bukan apa – apa kok, cuma bakso. Ya sudah aku permisi, selamat kuliah ya.”<br /><br />Yuni tersenyum, Farid segera melaju, hatinya senang sekali. Nyengir terus sepanjang perjalanan pulang, hampir keserempet angkot...kebanyakan nyengir sih. Tak lama ia sampai ke rumah, jam 1 lewat dikit. Sepi pikirnya, saat mengetok pintu. Diketoknya pintu, tak ada sahutan...sekali lagi, juga sama. Dia mengeluarkan kunci serep jatahnya dari tas, membuka pintu sambil berusaha menelepon HP budenya. Tak lama budenya menyahut, minta maaf lupa SMS Farid. Katanya dia, ibunya, sama mbak Sinta lagi jalan – jalan ke pasar klewer sebentar. Suami mbak Sinta minta dibelikan baju batik buat kerja. Ya sudahlah...Farid mengucapkan salam, mematikan HP. Ia lalu menutup pintu, menguncinya. Setelah ganti baju dan bersih – bersih, ia masuk ke ruang kerja. Ya, mendingan juga browsing. Farid dengan sangat berkonsentrasi asik membuka situs – situs porno kesayangannya, mengamati dengan berdebar model – model yang bertetek besar, bikin ngaceng saja pikirnya...dasar si Farid, kalau ngelihat situs porno ya ngacenglah, kalau mau ketawa ya lihat situs humor hehehe. Jam 3 lewat, karena sudah terlalu pusing dan terlalu keras anunya, Farid mematikan komputer, tak lupa menghapus tracknya. Masuk ke kamar rebah – rebahan. Ia pun tertidur. Rasanya belum lama ia tertidur, bahunya serasa ada yang menggoncang – goncang...duh ganggu saja pikirnya, ia membuka mata. Ibunya, sudah memakai daster, rupanya sudah pulang.<br /><br />”Hei...bangun dulu sana. Tuh ibu belikan makanan. Kamu belum makan ya ? Kasihan...maaf deh, habis ibu keasikan jalan. Yuk bangun dulu, sekalian temani ibu makan.”<br />”I..iya bu, bentar, masih ngantuk. Ibu duluan deh. Farid cuci muka dulu.”<br />”Ya sudah. Cepat ya...”<br /><br />Tak lama Farid sudah di meja makan. Ibunya membuka bungkusan makanan yang dia beli. Mereka pun mulai makan. <br /><br />”Bude ke mana Bu...?”<br />”Tidur..kecapekan katanya.”<br />”Oh...tadi ke mana saja...?”<br />”Oh itu...mbakmu Sinta minta diantarin nyari kemeja batik buat suaminya, ya sudah sekalian sajalah, ibu tadi lihat – lihat, sayang tak ada yang bagus buatmu.”<br />”Nggak bagus apa kemahalan bu hehehe...”<br />”Hush...kamu ini.”<br />”Ayah belum telepon bu...?”<br />”Belum,mungkin repot. Biar nanti ibu yang telepon. Kamu ingatkan ya, takut ibu lupa.”<br /><br />Setelah makan, Farid membawa piring dan mencucinya. Ibunya duduk di sofa, menyalakan TV. Hobi banget sih nonton acara gosip. Padahal mah itu kebanyakan setingan selebritis saja, buat mengatrol popularitas. 80% seperti itu, yang benarnya cuma 20% saja. Paling malas Farid nonton acara kayak gitu, nggak mutu dan nggak ada manfaatnya pikirnya. Yang untung cuma si seleb saja. Tapi karena saat itu tak ada kerjaan, juga mau tidur lagi tanggung, ia duduk menemani ibunya. Sesekali menyahut menjawab ibunya yang mengomentari berita yang ada. Emangnya gue pikirin pikir Farid, mengenai seleb yang mencalonkan diri jadi bupati. Gila saja yang nyalonin apalagi milih pikir Farid. Akhirnya setelah beberapa berita yang penuh balutan kebohongan, acara selesai. Ibunya menanyakan apakah Farid mau terus nonton, Farid menggeleng, bilang mau ke ruang kerja main internet. Ibunya mematikan TV.<br /><br />”Ya sudah, jangan sampai terlalu sore main komputernya. Duh sudah sore gini tapi tetap panas. Gerah sekali sih, ya sudah ibu sekalian mandi saja dulu baru istirahat. Kamu tolong kunci pintu rumah dulu ya sebelum main komputer.”<br /><br />Farid mengunci pintu, lalu menyusul masuk kamar, sengaja tak menutup pintu. Ibunya yang sedang mengambil baju di lemari melihatnya sambil bertanya.<br /><br />”Lho, katanya kamu mau internetan Rid..?”<br />”Iya...ini mau ambil USB dulu, ada data yang mau Farid lihat.”<br />”Oh gitu...wislah...ndak paham ibu.”<br /><br />Ibunya segera mengambil baju dalam salin, lalu masuk dan menutup pintu kamar mandi. Farid buru – buru menuju pintu kamarnya, pura – pura menutup pintu itu, suaranya sengaja ia keraskan, cukup untuk membuat yakin ibunya kalau ia sudah keluar dari kamar. Ketika pintu kamarnya tertutup, secepat kilat ia mengendap menuju pintu. Ia sudah yakin, ibunya tak bakalan keluar lagi, toh semuanya sudah dibawa ibunya ke kamar mandi. Dengan cepat matanya sudah menempel di lobang yang ia buat itu. Nampak ibunya masih berdiri di kamar mandi, memutar keran air, mungkin menunggu airnya agak banyak. Agak menyamping posisinya. Tak lama ibunya menatap kembali bak mandi lalu mulai bergerak....<br /><br />Jantung Farid mulai berdetak lebih cepat dari seharusnya, ibunya mulai memegang bagian bawah dasternya, mengangkatnya sedikit, nampak pahanya yang putih mulus, lalu angkat lagi, tampak CD putih yang tebal, lalu perutnya yang rata, lagi...wowww....teteknya yang besar bergantungan dengan indah sekali, kont01 Farid langsung tanpa malu – malu segera mengeras. Teteknya sangat besar dan sekal, masih tinggi, pentilnya coklat dan besar. Mata Farid tak lepas menatap ke tubuh ibunya. Tangan ibunya mulai terangkat, melepaskan daster melewati lehernya, astaga...keteknya sama kayak bude, lebat juga, Farid meneguk ludahnya. Perlahan Farid menurunkan celananya. Walau sedang sangat keras...tapi Farid masih berlogika, ia mengambil kaos kotornya, meletakkan dekat kakinya, buat tatakan nanti. Tangannya mulai mengocok batang kont01nya. Di dalam kamar mandi, ibunya mulai menurunkan CD putihnya...gila...tebal sekali m3mek ibunya, rimbunan hitam nan lebat makin menambah pesona keindahannya. Kocokan Farid makin cepat.<br /><br />Di dalam ibunya nampak memegang sebentar teteknya, membuat tetek besar itu berguncang. Mungkin melihat apakah ada kotoran yang menempel, sambil nunggu air bak penuh. Ibunya bergerak lagi, mengambil sikat gigi dan menaruh odol. Sesaat kemudian ia mulai menyikat giginya, gerakannya secara otomatis membuat teteknya yang besar itu bergoyang dengan sangat nafsuin. Farid tak melepaskan pandangannya. Akhirnya ibunya kelar menggosok giginya. Tak lama ia mulai mengambil gayung, menyiramkan air ke tubuhnya. Ibunya lalu mengambil sabun, mulai mengusapkannya, di daerah teteknya, kini teteknya nampak mengkilap, licin dan bersabun, makin menambah pesonanya di mata Farid. Farid mengurut – ngurut kont01nya, jantungnya berdebar keras. Nampak ibunya memijat dan menyabuni pentilnya, membuatnya makin mancung saja. Sangat erotis sekali melihat gunung kembar itu bergoyang dan bergerak lincah saat disabuni, licin seperti belut yang mau ditangkap. Lalu ibunya mulai menyabuni pangkal lengannya, bulu keteknya nampak berbuih karena sabun, Farid meneguk ludahnya, terangsang berat dia. Setelah itu ibunya mulai menyabuni bagian perutnya yang rata, lalu punggungnya. Setelah kelar dengan bagian atas, ibunya mulai menyabuni daerah selangkangannya, jembutnya seakan menggumpal karena buih busa sabun, tangannya mulai menyabuni belahan m3meknya sampai ke lobang pantatnya, mata Farid menangkap, daerah belahan pantatnya nampak ditumbuhi jembut yang halus. Farid makin asik saja mengocok kont01nya, sekali – kali ia mengelus kepala kont01nya. Saat ibunya menyabuni kakinya, ia mengangkat satu kakinya bergantian, meletakkannya di pinggiran bak. Farid mengocok kont01nya sangat kuat saat ia menyaksikan belahan m3mek ibunya yang kini mengangkang lebar, memperlihatkan lobang m3mek yang kemerahan bercampur buih sabun, sungguh membuat nafsunya naik ke ubun – ubun. Sangat cepat ia mengocok kont01nya, sesat ia merasakan denyut nikmat menjalar di batang kont01nya, dengan cepat ia mengambil kaos kotornya, menaruhnya di kepala kont01nya...pejunya segera muncrat tak tertahankan. Farid diam sebentar, kont01nya masih tegang, ia masih terus mengintip, menyaksikan ibunya mulai menyiram kembali tubuhnya, seluruh tubuhnya nampak berkilat oleh air, menambah tinggi sensualitasnya. Namun Farid juga paham, walau tak rela tapi sudah waktunya ia cabut. Dengan cepat ia menaikkan celana pendeknya, mengambil kaos bekasnya, menjejalkannya di belakang lemari. Perlahan sekali ia membuka pintu kamarnya, lalu menutupnya kembali dengan perlahan.<br /><br />Sesampainya di ruang kerja, ia tak menyalakan komputer, hanya duduk saja, jantungnya masih berdebar. Baru kali ini ia melihat tubuh telanjang ibunya, dan sangat – sangat mengguncangnya, tubuh ibunya sangat seksi sekali, tak menampakkan usianya yang sudah 39. Bahkan Farid berani membandingkan dengan budenya, tampaknya keduanya sama – sama menawan. Beda – beda tipislah. Pesona wanita dewasa yang sudah matang yang sangat memabukkan. Kalau awalnya ia hanya terobsesi melihat tuuh telanjang iunya, kini di otaknya mulai timbul pemikiran liar lainnya, yang ia sendiri tahu, bahwa pemikiran ini amat sangat tak mungkin ia lakukan. Mengintip adalah satu hal, tapi kalau lebih lagi, itu mustahil pikirnya. Bisa habis ia dimaki ibunya. Lama Farid melamun jorok, akhirnya jam 5 lewat ia keluar, budenya sudah bangun, sedang menonton TV, Farid menegurnya berbasa – basi. Ia masuk kamarnya. Nampak ibunya sedang tidur, menghadap tembok, istirahat. Farid memperhatikan sebentar, lalu ia mengambil kaos bekasnya tadi, membawanya ke kamar mandi, mau ia bilas sekalian mandi.<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-45182396108989845632013-12-21T02:10:00.000-08:002013-12-21T02:10:00.340-08:00Biar lambat asal nikmat - 3Malamnya jam 7, Pakdenya belum pulang. Farid baru kelar makan bersama ibu dan budenya. Kini mereka sedang santai mengobrol. Farid ke kamarnya, mengganti celana dan memakai jaket lalu keluar lagi. Ibunya menanyakan mau kemana.<br /><br />”Mau ke mana Rid...?”<br />”Eh mau beli makanan kecil buat nanti nonton bola sama Pakde.”<br />”Eh Rid sekalian saja antar ibu. Ibu kepingin minum wedang jahe, sudah lama nih tak minum.”<br />”Ya sudah, ibu ganti baju dulu, Farid tunggu.”<br /><br />Ibunya lalu berbicara sebentar dengan bude.<br /><br />”Mbak, aku pergi sebentar ya. Mbak mau..? nanti aku belikan sekalian.”<br />”Ya sudah. Rid kamu beli yang di dekat pasar saja, enak tuh, sudah pernah ke sana kan..?”<br /><br />Farid hanya mengangguk. Pakdenya sering mengajaknya ke sana. Semenjak Farid tinggal di sana, kalau malam dan senggang Pakdenya memang sering minta dibonceng keliling cari makanan. Pakdenya malas kalau harus keluarin mobil, jadi lebih sering pergi sama Farid naik motor, sekalian buat teman ngobrol. Farid sih oke – oke saja, sekalian jadi tahu buat referensi tempat makanan yang enak. Ibunya sudah berganti pakaian, kini mereka sudah di jalan. Farid ke mini market dahulu beli cemilan. Setelah itu baru mereka ke sana. Karena sudah malam dan dingin, ibunya duduknya agak rapat. Farid merasakan ada yang empuk – empuk kenyal sedikit menempel di punggungnya. Jadi sedikit bereaksi kont01nya. Tak lama mereka pun tiba. Farid menyalakan rokok, Lisna agak kurang suka sebenarnya, sayangnya suaminya mengijinkan anak ini merokok setelah masuk kuliah, memang suaminya juga merokok. Mereka duduk menunggu pesanan diantar, ibunya memulai percakapan.<br /><br />”Gimana kuliahmu..?”<br />”Biasa saja bu.”<br />”Ya...yang penting kamu tekun saja. Ayah dan ibu pasti mendukung. Ngomong – ngomong sudah hampir setahun kamu kuliah, jangan – jangan sudah punya pacar nih...”<br />”Ah ibu bisa saja, tadi katanya Farid musti tekun kuliah.”<br />”Bukan begitu, kalau memang ada yang kamu suka ya jalankan saja kalau memang itu jodohmu.”<br />”Belum bu, belum...masih mencari yang tepat dan sesuai.”<br /><br />Pesanan mereka diantarkan, mereka meminumnya sambil ngobrol ringan. Setelah selesai ibunya memesan lagi 2 bungkus buat pakde dan bude. Jam hampir jam 9 kurang saat mereka tiba. Pakde sudah pulang, lagi di ruang kerja. Farid mengantarkan wedang jahe lalu keluar lagi. Ke kamarnya baca buku. Ibu dan bude masih asik ngobrol. Tak lama ibunya masuk kamar, sebelum tidur ibunya menelepon ayah. Farid hanya mendengarkan saja. Setelah selesai ibunya langsung tidur. Farid masih asik membaca buku. Lumayan banyak halaman yang ia sudah baca, matanya sudah penat, ia segera menaruh bukunya. Ia melihat ibunya, nampak sudah terlelap. Sungguh sangat dilematis bagi Farid. Setelah ia mengintip ibunya tadi sore, kini dirinya menyimpan hasrat yang baru, yang jauh melebihi dari sekedar mengintip. Wajah ibunya nampak sangat cantik, Farid memandang dasternya, sayang daster tidur yang saat ini ibunya kenakan yang model besar dan longgar. Lama Farid memandangnya, sambil berkhayal jorok.....ah sudahlah, sudah jam 1 kurang, lebih baik keluar, menunggu bola. Farid pun keluar kamarnya, takut kalau di kamar terus otaknya akan pusing tujuh keliling. Di luar ia menyalakan rokok sambil menonton TV. Masih menonton Film, setelah agak lama, acara siarang langsung siap dimulai. Baru saja ia mau membangunkan Pakdenya, Pakdenya sudah keluar dari kamar. Akhirnya mereka mengobrol sambil menonton bola sambil menikmati kopi dan cemilan. Pertandingannya juga seru. Silih berganti menyerang. Farid dan Pakdenya sesekali berteriak kalau ada moment seru. Sesudah selesai Farid masuk kamar, ngantuk berat langsung tidur. Untunglah pikirnya...jadi nggak ngeres nih otak.<br /><br />Paginya ia sudah bangun, memang sudah terbiasa, walau nonton bola sampai larut, tapi tetap di pagi hari ia bangun. Setelah selesai sarapan, ia berangkat kuliah. Pulang siang, langsung tidur pulas. Sorenya ia bangun, didengarnya suara air di kamar mandi, segera saja ia berdiri, mengintip, kembali ia terpesona dengan tubuh telanjang ibunya. Tapi tak lama ia mengintip, langsung kembali pura – pura tidur. Ibunya memakai daster model kaos dan celana pendek. Malamnya semuanya asik berkumpul menonton TV, sambil bersantai Sekitar jam 10...byar...pet...lha mati lampu. Ibunya nampak terpekik. Untung tak sampai berapa detik lampu emergency menyala. Memang selain tak tahan gerah, ibunya juga paling takut sama gelap. Kalau gelap biasa saja, yang masih mendapat cahaya dari ruang lain ibunya tak begitu takut, tapi kalau gelap total seperti ini, ibunya sangat takut. Katanya saat kecil dulu, waktu mati lampu, ibu pernah ditakuti sama para sepupunya yang menyamar pakai sprei putih. Ibu menjerit histeris saat itu, makanya ibu samapi sekarang paling takut sama gelap. Mau pakai lilin satu tak masalah, yang penting ada cahaya.<br /><br />Farid dan Pakde lalu mengobrol sambil merokok di teras, ibu dan bude tetap di dalam. Lama juga mati lampunya, hampir 2 jam kini, belum nyala. Ibu dan budenya sudah masuk kamar. Di kamar Farid juga ada lampu emergency. Farid menyalakan sebatang rokok lagi, kembali mengobrol. Setengah jam kemudian Pakdenya juga mengantuk, akhirnya mereka masuk, Farid mengunci pintu dan jendela. Farid masuk kamarnya, ibunya nampak sudah tidur di pojokan, memeluk guling, agak gelap. Lampu emergencynya di atas lemari sudah agak lemah pancarannya. Farid melihat jendela juga dibuka sama ibunya. Farid segera berbaring di ujung satunya. Sebelum lupa, ia pencet tombol kipas angin, biar pas listrik nyala, kipas angin langsung nyala. Hampir satu jam ia berbaring, susah tidur, gerah, kampret nih pikirnya...bayar listrik saja yang mahal, sekalinya mati, lama benar, sudah hampir 4 jam mati lampu, nanti sekalian saja deh ajak teman kampus demo. Mungkin makiannya berguna juga, tak berapa lama listrik menyala...baguslah pikirnya. Ia segera bangun menutup jendela, takut banyak nyamuk, juga kipas angin sudah menyala. Dan pas ia berbalik mau ke tempat tidur, ia terpana, tadi karena lampu emergency yang tak terlalu terang, ibunya yang tidur di pojokan yang agak gelap dan terhalang guling, matanya tak begitu jelas melihat. Kini setelah lampu terang, ia melihat ternyata ibunya tidur dengan melepas bagian atas dasternya, hanya ber BH saja, mungkin saking gerahnya, tadinya mungkin ia menggunakan daster yang ia lepas sebagai penutup, juga menutupinya dengan memeluk guling, kini setelah terlelap beberapa lama, gulingnya sudah tak ia peluk lagi, dan dasternya sudah lepas. Farid meneguk ludahnya. Pemandangan yang dilihatnya sangat merangsang nafsunya.Tangan ibunya satu terangkat ke belakang kepala, sebagai bantal kepalanya, memperlihatkan rimbunan keteknya, juga teteknya yang besar di balik bungkusan BH yang ketat, sontak kont01nya langsung meronta. Ibunya sudah terlelap, apalagi kini kipas angin sudah menyala. Mulai nyaman dan sejuk. Walau begitu nampak tubuh ibunya masih sedikit menyisakan keringat. Membuatnya berkilat dan mempesona..<br /><br />Perlahan Farid naik ke tempat tidur, berbaring. Matanya terus menatap pemandangan menggoda di hadapannya. Ampun....pikirnya. 15 menit pertama ia hanya memuaskan diri dengan melihat, celananya sudah sesak sekali. Belahan tetek ibunya sangat jelas sekali. Bahkan Farid bisa melihat pentilnya yang terceplak samar di balik BH yang agak tipis itu. Farid mulai goyah, akhirnya dengan sangat perlahan ia mendekat. Dengan agak gemetar, hidungnya mulai menciumi pangkal lengan ibunya, aroma yang harum dan menggelitik nafsunya mulai tercium. Tangannya terjulur, mulai membelai bulu ketek ibunya, keset dan tebal. Setelah puas, ia beralih...tangannya dengan gemetar memegang BH putih ibunya, terasa keras dan empuk. Sesekali jarinya menyentuh belahan tetek ibunya yang sangat dalam itu. Lama ia menyentuhnya, pentilnya terasa juga walau dibalik BH, ibunya nampak masih tertidur pulas. Makin lama makin timbul keberanian Farid, nekad deh pikirnya, tingal lihat nanti saja, paling kalau tengsin cuma diomelin. Jari jemarinya dengan terampil dan perlahan mulai mengangkat bagian bawah BH ibunya, agak sulit di awalnya, cukup ketat membungkus tetek ibunya, lalu BH itu mulai kendor, dan diangkatnya penutup BH itu...jantung Farid berdetak dengan sangat tidak normal kini. Bahkan Farid merasa ia bisa mendengar dentuman detak jantungnya yang berdebar. Tetek besar itu kini terpampang bebas, sangat kencang dengan pentil mengacung sempurna, dihiasi lingkaran kecoklatan yang agak lebar. Tepat saat ia masih mengagumi, ibunya bergeser, kini tidur dengan tubuh miring.<br /><br />Farid dengan perlahan mulai berbaring, kepalanya tepat di depan tetek ibunya itu. Jarinya mulai menyentuh pentilnya, keras juga empuk, tak lama ia menyentuhnya, ia punya agenda lain. Mulutnya mulai bergerak, pentil itu mulai ia jilati, aroma wangi sabun dan sedikit keringat karena ibunya tadi kegerahan sungguh menimbulkan sensasi wangi yang menaikkan birahinya. Lidahnya mulai menggoyang – goyang pentil ibunya. Lalu ia mulai mengulumnya, menghisapnya lembut, nampak tubuh ibunya sedikit bergerak, tapi masih tertidur. Kont01nya sudah sangat keras saat ini. Satu tangannya menyusup ke balik celananya, memainkan kont01nya. Farid asik sekali mengulum dan menghisap kedua pentil itu bergantian, ibunya masih pulas tertidur, bahkan sesekali ibunya mendesah, membuat Farid makin terangsang, sedikit makin berani, ia mulai meremas tetek ibunya. Saking semangatnya ia menghisap pentilnya dengan kuat. Ibunya tentu saja kelojotan dan segera terbangun, nampak kaget dan terkejut, Farid juga terkejut segera melepaskan mulutnya dari pentil ibunya. Tangannya yang tadi meremas kont01 juga sudah ia keluarkan. Ibunya segera merapikan BH-nya, menutupinya dengan daster. Suara ibunya pelan saat berbicara takut terdengar keluar, namun nada marahnya tak bisa disembunyikan. Farid memasang muka bersalah dan menyesal.<br /><br />”FARID..A..apa yang kamu lakukan.”<br />”Se...sebelumnya Farid minta maaf bu. Ta...tapi tadi saat lampu menyala, Farid melihat ibu yang hanya tidur memakai BH, Fa...Farid jadi ingin merasakan ba..bagaimana rasanya menetek sama ibu. Ma...maafkan Farid bu.”<br />”Duh...nak, kamu ini sudah besar, sudah tak pantas lagi seperti itu. Ini juga salah ibu, karena gerah makanya tidur hanya seperti ini.”<br />”Bu...Farid benar – benar menyesal, tapi sungguh tak ada niat lain. Farid hanya mau merasakan menetek saja. Maaf ya bu.”<br />”Sudah...ibu sebenarnya marah, tapi kali ini ibu maafkan, ingat kamu sudah sebesar ini, sudah tak pantas lagi menetek sama ibu, ada – ada saja kamu.”<br />”Ya...ya bu...eh...boleh nggak Farid menetek sebentar lagi, tanggung bu.”<br />”Nggak...nggak...sudah kamu tidur sana.”<br /><br />Ibunya menunggu Farid pindah ke ujung ranjang, saat Farid berbalik, ibunya segera memakai dasternya, berbaring menghadap tembok, sungguh...Lisna sangat terkejut dengan apa yang Farid perbuat. Macam – macam saja pikirnya. Tapi anak itu tak salah sepenuhnya, salah Lisna juga tidur dengan hanya ber BH saja. Wajarlah anak seusia Farid tergoda. Lisna kemudian kembali memejamkan matanya, ia merasakan m3meknya sedikit basah.<br /><br />Farid berbaring memunggungi ibunya...nyaris pikirnya. Ia memang sudah memperhitungkan resikonya, dan memang ibunya hanya marah saja. Tak mungkin sampai mengadu ke ayahnya. Farid memang menyesal....sangat menyesal karena tak bisa ke tahap lebih jauh.<br /><br />Bersambung . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-39051514651847543482013-12-21T02:09:00.003-08:002013-12-21T02:09:26.503-08:00Biar lambat asal nikmat - 4Esoknya sikap ibunya sudah seperti biasa. Hanya Farid yang sedikit canggung. Tapi tak urung malamnya Farid meminta untuk menetek sama ibunya, biar bagaimanapun setelah merasakan. Tentu Farid ingin merasakannya lagi, tentu saja ditolak mentah – mentah oleh ibunya. Farid tidur sambil merengut. Pantang menyerah saat tidur esok harinya ia kembali meminta, kali ini dengan rayuan maut dan ancaman. Lisna hanya berbaring saja mendengarkan ocehan anaknya ini.<br /><br />”Bu...ayo dong...kasih deh, satu kali saja.”<br />”Nggak...kamu ini sudah bangkotan begini, minta yang aneh – aneh saja.”<br />”Bu...ibu nggak sayang nih sama Farid.”<br />”Rid...ibu sayang sama kamu, tapi kalau kamu minta yang aneh kayak gini, tak ada kaitannya sama soal kasih sayang ibu.”<br />”Ah pokoknya memang ibu tak sayang.”<br /><br />Lisna hanya diam saja. Walau ia sayang sama anak lelaki bontotnya ini, tentu ada batasnya, nggak mungkin ia mengabulkannya. Lisna memilih diam saja, biar saja pikirnya, nanti juga kalau didiamin, anak itu akan anteng dengan sendirinya. Lagian sudah lama nih bocah nggak pernah kolokan berlebihan, kok sekarang sudah sebesar ini dia mulai lagi. Farid kembali merengek.<br /><br />”Baik kalau ibu tak mau, nanti Farid nggak akan pernah mau pulang ke Jakarta.”<br />”Rid...jangan begitu. Tapi kalau kamu tak mau pulang ya nggak apa, ibu juga bisa ngirit jadinya hehehe.”<br />”Tuh..ibu malah bercanda. Sudah kalau ibu tak mau, biarin nanti Farid bayar perempuan saja buat ngerasain netek. Iya...Farid bakal lakukan itu.”<br />”Rid...jangan...bahaya tahu, kamu bisa kena penyakit.”<br />”Biarin...lagian kalau netek doang mana ada sih kena penyakit. Besok Farid mau lakukan deh.”<br />”Rid kamu ini kelewatan ya. Kamu mikir dong. Aduh nggak tahu deh ibu musti ngomong apalagi.”<br /><br />Lisna hanya diam saja, berpikir. Susah punya anak laki paling kecil. Kalau sudah maunya suka aneh – aneh. Dia pikir nggak ada resikonya apa bayar perempuan...duh nih anak. Dibilangi malah bisa saja jawabnya, kalau netek saja nggak bahaya. Lisna menghela nafas menatap Farid yang merengut.<br /><br />”Eh..baiklah, ibu akan turuti, dengan dua syarat.”<br /><br />Wajah Farid langsung berubah cerah. Dengan agak nyengir ia segera menjawab, ibunya jadi sedikit kesal melihat cengirannya.<br /><br />”Ya sudah...apa syaratnya bu ?”<br />”Pertama...ingat ini hanya karena ibu sayang sama kamu maka ibu ijinkan itu juga hanya kali ini aja, tak ada yang lain kali, mau kamu ngambek atau ngapain kek, ibu nggak bakalan kasih lagi.”<br />”Oke...terus apa lagi bu...?”<br />”Kedua...jangan pernah kamu membayar perempuan buat hal – hal yang aneh. Jangan, ingatlah ibu dan kakakmu yang juga wanita. Lagipula resikonya Rid. Ibu perlu menekankan hal ini, kamu biar bagaimanapun jauh dari pengawasan ayah dan ibu.”<br />”Iya bu.”<br /><br />Lisna lalu diam sejenak, agak ragu, ia mengenakan daster panjang berbahu, mau menurunkan dasternya lewat bahu jelas tak bisa, terlalu sempit, karena belahan lehernya tinggi dan rapat. Dengan sungkan akhirnya ia mengangkat roknya, Farid sekilas bisa melihat pahanya yang mulus juga CD-putihnya yang tebal, Lisna segera menutupi daerah selangkangannya dengan bantal. Ia kembali mengangkat dasternya, memperlihatkan perutnya yang rata dan mulus, sedikit lagi, nampak bagian bawah teteknya, akhirnya teteknya yang besar terlihat bebas, tanpa BH. Farid menatapnya tanpa berkedip, Lisna sedikit risih jadinya.<br /><br />”Sudah..nggak perlu dilihatin terus sampai melotot begitu, kalau mau netek cepat, kalau sudah, kamu cepat tidur.”<br />”I..iya bu, bukan melihati, hanya mengamati lebih jauh dulu.”<br />”Alah...apa bedanya Rid. Kalau kamu tak mau ya sudah, ibu turunin lagi daster ibu. Ibu juga mau tidur.”<br /><br />Farid tentu saja tak mau ibunya mengurungkan niatnya, segera ia berbarig sejajar dekat ibunya. Mulutnya segera menghisap pentil ibunya. Pentil itu masih setengah mekar saat ini. Lidahnya segera menjilati dan memainkannya. Lisna agak terkejut jadinya, tak menyangka anaknya akan memainkan pentilnya, namun ia hanya diam saja. Ya...sebenarnya para pembaca juga pasti sudah pahamlah niat dan agenda terselubung si Farid sebenarnya. Farid masih asik memainkan pentil ibunya bergantian. Dia ingat sekali, dulu waktu SMA dia sering ngewek sama pacarnya. Dan pacarnya selalu terangsang setiap kali Farid memainkan tetek dan pentilnya. Padahal saat itu tetek pacarnya tak begitu besar, masih dalam tahap pertumbuhan. Dan kini saat ia melakukannya pada tetek ibunya yang besar ternyata efeknya lebih dashyat. Farid merasakan sesekali suara ibunya mendesah tertahan, mungkin tak mau anaknya mendengar, kedua pentilnya sudah sangat besar dan mekar mengacung, terasa nikmat sekali dikulum oleh lidahnya. Farid menghisapnya bervariasi, pelan lembut lalu kuat, berulang – ulang, bahkan ibunya diam saja tak melarang saat Farid makin berani, tangannya kini meremas kuat tetek milik Lisna sambil menghisap pentilnya kuat. Desahannya kini sudah terdengar jelas di telinga Farid.<br /><br />”Ssshh...Ooohh...sudaaaahhh...yaaa...Rid...”<br />”Aaahhh...Riddd...sudaaaahhh.....ibuuuu...”<br />”Ughhh....taaakk......tahhaaaaannnnnn......”<br /><br />Bantal yang menutupi CDnya terlepas saat Lisna mengangkat pantatnya, mengejang dan menyemburkan orgasme. Sungguh bahkan dengan suaminyapun ia tak pernah mengalami orgasme hanya dengan dimainkan teteknya atau pentilnya. Mungkin karena suaminya itu, kalau sudah puas main sama teteknya dan ngacengnya sudah keras akan segera menyodok m3meknya. Tapi anaknya ini, Farid amat sangat membuatnya terangsang, lidahnya begitu menggelitik pentilnya, dan mungkin karena yang melakukannya Farid, anaknya sendiri, yang seharusnya tak boleh malah makin membuatnya bergairah, hisapannya yang kuat, sudah begitu Farid sudah lumayan lama menetek padanya. Hampir setengah jam lebih, bukan hanya menetek tepatnya, dibarengi remasan dan permainan lidah yang agresif pada pentilnya. Lisna benar – benar merasakan sekujur tubuhnya dibanjiri kenikmatan. Ia sebenarnya sudah mau menyuruh Farid stop, sudah cukup, pasti anak itu juga sudah puas, tapi ia tak bisa, masih merasakan nikmatnya saat teteknya yang besar ini dimainkan dan diremas sama anaknya ini. Biarkan sebentar saja lagi deh pikirnya toleran.<br /><br />Farid merasakan betapa sesaknya celana pendeknya, tanpa ibunya sadari, satu tangannya perlahan menurunkan celana dan kolornya sebatas paha, membebaskan kont01nya dari sengsara. Ia masih asik mengulum pentil ibunya, kini pentil itu sudah sangat keras dan kemerahan karana Farid terus menghisapnya dengan kuat. Farid menyadari bantal yang tadi menutupi CD- ibunya kini sudah entah di mana, juga entah ibunya sadar atau tidak. Yang pasti kont01nya yang bebas kini tepat menghadap CD yang kelihatan tebal itu. Perlahan ia geser pantatnya, sedikit demi sedikit, akhirnya kepala kont01nya menyentuh CD ibunya.<br /><br />Lisna masih menikmati hispan pada pentilnya, makin kuat Farid menghisapnya, membuat badan Lisna serasa melayang. Lalu ia menyadari, sepertinya ada sesuatu yang sudah amat familiar sekali menyentuh permukaan CD-nya. Ya..ampun ini kan..ini kan...ujung kont01 anaknya. Lisna agak kaget, tapi ia berpikir, mungkin Farid sudah sangat ngaceng, jadi menurunkan celananya karena merasa sesak. Dan karena posisi mereka berdekatan saat Farid menetek, maka wajarlah kalau ujung kont01nya menyentuh permukaan CD-nya, itu bukan kesengajaan. Lisna memutuskan membiarkan saja. Tapi makin lama ia meraasakan sentuhan itu makin cepat, sudah menyerupai gesekan yang konstant, bahkan saat ia agak merenggangkan kakinya karena sedikit pegal dan untuk menyamankan kembali CD-nya yang sudah agak basah menempel, kont01 Farid dengan cepat merangsek masuk menempel di antara kedua pangkal pahanya, tepat di bawah CD-nya. Biarkan saja pikir Lisna, mungkin saat ia agak merenggangkan kakki, tak sengaja kont01 anaknya meleset masuk ke antara pahanya. Maka kini kont01 Farid berada di antara jepitan pangkal selangkangannya. Lisna bahkan hanya diam saja saat kont01 itu mulai bergerak maju mundur....wajar saja, Farid lagi menetek, Lisna agak menggerakkan badannya sesekali, mungkin ia menyesuaikan ritme badannya dengan tetekku yang bergoyang. Lisna sedikit terkejut juga, menyadari besarnya benda yang sedang menempel di pangkal pahanya. Besar dan cukup panjang. Ia merasakan bagian bawah CD-nya terelus dengan nyaman seiring kont01 yang maju mundur di jepitan pahanya. Tak urung ia merasakan m3meknya makin basah saja Saat ini ia merasakan sensasi yang tak biasa. Jujurnya, suaminya sendiri amat memuaskan dirinya. Selalu bisa membuatnya menikmati dan mengalami orgasme setiap berhubungan. Mungkin kini sedikit berkurang frewkensinya, karena usia suaminya tak mudah lagi, namun secara kemampuan, Lisna merasakan cukup dan terpuaskan. Namun saat ini ia merasakan sesuatu yang lain. Ada kenikmatan tersendiri yang menjalari tubuhnya. <br /><br />Farid menyadari ibunya hanya diam saja, tahap demi tahap, secara perlahan Farid bergerak, kini bahkan kont01nya sudah berada di jepitan pangkal paha ibunya, di bawah selangkangannya, ibunya tak melarang, tetap diam, juga saat ia memaju mundurkan memompa kont01nya. Makin PeDe saja Farid, masih tetap menetek, satu tangannya kini meluncur turun ke bawah, dan mulai diletakkan di atas CD ibunya. Hanya diletakkan, menunggu reaksi ibunya, tak ada reaksi. Farid mendiamkan saja dahulu, merasakan ketebalan dan nyamannya CD itu. Lalu setelah agak lama, Farid makin nekad saja, tangannya mulai menyusup ke balik CD ibunya. Saat itu Lisna tersadar. Ia melarang anaknya, suaranya direndahkan sepelan mungkin. Kont01 Farid masih di jepitan pahanya.<br /><br />”Farid...cukup nak. Jangan kau melangkah lebih jauh lagi.”<br />”Ta...tapi bu...”<br />”Cukup...tadi juga kau hanya minta menetek saja kan, nah sudah ibu berikan, sekarang sudah, cukup, jangan melangkah terlalu jauh. Kita sudahi dan tidur.”<br />”Ibu...ibu sebenarnya curang, kalau memang dari awalnya ibu hanya mengijinkan Farid menetek, kenapa ibu tak melarang saat kont01 Farid mulai menyentuh CD ibu, bahkan saat berada di jepitan paha ibu, ibu mendiamkan saja.”<br />”Bu...bukan begitu nak...”<br />”Memang BEGITU bu. Sekarang saat Farid sudah dalam kondisi BEGINI, ibu malah menghentikan, makanya Farid bilang ibu curang.”<br />”Te..terus maumu bagaimana...?”<br />”Paling tidak biarkan Farid menyelesaikannya bu, sampai keluar. Sekali in saja”<br />”APA..? TIDAK...ibu belum gila nak.....ta..tapi baiklah karena kamu bilang ibu curang, ibu bantu kamu sampai tuntas, tetap dengan posisi ini, di jepitan paha. Ingat, pertama dan terakhir kalinya.”<br /><br />Farid tak menyahut, sebagai jawaban ia mulai menggerakkan pantatnya, memaju mundurkan kont01nya. Perlahan saja, juga menyerang kembali pentil ibunya dengan hisapan dan kuluman yang kuat. Lama – lama gerakan kont01nya makin cepat, sedikit membuat paha Lisna berkeringat, Lisna sendiri sebenarnya mulai merasakan terangsang, namun mana bisa pikirnya. Tak boleh dan tak mungkin. Karena desakan tubuh Farid, makin lama tubuh Lisna makin mepet ke tembok, sedikit banyak menghambat gerakannya dan justru membuat Farid makin leluasa menekannya. Kont01 Farid bergerak cepat, karena terlalu cepat jepitan paha Lisna makin renggang, bahkan sangat renggang, kont01 Farid terlepas. Baru saja Lisna hendak menyuruh Farid membetulkannya, anaknya ini sudah bertindak cepat, sangat cepat, tubuh atas Farid menempel ke teteknya, menekannya kuat, tangannya di bawah tak bisa bergerak, satu tangannya di atas dipegang kuat oleh Farid. Sementara entah bagaimana caranya dan cepatnya, satu tangan Farid yang lain sudah mengangkat bagian penutup CD-nya merenggangkannya, dan karena m3meknya memang sudah basah dan mekar, dengan cepat dan mudah kont01 anaknya itu sudah menerobos masuk ke dalam lobang m3meknya, tubuh Lisna bergetar saat kont01 Farid menghujam masuk. Ia mau protest dan marah, tapi bibirnya sudah di ciumi dengan kuat oleh anaknya itu. Lisna berusaha memberontak, tapi sia – sia, Farid sudah mulai memompakan kont01nya, tangannya yang tadi mengangkat CD-nya sudah beralih fungsi, kini sambil memainkan it1lnya. Farid merasakan nikmat sekali m3mek ibunya ini, masih terasa rapat dan hangat. Kont01nya menyodok dengan mantap, keluar masuk tanpa jeda. Lisna masih berusaha melepaskan ciuman Farid, tapi sulit. Sodokan Farid makin kuat saja, tanpa ampun, saat menusuk ke dalam, ia sodokkan sedalam mungkin, belum lagi jemarinya sangat aktif menggelitik it1lnya. Lisna lambat laun mulai merasakan gelombang kenikmatan menghantam dirinya. Sejujurnya sewaktu Farid belum nekad memasukkan kont01nya secara paksa, Lisna juga sudah mulai tak tahan, ia sudah merasakan sangat terangsang dengan gesekan kont01 Farid di pahanya. Memang Lisna mudah sekali bangkit birahinya, sedikit rangsangan yang pas akan membuatnya panas. Saat Farid masih memompa kont01nya pada jepitan pahanya, Lisna juga sudah mulai berpikir...entah berapa lama lagi ia mampu menahan gairahnya, ini bukan lagi masalah hubungan ibu – anak, ini masalah gairahnya sebagai wanita. Dan tanpa ia duga, justru saat ia sedikit kendor, anak itu dengan cepat memanfaatkannya. Bukan salah anak itu sepenuhnya, lelaki manapun pasti tak sabar dan merasa puas hanya dengan jepitan paha saja saat lelaki itu sudah sangat terangsang.<br /><br />Dan kini Lisna mulai menikmati, pantatnya bahkan ikut bergoyang sesekali mengimbangi. Farid juga merasakan perubahan bahasa tubuh ibunya ini, namun ia belum mau melepaskan ciumannya yang sekaligus mencegah ibunya berteriak. Tidak sampai saat yang tepat pikir Farid. Maka ia segera mempercepat sodokannya, makin mempercepat permainan jarinya di it1l ibunya. Badan Lisna mulai bergerak liar, desahannya tertahan mulut Farid. Sodokan kont01 anaknya sangat mantap, belum lagi it1lnya yang geli – geli enak. Tak butuh waktu lama tubuh Lisna akhirnya mengejang, menyemburkan orgasmenya. Setelah ibunya keluar, Farid memperlambat pompaannya, perlahan ia lepas ciumannya. Lisna nampak lega, sedikit mengambil nafas...<br /><br />”Gila kamu Farid....apa...apa yang...”<br />”Bu...sudahlah, tubuh ibu nggak nolak kan..”<br />”Bukan itu, tapi kan kamu nggak perlu sekasar tadi.”<br />”Bu...ini juga karena ibu sendiri, sebenarnya mau tapi belagak nolak. Lagian mana bisa tahan Farid, sudah sejauh ini, juga salah ibu yang paling besar adalah...tubuh ibu terlalu seksi...sungguh sangat merangsang.”<br />”Ya sudahlah, mau bagaimana lagi, kamu sudah masukin ke dalam m3mek ibu, sekalian saja...tuntaskan sampai selesai, keluarin saja di dalam, nggak kenapa. Tapi ingat karena kamu sudah melakukannya juga karena kamu mengakui sendiri kalau kamu terangsang sama tubuh ibu......sebaiknya kamu melakukannya sebaik mungkin, atau ibu tak akan memaafkanmu.”<br />”Beres...anggap saja sudah dilaksanakan. Bu...celana dalamnya dibuka ya, biar nggak ribet, sekarang agak mengganggu nih...”<br />”Duh kamu ini, tadi waktu maksa nyodok pertama tadi, nggak ada masalah, setelah ibu melunak, malah ngelunjak, ya sudah cabut dulu kont01mu,biar ibu buka celana dalam ibu.”<br /><br />Farid mencabut kont01nya, ibunya masih berbaring segera menurunkan CD-nya, Farid kembali terpesona melihat m3mek ibunya, jembutnya sangat menggiurkan, dan walau m3mek ibunya sudah sangat basah, juga lobangnya kini melebar karena baru ia sodok, tetap terlihat menawan, bahkan lobangnya yang kemerahan itu makin mempesona. Sementara Lisna baru sekarang melihat dengan jelas kont01 anaknya ini, sedari tadi hanya menerka dari merasakannya saja. Matanya menatap dengan kagum, sedikit lebih besar dari punya suaminya, juga masih penuh tenaga dan semangat muda. Saat ia masih menatap terpesona, Farid malah sudah asik memainkan m3meknya, pakai mulut dan lidahnya...<br /><br />”Rid...aduh jangan...kan basah...Rid...”<br />”Farid...ibu...risiiiiihhh...aaaahhhh...”<br /><br />Dan Farid memang tak peduli, walau sudah basah dan baru saja ia sodok, tetapi m3mek itu terlalu menggodanya, aromanya harum dan khas. Bahkan sedikit asin rasanya karena cairan ibunya tadi. Lidahnya asik sekali memainkan it1l ibunya, menggoyangnya ke sana kemari. Lobang m3mek ibunya ia sodok, sekaligus pakai jari telunjuj dan jari tengahnya. Lisna mendesah nikmat.<br /><br />Tak mau kalah, juga tak kuat menahan gairah yang sangat enak, Lisna sedikit mengubah posisi tubuhnya, kini tangannya menggenggam kont01 anaknya itu, meremasi biji peler Farid. Tangannya mengocok kont01 anaknya yang agak lengket karena cairan m3meknya. Setelah itu tanpa ragu lidahnya mulai menjilati kont01 Farid yang kini terasa asin dan gurih. Menjilatinya dengan ganas, bertekad membalas semaksimal mungkin, bukan hanya anaknya yang bisa membuat puas....aku juga bisa. Lidahnya bergerak lincah, kini kont01 yang tadinya lengket itu sudah kembali normal, basah oleh jilatannya dan kembali terasa tawar. Lidahnya menggelitik kepala kont01 Farid, membuat anaknya sedikit menggoyangkan pantatnya. Lalu hup...perlahan mulutnya mulai mengulum dan menelan kont01 itu, amblas sampai batas maksimal mulutnya mampu menelan, saat sudah masuk semua ke mulutnya, ia segera mengemut dan menghisapnya kuat, kontan Farid kelojotan, gilaaaa....ternyata ibu sangat hebat untuk urusan ini pikir Farid yang sementara ini sedang asik memainkan m3mek Lisna. Kont01nya terasa dikulum dan dipompa dengan cepat, enaknya saat bersentuhan dengan bibir Lisna yang tebal menggoda itu. Belum lagi saat mengulum dan menghisap, lidah ibunya tetap aktif menggelitik. Mana tahaaaannnnn......<br /><br />Lidah Farid masih saja menggoyangkan it1l yang lumayan besar itu, sesekali menghisap dan menariknya lembut. Jarinya juga makin cepat saja menyodok lobang m3mek ibunya itu. Terasa basah dan lengket pada kedua jarinya itu. Dengan gemas ia menarik lembut it1l ibunya, Lisna kelojotan, kembali Farid menggoyangkan it1l itu secepat dan selincah mungkin, lidahnya bergerak tanpa henti.<br /><br />Kunjungan ibu ini benar – benar menyenangkan sekali, hampir tiap malam kini Farid menyodok ibunya, bebagai macam gaya dan variasi. Kadang pagi sebelum kuliah, ia dan ibunya akan mengunci pintu kamar untuk secara cepat melakukannya seronde saja. Ibunya juga jujur mengakui, ayahnya masih oke dan kompeten dalam menunaikan tugasnya memuaskan ibunya, tapi ibunya menikmati sensasi yang berbeda saat melakukannya dengan Farid, bahkan ibunya mengakui kalau ia lebih sering dan mudah orgasme bersama Farid, entahlah...mungkin karena merasakan rangsangan tersendiri dari hal yang seharusnya tak boleh. Setelah satu bulan, Farid mendapat kesempatan hanya berduaan saja sama ibunya. Kok bisa...? Iya, Pakde dan Budenya harus pergi menghadiri kondangan keluarga besannya, mertuanya mbak Sinta. Mereka pergi naik mobil Pakde. Pakde, Bude, mbak Sinta dan suaminya beserta kedua besannya. Yang kawin itu anak adik besannya, karena waktu mbak Sinta kawin mereka datang dan membantu, tentu saja sekarang Pakde merasa wajib hadir. Lokasinya lumayan jauh, sudah dekat kota Semarang. Mereka pergi Jumat sore, rencananya balik minggu malam. Tadinya ibu diajak, tapi ibu beralasan ia tak terlalu kenal dan tak berkepentingan, juga harus menunggui Farid. Dan kini mereka hanya berdua saja. Sepanjang hari rumah Pakde terkunci, jendelanya tertutup rapat. <br /><br />Ibunya baru saja selesai mengirim SMS ke ayahnya. Menanyakan kabar. Menaruh HP-nya di tepi meja. Ia dan Farid tak berbusana....nggak mau repot, toh hampir tiap saat mereka melakukannya, kalaupun istirahat dan mengobrol, maka tak lama setelah merasa segar dan sama – sama terangsang, mereka akan melakukannya lagi, di mana saja, selama 2 hari ini rumah ini bebas menjadi milik mereka. Dan baru saja ia bersandar, Farid sudah memeluknya dari samping, mendesaknya, sedikit mendorong pantatnya ke atas, kini Farid masuk menyelinap. Farid yang kini duduk bersandar di sofa. Ibunya kini di pangkuan pahanya, memunggunginya. Farid segera saja, mulai merangsang ibunya, meremas teteknya dan memilin pentilnya, lembut lalu kuat, setelah bosan memakai tangannya, anak itu agak mencodongkan miring badannya, mulai menghisap pentilnya, sementara tangannya melebarkan kaki ibunya. Tangannya mulai mengelus jembutnya, memainkannya, sesekali menarik – nariknya dengan gemas, akhirnya jarinya mulai melebarkan belahan m3meknya, jarinya mulai memainkan it1lnya, jari tangan yang lain mulai menyodok m3meknya. Kont01 Farid sendiri sudah ngaceng, tapi masih ia letakkan dengan manis di belahan pantat ibunya. Lisna mulai merasa terangsang saat jari anaknya memainkan lobang m3meknya, tangannya terangkat, mengapit bagian belakang kepala Farid. Kepalanya bersandar di bahu Farid. Farid dengan ganas mulai menciumi dan menjilati keteknya yang rimbun, sesekali menarik bulu halus itu lembut dengan mulutnya. Anak itu suka sekali sama ketek ibunya ini, sangat merangsang katanya, bukannya terlihat jorok, malah sangat seksi, kontras, menambah daya tarik tubuh mulus dan putih ibunya. Bergantian rambut di pangkal lengan Lisna ia jilati, sampai agak basah jadinya. Sementara it1l Lisna semakin menjadi – jadi ia mainkan, membuat Lisna mendesah dan kelojotan....Aaahhhhh...dengan cepat Lisna menggapai orgasmenya....bandit cilik ini selalu membuatku sangat terangsang dan mudah mendapat orgasme pikir Lisna. Farid melepaskan tangannya yang tadi mengerjai it1l ibunya itu, membiarkan ibunya memegang kendali. <br /><br />Tangan Farid segera mendorong belahan pantatnya ke atas, Farid memegang batang kont01nya. Ibunya lalu mulai perlahan menurunkan pantatnya.....blesss....dengan sangat terkendali dan mulus, lobang m3mek itu mulai turun menelan kont01nya, Farid sedikit meringis kegelian...lalu ibunya mulai menggoyangkan pantatnya, naik turun, kiri kanan, memompa dan memberikan kenikmatan pada kont01 Farid, Farid hanya bersantai saja menikmati, tangannya saja yang masih asik meremas tetek besar ibunya itu. Lisna menggerakkan pinggulnya perlahan lalu cepat, kini bahkan saat naik, sengaja ia naik sampai batas kepala kont01 Farid, lalu bless ia turun lagi, naik lagi dengan posisi yang sama, makin lama makin cepat. Farid sampai merem – melek menahan nikmatnya sensasi dan rasa geli yang teramat sangat pada kont01nya. Guna meredam agresifitas ibunya, kini jemari tangannya segera memainkan kembali it1l ibunya, menggoyangkan dan menjepit seskali it1l itu dengan jarinya. Ibunya sedikit banyak teredam agresifitasnya, kenikmatan yang seimbang bagi keduanya. Kini ibunya mulai mendesah sesekali, apalagi saat Farid memilin agak kuat dan menarik - narik it1lnya lembut.<br /><br />Lagi enaknya bermain, HP-ibunya berbunyi, panggilan masuk. Karena dekat, maka tangan Lisna menjangkaunya, mengambil HP di tepi meja itu, Ia melihat layar, membaca siapa yang menelepon, ia melihat lalu menunjukkannya ke Farid. Dari suaminya, ayah Farid. Sebenarnya Lisna enggan menjawab sekarang, nanti saja ia telepon lagi, tapi tangan Farid malah dengan cepat sudah menekan tombol jawab. Mau tak mau Lisna berbicara, karena dekat dengan kupingnya, Farid bisa mendengar suara ayahnya. Lisna kini berhenti menggoyangkan pinggulnya, eh malah Farid yang bergerak menyodok kont01nya, satu tangannya memegang kuat kedua paha Lisna, menyebabkan Lisna tak bisa menghentikan gerakan Farid, tangan yang lain masih memainkan it1lnya.<br /><br />”Ya...mas, tadi aku SMS ke kamuuuu...”<br />”Oh iya, tadi mas lagi pergi keluar sama teman, HP-nya mas tak bawa, Caru makan sekalian beli rokok di warung. Gimana kabar di sana Lisna...?”<br />”Baiiikk maasss...”<br />”Si Farid gimana kabarnya...?”<br />”Baik Jugaaaa....Ahh...sehat, mas sendirii..?”<br />“Baik…eh kamu kenapa si dari setadi kok nafasnya terengah begitu...?”<br />”Iniii...akuu lagi beresin kamaar si Fariiid. Nggak enak kan sama Mbak Sriii, kotor banyaakk debunya, maklum anak laki malass...hidungkuu banyak kemasukaaann debu.....susah nafas agak tersumbaaattt, mana berat ngangkatin barang sendiriaannn...aaahhh..sori mas sambil ngangkat barang nih. Gimana kerjanya..?”<br />”Baik, lancar, memang sedikit sulit melacak transaksi yang terlanjur dimanipulasi itu...butuh waktu mentrace ulang.”<br /><br />Lisna agak memiringkan kepalanya, melotot ke Farid, nih anak bukannya diam malah makin kuat saja nyodoknya, belum lagi tanganya mainin it1lnya. Farid malah nyengir tanpa rasa bersalah. Lisna baru mau melotot lagi memberi tanda menyuruh Farid berhenti dulu, suara suaminya sudah terdengar...<br /><br />”Eh...memangnya pada ke mana semuanya...”<br />”Mbak sama suaminya kondangan, si Farid ngelayaaap, ya sudah...aku sendiriannnn..”<br />”Oh gitu...Las...aku kangen nih sama kamu...”<br />”Aku juga maaas...”<br />”Pingin cepat ketemu, mau ngerasain itu kamu yang enak.”<br />”Hehehe...samaaa...aku juga kangen sama anunya maas...”<br />”Las..aku lagi di kamarku di mess ini, sendirian. Jadi bebas saja ya, aku kangen nih sama tubuhmu, desahanmu...duh...tuh kan...jadi bereaksi deh.”<br />”Samaaa maasss....maasss, Lisna hibuur sama desahan Lisna yaaa...”<br />”He eh...yang seksi dan nafsuin ya....kan kamu juga lagi sendirian di sana.”<br />”Aaaaahh.....Oooohh...uggghhh....”<br />”Aww....Sssstt......Auhhhh....Yesssss”<br />”Duh Las, makin kangen aku jadinya....”<br /><br />Bersambung . . . .Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-19669236202753344132013-12-21T02:09:00.000-08:002013-12-21T02:09:02.695-08:00Biar lambat asal nikmat - 5Sebenarnya Lisna memanfaatkan kesempatan, mumpung omongan suaminya mengarah sekalian saja deh, gila nih si Farid, mainin it1lnya kagak kira – kira sampai kelojotan dia. Setengah mati nahan orgasme, juga desahannya....untung saja saat ia keluar tadi berbarengan dengan permintaan suaminya....sinting nih si Farid. Suara mas Joko kembali terdengar...<br /><br />”Persis banget kayak aslinya Las, kamu segitu kangennya ya sama aku...kasihan...”<br />”Iyaaaa...mas...aduuhhhh...Ooohhh...makanya akuuuu sengaajaaa kasiiihhh desahaaannn yaaang paling hoottt buat mas.”<br />”Iya..makasih, buat ngobatin kangen nih...”<br />”Iya maaass...sudah duluu yaahh, lagi repot nih lagiii ngurusin peraboootaaan si Farid. Nanti telepon lagi yaaaa...”<br />”Iya deh Las...sampai nanti, salam kangen dan rindu ya...”<br />”Yaaa...Oooohhhh....”<br /><br />Lisna buru – buru mematikan HP. Segera menghentikan kegiatan Farid. Ia bahkan mencabut kont01 Farid dari m3meknya. Duh...padahal sedikit lagi nih...gerutu Farid dalam hati. Ia lalu dengan gusar duduk di samping Farid...<br /><br />”Rid..kamu ini sudah edan ya, gimana kalau ayahmu curiga ?”<br />”kenyataannya nggak kan bu...? Lagian aku lucu saja dengar percakapan tadi. Nggak nyangka ayah yang kelihatannya kaku, bisa jadi kolokan sama ibu. Memang tubuh ibu bisa membuat siapa saja kangen....duh...aku kangen nih sama kamu....”<br />”Kamu ini...malah bercanda...”<br />”Nggak...nggak bu, memang lucu kok huahahaha...hehehe.”<br /><br />Walau awalnya kesal, tapi mau tak mau akhirnya Lisna tertawa juga, memang benar sih kata Farid tadi, jarang banget suaminya kolokan seperti tadi. Jadi lucu kedengarannya. Lisnapun tertawa lepas, kemarahannya menguap begitu saja. Farid yang masih nanggung, segera merebahkan Lisna di sofa. Satu kaki Farid menginjak lantai, satunya dilipat di sofa, segera saja ia menyodokkan kont01nya ke lobang m3mek ibunya itu. Kembali memompanya dengan cepat dan kuat, menebus sedikit rasa tanggung yang masih tersisa. Kont01nya menyodok dengan cepat membuat tetek ibunya bergoyang lincah tak terkendali, makin menambah rangsangannya, ia benamkan sedalam dan sekuat mungkin, menggelitik bibir bibir kemaluan ibunya itu setiap kali kont01 itu bergerak. Tangannya memegang dan meremas erat tetek ibunya itu. Pompaan kont01nya sudah sangat maksimal, menghujani lobang m3mek yang sudah basah dan licin itu, menggelitik semua bagian dinding pada lobang nikmat tersebut. Ibunya juga sudah mulai kembali enjoy, bahkan pantatnya juga mengimbangi sodokan Farid. Mulutnya kembali mendesah nikmat. Wajahnya sangat menikmati, tergambar jelas sekali, yang makin membuat Farid nafsu saja saat melihat ekspresi penuh mesum di wajah canti ibunya itu. Jleb...jleb...plook...plook....makin cepat dan kuat....Ooohh....desahan makin nyaring....dan akhirnya...crooot...crooot.....nikmatnya. Kedua insan ini terkulai lemas dan bahagia.<br /><br />Akhirnya masa – masa menyenangan Farid pun harus berakhir. Dua bulan sudah medekati akhir. Kemarin malam ayahnya menelepon ibunya, katanya 2 hari lagi pulang, pesawat yang siang, tak langsung ke rumah, mampir sebentar ke kantor. Besoknya ibunya meminta Farid mengantarnya beli oleh – oleh, bolos saja kuliah kata ibu. Bude sebenarnya mau mengantar, tapi ibu menolak, katanya sekalian mau belikan Farid baju. Ya sudah pagi – pagi kami sudah jalan. Tujuannya, nggak langsung belanja, ke hotel kelas melati yang agak di pinggiran. Memuaskan moment terakhir. Baru jam satu kami keluar dan pergi belanja. Petugas hotelnya nyengir nyebelin, dipikirnya mungkin ada tante lagi main sama brondong. Sambil beli oleh – oleh, ibu sekalian membeli tiket pesawat buat besok pagi. Sesekali naik pesawat saja kata ibu, lebih cepat. Ibu membeli oleh –oleh buat saudara ayah di Jakarta dan tetangga. Juga buat pakde dan bude. Malamnya kembali kami mereguk kenikmatan bersama untuk terakhir kali pada kunjungan ibu ini, kata ibu setelah ini libur dulu, nanti kalau aku libur kuliah dan pulang ke Jakarta, toh bisa bebas lagi melakukannya sesukaku, sepanjang pagi sampai sorekan ayah di kantor. Esoknya Pakde dan bude mengantar ibu ke airport, aku tak ikut kuliah, kemarin sudah bolos sih. Ya...dua bulan yang menyenangkan dan penuh sensasi itu sudah berakhir. Walau terlambat memulainya, tapi bagiku tak masalah. Biar agak telat aku memulainya, namun akhirnya tetap sama...nikmat. Bahkan makin enak, karena di usianya sekarang ini, ibu makin matang dan makin merangsang.<br /><br />Hampir 3 bulan sudah kini berlalu. Kehidupan berjalan seperti biasa dan datar saja. Setelah kenangan indah bersama ibu mulai mereda, kembali aku mulai memikirkan bude Sri, yang sedikit tersisihkan dari otak kotorku saat kehadiran ibu, makin hot saja budeku ini. Nggak beda jauh sama ibu, bahkan bodinya sedikit lebih montok dan padat, mungkin karena bude tak setinggi ibu. Tapi tetap saja, tak bisa berbuat lebih jauh. Pendekatanku sama Yuni sedikit bergerak lebih maju, SMS dan telepon makin sering, mulai sering jalan ke mall atau ke tempat jajanan yang enak dan asik. Tapi belum pernah ke rumahnya atau ngapel, biarlah, slow saja toh arahnya sudah positive. Yuni sendiri dari pengamatanku sejauh ini sepertinya belum punya pacar, Pernah waktu lagi makan di mall, Yuni ke toilet meninggalkan HP-nya di meja, aku iseng membuka, tak ada SMS atau nama ID yang mengindikasikan pacarnya. Bahkan aku kaget karena ID namaku dia buat...Yayang Farid...wah ini sih bisa segera ditembak...tinggal tunggu moment yang greget saja.<br /><br />Tapi sudahlah, cerita Yuni lain kali saja. Sekarang aku juga lagi sibuk ujian. Melelahkan, baik teori dan praktek, untung akhirnya kelar.Sambil menunggu hasil, aku jadi jarang kuliah dulu, toh lebih banyak santainya saja kalau ke kampus. Aku sering menghabiskan waktu browsing internet di rumah, Seperti pagi ini, Pakde kerja seperti biasa, bude lagi ke rumah mbak Sinta, kayaknya mbak Sinta menunjukkan gejala hamil nih.Aku bersantai saja, membuka jendela, maklum sambil merokok. Karena santai aku juga tak terburu – buru bahkan buka situs apa juga aku nggak nentuin dulu, saat aku ketik satu huruf awalan situs degan awalan k, seperti biasa di address browser suka muncul history address yang pernah dikunjungi sebelumnya yang awalannya k, mataku menangkap alamat konsultasikesehatan, perasaan nggak pernah buka situs ini, paling pakde, iseng aku klik saja deh. Halaman segera loading...tak lama...lho apaan nih...kok isinya artikel tentang ejakulasi dini sih, karena penasaran aku buka menu history. Aku sendiri kalau habis browsing selalu rajin menghapus jejakku, beda sama pakde yang agak awam. Kulihat semua adress history, rata – rata situs konsultasi kesehatan dan seksiologi, satu persatu kubuka...ejakulasi dini lagi...sama ini juga...itu juga ejakulasi dini dan cara mengatasinya...semua sama. Otakku yng tadinya mau bersantai browsing situs jorok akhirnya mau nggak mau berpikir...apakah pakdeku sedang mengalami masalah ejakulasi dini alias baru nyodok atau nempel dikit sudah langsung ngecret...sambil berpikir aku juga jadi prihatin. Akhirnya karena merasa dipikirkan juga itu bukan masalahku, Pakde juga tak mungkin cerita hal ini padaku, aku segera memulai kesibukkanku browsing situs – situs porno idolaku.<br /><br />Malamnya Pakde memanggilku, bude juga ada di situ, ada apa ini..? Pakde segera memulai percakapan.<br /><br />”Rid...ada yang Pakde mau omongin ke kamu.”<br />”Iya Pakde..ada apa...?”<br />”Gini, Pakde kan pernah cerita, kantor pakde belum lama ini sedang dalam tahap awal kerjasama dengan Perusahaan tambang batubara di Kalimantan dan Sumatra. Perusahaan itu bermaksud melakukan peremajaan besar – besaran pada mesin – mesinnya.”<br />”Ya...lalu apa hubungannya sama Farid..?”<br />”Bukan sama kamu hehehe. Nah Perusahaan tempat Pakde bekerja tentu tak mau menyiakan kesempatan emas in, sulit melobi perusahaan pertambangan itu samapi bisa berhsil teken kontrak. Kami bermaksud menjalin hubungan jangka panjang. Juga bagus buat kredibilitas Perusahaan sat menawarkan mesin ke tempat lain. Nah singkatnya kontrak sudah ditandatangani, mesin – mesin sebagian sudah dikirim. Nah di awal ini kantor pusat sudah menargetkan tak boleh ada kesalahan, walau tak diwajibkan dalam kontrak, tapi sudah diputuskan menyeleksi dan mengirimkan para insinyur mesin terbaik, baik dari pusat atau kantor cabang guna mengawasi kinerja mesin – mesin baru itu selama 3 bulan ke depan. biaya Perusahaan Pakde sendiri. Tadinya Pakde nggak berharap atau yakin bakalan terpilih, ya sudah tua, masih banyak yang muda, tapi dari pusat ternyata memasukkan nama Pakde untuk bertugas di sana selama 3 bulan ini.”<br />”Wah, selamat Pakde. Memang Pakde itu insinyur mesin yang jempolan. Masih diperhitungkan atasan.”<br />”Ah bisa saja kamu muji Rid, jadi GeEr nih Pakde. Tapi bukan itu masalahnya, masalahnya Pakde harus meninggalkan rumah 3 bulan ini, memang minimal sebulan sekali Pakde dapat jatah tiket pesawat buat pulang. Tapi budemu sendirian dirumah. Tak mungkin Sinta di sini terus, suaminya juga terkadang dinas luar. Lagian mbakmu itu lagi hamil muda, harus istirahat. Jadi baik di sini dan yang di sana sama – sama tak bisa menginap, nggak ada yang jagain rumah. Nah kamu kan sebentar lagi libur kuliah, Pakde minta tolong, kamu jangan pulang ya, jagain budemu, nanti Pakde akan telapon ayah ibumu mereka pasti akan mengerti...bagaimana...?”<br />”Ya...ba..baiklah Pakde.”<br />”Nah...kamu memang bisa diharapkan. Pakde telepon ayahmu dulu.”<br />”Kalau begtu Farid balik ke kamar dulu deh Pakde, bude...”<br /><br />Walau Pakde merendah saat mengatakan ia terpilih, tapi Farid tahu Pakdenya senang dan bangga bisa terpilih, hidungnya saja sampai kembang kempis saat menceritakan hal tadi. Farid pun balik ke kamar. Jujurnya Farid nggak sepenuhnya menyanggupi, mengingat hal istimewa yang bakalan ia dapat dari ibu saat ia pulang. Tapi mau nolak, nggak enak, Pakde sudah sangat baik menerimanya, bahkan membiarkan aku memakai fasilitas internet dan ruang kerjanya. Lagipula...ehem...siapa tahu aku bisa memancing di air jernih....lho nggak salah Rid ? Bukannya memancing di air keruh ? Nggak...nggak salah kok, kalau situasinya Pakde pergi dinas, dan aku hanya tinggal berdua saja, maka namanya itu sudah air jernih hehehe.<br /><br />Akhirnya memang orangtuaku tak keberatan, bahkan kata ayah, kalaupun Pakde tak minta dan ayah tahu budeku sendirian, pasti ia juga akan menyuruhku tetap tinggal di sana untuk menemani. Alasan ayah sama denganku, karena mereka sudah berbaik hati mau menerimaku. Ibu bahkan dengan teganya menggodaku saat meneleponku di HP...katanya..Kasihan anakku...libur lagi nih ye....huah...hiks. Nilai ujianku keluar, nilainya lumayan oke, Nilai C nya Cuma satu, sisanya B dan A, tak ada yang mengulang, aku naik tingkat 2. <br /><br />Seminggu terakhir menjelang keberangkatan Pakde dan juga karyawan lain yang dikirim mendapat libur seminggu penuh dari kantornya. Kebijakan Perusahaan, buat berkumpul bersama keluarga. Sekalian lembur ngejatah bini...pikir Farid ngeres. Seminggu itu juga Farid yang kini banyak waktu senggang, sibuk membantu Pakdenya men-scan sketsa – sketsa diagram mesin, buku panduan dan catatan atau gambar penting lainnya, lumayan banyak. Pakdenya menyimpannya di USB, biar praktis dan mudah menemukannya kalau dibutuhkan nanti. Akhirnya Pakde berangkat. Selama awal liburan aku paling keluyuran kalau siang, sesekali aku ijin bude meminjam mobil Pakde, keliling agak jauhan sedikit, ngajak temanku atau Yuni, sekalian melumasi mesin mobil karena jarang dipakai. Bude mengijinkan. Tapi setelah seminggu bosan juga keluyuran, aku mulai banyak di rumah, membaca atau nonton film, main internet, juga menemani bude ngobrol. Belum melihat adanya kesempatan memancing di air jernih, mau nekad bisa panjang urusannya. Aku kini lagi asik menemani bude ngobrol di dapur, duduk di bangku kecil, bude lagi asik mencuci dan memotong sayuran. Sambil ngobrol juga nyuci mata ngeliatin lobang lengan daster bude yang lebar itu.<br /><br />”Kamu bosan ya Rid..?”<br />”Ah nggak ko Bude.”<br />”Ah ndak usah bohonglah kamu. Paling kamu lagi mikirin enaknya libur di Jakarta.”<br />”He he...sedikit sih bude, tapi benar kok nggak kenapa. Toh bude sama pakde sudah baik sama Farid selama ini.”<br />”Bude perhatikan kalau malam mingguan, kamu jarang keluar toh, memangnya belum punya gacoan ?”<br />”Belum, masih nyari kok. Belum ada yang nyantol.”<br />”Oh gitu, apa karena kamu sudah punya pacar di Jakarta Rid...?”<br />”Nggak juga...memang belum dapat kok.”<br />”Ya wis...padahal kamu tampangmu bagus juga lho. Kalau kamu mau nanti bude bilangin mbak Sintamu itu, suruh dia nyomblangi kamu.”<br />”Ah...ndak usah toh bude. Biarin saja, nanti juga kalau sudah waktunya pasti ketemu.”<br /><br />Ngobrol sih ngobrol, kont01ku sudah ngaceng, ngelihat ketek sama bagian pinggir tetek bude, mana bude nggak pakai BH lagi. Mungkin terasa panas dan pengap kalau dipakai sambil memasak di dapur. Nanggung ah, bude juga nggak tahu. Aku asik saja mengobrol dan mengamati.<br /><br />”Pakdemu kalau ngomong sama bude selalu saja mengatakan senang dengan adanya kamu di sini Rid, maklumlah dari dulu nggak kesampaian pingin punya anak laki. Makanya Pakdemu sudah menganggap kamu sebagai anak lelakinya.”<br />”Farid juga menganggap Pakde sebagai ayah kok.”<br />”Pakdemu itu sebenarnya senang sekali bisa dipercaya dikirim ke Kalimantan. Bude juga tak keberatan. Cuma memang setahun belakangan ini Pakdemu kerjanya terlalu giat, sampai...”<br />”Sampai apa bude...”<br />”Ah..ng..nggak, nggak kenap...lho kamu sedang lihatin apa Rid ?”<br /><br />Sebenarnya aku penasaran bude mau ngomong sampai apa sih Pakdeku itu, tapi penasaranku sambil memandangi belahan lengan dasternya. Memang sih bude saat itu lagi mengambil panci dalam lemari atas, otomatis saat lengannya terjulur lobang di lengan daternya makin lebar, nyaris menampakkan sebelah teteknya. Sialnya bude yang salah tingkah karena hampir kelepasan ngomong jadi menoleh tepat saat mataku sedang menatap dengan sangat fokus. Tengsin. Bude memandangku lalu menyadari ke mana arah pandanganku. Harus bisa berkelit nih.<br /><br />”Kamu lihat apa toh Rid...?”<br />”Maaf bude nggak sengaja dan nggak bisa...eh ditolak. Habis mau gimana lagi, awalnya sih Farid berusaha melihat ke bawah, mau bilang bude nggak enak. Tapi lama – lama kan nggak enak ngobrol sambil lihat lantai terus. Tapi benar kok, Farid nggak bermaksud melihat..eh..itu dari lengan daster bude.”<br />”Ya wis..bude paham, memang bukan salah kamu, bude memang nyaman pakai daster begini, adem. Lagian kamu ngapain juga ngelihatin bude yang sudah tua. Masih banyak kok perempuan muda yang cakep.”<br /><br />Farid merasa mendapat angin sejuk saat ini, mulai berani ngomongnya.<br /><br />”Ya..awalnya memang tak sengaja kok bude...eh...tapi..anu...maaf..bude jangan marah ya..duh..nggak enak Farid ngomongnya....”<br />”Ngomong saja Rid, nggak kenapa, Bude nggak akan marah kok.”<br />”I..iya...anu i..itu lho...bude masih cantik kok, masih seksi kok. Eh..a..anu...tadi nggak sengaja terlihat, te...tetek bude juga masih bagus, besar dan kencang...ben...benar masih menarik dan seksi. Bude belum tua kok, masih menarik.”<br />”Duh kamu ini bisa saja mujinya. Bude sudah tua begini dibilang cantik, teteknya juga sudah kendor dan turun.”<br />”Ng...nggak kok.”<br />”kamu ini kalau bude bilangin. Ya sudah deh nih coba kamu lihat...”<br /><br />Dan budenya dengan santai menarik lengan dasternya ke tengah, memperlihatkan sebelah teteknya...buset...besar banget pikir Farid, pentilnya juga sudah mengacung, kecoklatan, belum lagi lingkaran sekelilingnya yang agak lebar, teteknya sedikit turun tapi masih sangat sangat kencang. Kont01 Farid tak terkendali. Tapi budenya sudah menutup peluang...kembali merapikan dasternya.<br /><br />”Nah percaya kan. Wong bude sudah tua kok. Sudah mandi sana, nggak usah merasa bersalah ya Rid, memang kamu nggak sengaja kok, nemanin bude ngobrol, daster bude saja yang lengannya kelebaran, jadinya kamu serba salah. Sana mandi.”<br />“I…iya bude..tapi benar kok,bude masih cantik hehehe.”<br />”hush...kamu ini, cepat mandi sudah siang.”<br /><br />Sementara Farid ke kamarnya, budenya hanya nyengir sambil menggelengkan kepala, ada – ada saja anak itu pikirnya. Apa yang membuat dia tertarik sama budenya yang sudah tua ini. Dia lalu ingat, suaminya pernah berkata sambil lalu sewaktu di kamar, di awal Farid baru tinggal sama mereka. Kata suaminya...Sri, kamu sebaiknya mengganti model dastermu, nggak enak ada si farid, diakan sudah besar, takutnya gimana gitu, sungkan sama kamu. Tapi Sri menjawab, nggak kenapa, toh Farid keponakannya, lagian dia ogah ganti model daster, sudah lama menyenangi dan nyaman memakai model begini, adem dan lebih sejuk, dapat angin banyak. Suaminya akhirnya mendiamkan saja dan tak membahas lagi, apalagi suaminya juga tak pernah melihat mata Farid jelajatan. Terus ia berpikir kembali, kalau sekarang murni si Farid nggak sengaja, sulit bagi anak itu mengobrol tanpa melihat....salahku yang lebih besar pikir Sri lagi meneruskan kesibukannya memasak.<br /><br />Farid masuk kamarnya, sebenarnya dia bisa saja nekad tadi, tapi belum yakin dengan reaksi budenya, dia juga yakin tadi kalau budenya sebenarnya bermaksud ngomong pakdenya bekerja terlalu giat sampai berpengaruh pada daya seksualitasnya, mengakibatkan stress dan lelah, salah satu faktor penyebab ejakulasi dini. Tapi paling nggak Farid akhirnya bisa dapat melihat tetek budenya, bahkan budenya secara sukarela memperlihatkannya, mulai ada peluang pikir Farid. Ia pun segera mandi, tentu saja sebelumnya ia ber onani ra, melepaskan desakan pada kont01nya. Siangnya budenya memanggilnya untuk makan, budenya bahkan masih memakai daster itu, walau sudah tahu tadi Farid melihat dengan mata melotot isi di balik lengan dasternya. Nampaknya mmang budenya serius hanya menganggap itu suatu hal yang tak disengaja dan tak kuasa dihindarkan. Farid makan dengan sedikit rada canggung. Budenya bersikap netral. Selesai makan budenya bilang mau istirahat sebentar, Farid membawa piring kotor dan mencucinya. Setelah selesai ia mengunci pintu depan, maklum siang begini sepi, takut ada maling, sering kejadian...juga Farid punya agenda lain. Tak lama ia mengetuk pintu kamar budenya. Budenya menyuruhnya masuk Nampak budenya lagi tiduran telentang, Farid duduk di pinggir ranjang. Farid memasang muka menyesal, sambil memijat kaki budenya. Budenya tak melarang, karena memang suka meminta Farid memijat betisnya kalau lagi pegal. Bahkan budenya senang karena saat ini Farid memijat kakinya tanpa ia minta.<br /><br />”Eh..anu..bude..”<br />”Kenapa Rid...kok kayak orang nggak enak hati gitu sih. Kenapa..? Ngomong saja..”<br />”I..itu..tadi...Farid masih merasa bersalah, sudah melihat eh itu tuh...menyesal sekali.”<br />”Ah...sudahlah...kan kamu tadi sudah jujur menerangkan, memang tak kuasa untuk tak melihat. Bude juga punya andil, daster bude memang modelnya begitu.”<br />”I..iya..Farid benar – benar minta maaf.”<br />”Sudahlah Rid, tak masalah. Bude tak marah kok. Lagian apa sih yang menarik dari bude.”<br /><br />Farid sengaja diam, menggantung suasana. Ia masih asik memijit betis mulus budenya, memijatnya seenak mungkin, bahkan kini sudah sampai sendi lutut budenya. Farid kembali bicara.<br /><br />”Kalau Farid boleh terus terang, bude nggak marah kan...?”<br />”Ya nggaklah Rid. Ngomong saja. Mau ngomong sama bude saja kok pakai ijin segala.”<br />”I..iya...anu bude, sebenarnya bude memang menarik kok..eh..maaf ya bude, buktinya saat tadi Farid tak sengaja melihat, Farid..eh a..anu...jadi bangun...itu kan membuktikan bude menarik. Eh pahanya mau dipijat sekalian bude ?”<br />”A..apa Rid...ya...ya pijat saja sekalian.”<br /><br />Farid lalu agak menaikkan daster budenya, mulai memijat paha montok budenya yang putih bersih. Budenya sendiri sedang memikirkan kata – kata keponakannya ini, makanya tadi agak kaget waktu Farid bertanya soal memijat pahanya. Pikir budenya...kayaknya si Farid lagi merayunya. Iyalah, budenya juga nggak bego – bego amat. Budenya kembali berpikir, memang belakangan ia banyak kecewa. Suaminya, Harno, memang baik dan sayang sama dia. Tapi belakangan ini setiap berhubungan seks selalu saja begitu masalahnya. Baru juga nempel atau goyang sebentar sudah keluar, tak seperti dulu, sangat memuaskan. Ibarat hidangan, makanan pembuka alias rangsangannya bagus, mampu membangkitkan selera, masuk ke hidangan utama...buruk, Hidangan penutup ? Apalagi, hidangan utamanya saja tak memuaskan. Sedikit banyak Sri terganggu juga. Tak bisa lagi menuntaskan gairahnya. Lalu keponakannya ini, nampak sekali sedang berusaha meraih sesuatu, Sri pernah membaca di majalah, memang ada anak muda yang tergila – gila pada wanita dewasa atau paruhbaya, bukan berarti mereka tak suka wanita seusianya, apakah Farid keponakannya ini termasuk salah satunya, tentunya di sini Sri memikirkan tanpa melibatkan masalah hubungan kekeluargaan, murni dari sisi personal. Sri lama menimbang. Dan keponakannya itu juga menarik, tinggi, tegap dan lumayan imut. Jujurnya dia memang belakangan jadi sering sakit kepala, hasrat yang tak tuntas membuatnya mudah uring – uringan, gelisah, pusing. Maafkan aku msa Harno, bukannya aku berkhianat, tapi kalau kau tak tahu, toh tak akan jadi masalah, lagian aku bukannya mencari lelaki asing sama sekali. Kalau sama Farid, terus terang saja Sri bisa mempertimbangkannya sebagai opsi untuk menuntaskan masalahnya belakangan ini. Baiklah Sri membulatkan tekad. Farid, kamu sudah melepas umpan, kini bude akan menangkapnya, tapi bude akan bersenang – senang sedikit, ngerjain kamu.<br /><br />”Eh...tadi kamu bilang apa Rid ? Apanya yang bangun..? Bude nggak paham..?”<br />“A..anu..ah nggak deh bude, malu aku…”<br />“Sudah ngomong saja…eh sekalian pantat bude kamu pijit, belakangan sering pegal. Pijitan kamu enak dan berasa.”<br />”I..iya bude..eh bude yakin mau tahu apa yang bangun.”<br />”Iya...apaan sih..?”<br />”Itu...eh anu Farid..eh kont01 Farid...maaf ngomongnya kasar.”<br />”Oh itu...nggaklah nggak kasar kok ngomongnya, memang namanya kont01 kan. Eh, kurang berasa pijitannya, kamu angkat saja daster bude...ndak kenapa.”<br /><br />Bersambung . . . . Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-8929004862381047112013-12-21T02:08:00.002-08:002013-12-21T02:08:27.529-08:00Biar lambat asal nikmat - 6Ampun...batin Farid...rejeki nih. Dengan genetar ia singkapkan daster budenya, nampaklah bongkahan pantatnya yang besar, terbungkus CD putih yang ketat. Farid mulai memijatnya, meremasnya sih kalau mau lebih tepat. Tangannya jahil, sehingga ”Tak sengaja” belahan pantat budenya jadi tersingkap dari CD nya. Farid nyaris melotot sampai matanya mau copot, belahan pantat itu dihiasi jembut lebat yang nampaknya menyambung dari bagian m3meknya. Gilaaaa....kont01 Farid nyut – nyutan. Budenya kembali bicara.<br /><br />”Memangnya kalau kont01 kamu bangun, mau kamu apain Rid..? tidurin lagi dong, biar anteng.”<br />”Maunya sih bude, tapi sulit...habis sudah melihat bodi bude yang seksi...bangunnya jadi lama banget.”<br />”Masa sih...? Sekarang masih bangun...? Mana sini coba bude sentuh.”<br /><br />Wow...this is too good too be true sorak Farid dalam hati. Budenya masih telentang Nampak menjulurkan tangannya, Farid segera pasang posisi untuk memudahkan tangan budenya menyentuh tonjolan di balik celana pendeknya itu. Sri menjulurkan tangannya, awalnya ia mengira hanya akan menyentuh kont01 keponakannya yang standart – standart sajalah. Tentunya standart menurut jualifikasinya Sri sendiri. Perkakas suaminya juga lumayan mengesankan.Lha..Sri saja doyan banget sama perkakas suaminya. Tapi saat ia menyentuh tonjolan di balik celana keponakannya itu, merabanya, mengira – ngira sizenya, Sri agak bergidik dan bergairah....gilaaaa...ini sih lebih dari standart. Ia hanya memegangnya sebentar, lalu melepasnya lagi, masih senang menggoda Farid.<br /><br />”Iya...memang bangun Rid. Kamu nggak kasihan apa..?”<br />”Maksud bude...? kasihan apaan...?”<br />”Iya...sesak dong itu kont01 kamu, sudah keras begitu, disekap terus dalam celana. Dikasih udara segar dong.”<br />”Ah,,,nggaklah bude, nanti saja, malu sama bude.”<br />”Kamu ini...ngomongnya nggak malu. Sudah bebaskan saja...nggak kenapa, sama bude saja malu. Kayak bude belum pernah lihat kont01 saja sebelum ini. Sana, kamu bebaskan dulu. Sama bude sendiri kok malu.”<br /><br />Farid segera melepas celananya, kolornya, melemparnya ke lantai. Kont01nya yang sudah ngaceng mengacung bebas dan tegar berkibar. Budenya masih teletang kembali menjulurkan tangannya, menyetuh perkakas keponkannya yang sudah bebas itu, kini saat tak tertutup celana, Sri merasakan kont01 keponakannya bahkan sangat mengesankan. Ia meraba dan mengelusnya. Farid tentu saja tak merasa perlu protest. Sri melanjutkan percakapan...<br /><br />”Eh...kayaknya kont01 kamu gede juga ya...bude boleh lihat nggak..?”<br />”Boleh saja bude...sama keponakan sendiri saja kok malu hehehehe.”<br />”Ngebalas omongan bude nih ceritanya...dasar nggak mau kalah ya kamu.”<br /><br />Budenya segera berbalik, matanya menatap terpesona melihat kont01 Farid. Kini Sri teringat saat ia melihat adiknya Lisna yang wajahnya sangat ceria di pagi itu, waktu ia menginap di sini. Sebenarnya Sri berpikir, kok wajah adiknya ceria seperti wajah istri yang semalam baru dipuaskan suaminya secara maksimal. Kalau melihat kapasitas kont01 si Farid sih, wajar saja kalau adiknya itu ceria. Ia dan naluri kewanitaannya sangat yakin kalau adiknya itu telah melakukan hal itu dengan Farid. Tapi ia tak akan menanyakan atau menegurnya. Apa bedanya dia dengan adiknya. Posisinya saat ini juga sedang mengarah ke sana. Apa yang adiknya lakukan, itu urusannya. Kembali ia berucap<br /><br />”Gede amat...eh bude boleh..eh menghisapnya...sebentar saja....penasaran eh ngerasain.”<br />”Lama juga boleh kok bude.”<br /><br />Gong...Farid sudah sangat yakin, this is show time baby...yeah, soraknya dalam hati. Nggak mungkin meleset. Farid segera bergeser bersandar di kepa ranjang. Budenya bangkit, kini posisinya agak menungging, masih mengenakan dasternya. Budenya Nampak masih memandangi kont01nya sebentar. Tangannya lalu mulai menjulur, memainkan dan meremasi biji peler keponakannya itu. Enak dan lihai…biji peler Farid terasa sangat nyaman saat budenya memijatnya, sedikit kuat namun lembut juga dan tak menyakitkan. Benar – benar patent, kalu tak ahli benar, yang ada bisa sakit kalau biji kita diremas kuat. Tapi ini beda, budenya meremasnya kuat sampai batas minimumnya saja. Benar – benar membuat biji peler Farid berdenyut nikmat bahkan saat tangan bibinya sudah tak meremasnya lagi.Tak menunggu jeda, biji pelernay sudah dikenyot dan dikulum sama mulut budenya, sementara tangan bude mengocok kont01nya....buset...ganas juga bude pikir Farid. Asik rasanya saat merasakan biji pelernya seakan mau melesat dari kuluman di ujung bibir budenya itu, geli – geli penuh sensasi yang gimana gitu....<br /><br />Puas menservis bijinya, kini lidah bude mulai menjilati kepala kont01nya, memulasnya dengan gerakan melingkar, sesekali menusuk lobang pipisnya. Lidahnya juga mulai menjilati batang kont01nya, tak satu bagianpun terlewatkan. Lambat saja, namun penuh tekanan tenaga pada tiap jilatannya. Akhirnya mulutnya pun mulai menelan kont01nya, kulumannya lembut dan erotis, hisapannya maksimal, juga mulutnya mengocok dengan sangat mantap. Gilllaaaa...ibunya saja sudah sangat enak saat menghisap kont01nya....budenya malah jauh lebih edaaan....mulut budenya mulai ganas, sambil memompa kont01 Farid, tangannya juga meremas dan mengocoki pangkal batang kont01nya. Bibirnya sangat terampil menyentuh bagian kont01nya, memberikan raa basah, geli dan nikmat...campur aduk jadi satu.<br /><br />Farid mendesah, tangannya segera membuka kaosnya, ia lalu agak mencondongkan badannya, nggak mau tinggal diam, ia singkap dster budenya, menampakkan kembali bongkahan semok pantatnya itu, dengan kasar ia turunkan CD budenya sampai ke pahanya. Kepalanya mendekat, memandang belahan m3mek budenya yang tebal. Mulutnya segera menciumi belahan m3mek itu, jarinya membelainya, m3mekarkannya. Terasa m3mek bude mulai basah, bude makin hot saja posisi nunggingnya, farid mengagumi keindahan jembut yang menghiasi belahan pantat budenya, juga lobang pantat budenya, tapi nggak terlalu memikirkannya. Ia lalu mulai menjilati dan memainkan lidahnya, sama panasnya dengan permainan budenya. Lobang m3mek yang kemerahan itu makin mekar, farid tanpa ragu langsung menusukkan 3 jari sekaligus, menyodok – nyodok m3mek budenya, yang makin hot saja menggoyangkan pantatnya. Lidahnya agak sulit mencari posisi it1l budenya yang sedng nungging itu...nah ketemu, sudah besar dan maksimal, digoyangkannya dengan cepat dan lincah ke sana kemari. Ketiga jarinya makin cepat dan sudah lengket saat menyodok – nyodok m3mek budenya. Sesekali terdengar desahan budenya yang tertahan aksi hisapan kont01nya. Farid merasakan nikmat menjalar saat mencium aroma wangi yang khas dari m3mek budenya, juga hisapan pada kont01nya makin ganas, seiring makin cepatnya sodokan jari dan permainan lidah Farid di it1l budenya itu.Lama mereka berdua saling menyerang, memberikan kepuasan, akhirnya...budenya mengejang, mengeluarkan orgasmenya. Farid juga nyaris klimaks. Beruntung budenya saat itu menghentikan hisapannya. <br /><br />Farid sudah tak sabar, bersiap membaringkan budenya, tapi budenya keburu berdiri, menurunkan celana dalamnya, melemparkannya ke atas tempat tidur. Budenya berucap.<br /><br />”Rid...sabar dulu ya...5 menit saja. Bude ada perlu siapin diri...sabar ya tahan sebentar...”<br />”Duh....tanggung nih bude....”<br />”Iya...iya bude tahu...bude juga sama, tapi nahan 5 menit tak apakan, toh waktu kita masih sangat panjang. Lagian ini juga buat enaknya kamu kok. Bude janji deh...5 menit saja ya.”<br /><br />Budenya keluar dari kamar, Farid hanya berbaring rada BeTe, tapi lumayanlah bisa menetralkan kont01nya yang hampir ngecret. Iseng ia ambil CD budenya, menciumi aromanya dengan hidungnya, sambil sesekali mengocok pelan kont01nya. Terdengar suara air di kamar mandi luar....duh bude pikir Farid...padahal tak perlu mandi segala, sudah nanggung juga. Untungnya tak lama budenya kembali, tapi nggak seperti habis mandi...sebodohlah...habis ngapain kek...yang penting farid sudah nggak tahan.<br /><br />Baru juga budenya sampai di pinggir tempat tidurnya., Farid sudah menarik lengannya, merebahkannya, dengan gansa farid menciumi bibir dan leher budenya, tangannya meremasi tetek besar budenya, terasa pentil yang mengacung, tak sabar Farid berusaha melucuti dasternya, budenya nyengir melihat ketidaksabaran farid, segera membantu melepaskan daster. Mata Farid menatap rimbunan keteknya saat budenya melepas dasternya adi, segera ia rebahkan kembali budenya, mengangkat lengannya, dan mulai menciumi keteknya, menjilati sambil seseklai menarik – nariknya lembut. Bergantian kiri dan kanan, sangat seksi dan merangsang sekali buat Farid. Lalu akhirnya mulutnya mulai bergerilya di tetek besar yang sudah lama ia idamkan, pentilnya jelas sudah keras dan mengacung, gillaaaa....besarnya, sangat berasa sat lidahnya memainkannya, budenya kelojotan saat ia menghisap pentilnya bergantian dengan kuat.<br /><br />Dan budenya juga sudah tak tahan ingin merasakan kedashyatan kont01 keponakannya ini, ia merenggangkan kakinya, lalu tangannya mengarah ke selangkangan Farid yang masih asik menghisapi pentilnya. Digenggamnya kont01 Farid, membimbingnya menuju lobang m3meknya, blesss,,,kont01 Farid mulai menerobos....budenya nampak bergetar, menikmati kesan yang mendalam saat kont01 Farid sudah amblas seluruhnya. Farid pun sama, diam sejenak menikmati kehangatan m3mek budenya. Lalu ia mulai bergerak memompakan kont01nya...perlahan lalu cepat, tangannya bertumpu menopang tubuhnya, matanya menikmati tetek besar yang bergoyang itu, pompaannya makin cepat...semenit...dua menit...tiga menit...budenya sudah kerap mendesah....<br /><br />”Riiiiddd....Auwww.....Soddoookkkkk....”<br />”Yessss.....Sssttttttt.......Gilaaaaa.....”<br />Ooohh......Aaahhhh....”<br /><br />Budenya mengejang kuat sekali, bahkan Farid merasakan betapa kont01nya seperti disirami rasa hangat yang besar saat budenya menyemburkan orgasmenya.Farid segera berhenti menyodok, mencabut kont01nya. Dengan cepat ia berbaring sejajar di belakang budenya. Memiringkan tubuh budenya. Budenya yang tahu keinginan keponakannya ini, lalu mengangkat stu kakinya agak ke atas, membuka jalur buat kont01 Farid....dan blessss, kembali Farid memompa kont01nya, kali ini budenya memberikan perlawanan, mennoyangkan pantatnya berlawanan dengan gerkan sodokan Farid, membuat kont01 Farid serasa dibetot. Sodokannya makin kuat.<br />Satu tangannya memegang panhkal lengan budenya, mengelus dan memainkan rimbunan keteknya. Tangan yang lain membelai mesra dan meremasi tetek besar budenya itu, bibirnya asik berciuman dengan ganas. Sementara budenya menambah kepuasannya sendiri dengan memainkan it1lnya menggunakan jarinya sendiri. Nggak ku ku deh.....kurang apalagi enaknya hidup ini pikir Farid. Makin kuat saja ia menyodokkan kont01nya, desahan budenya seperti penyiram energi bagi nafsu mereka, keringat mereka mulai mengalir, tapi tak mengurangi sedikitpun keasikan mereka. Kont01nya menerobos lancar keluar masuk, menghantam lobang m3mek budenya, bahkan gerakan pantat budenya makin heboh memberikan perlawanan, Farid memang sudah lama terobsesi sama budenya, makanya di saat pertama ini ia benar – benar sulit mengatur emosinya yang menggelora, sodokannya sangat cepat, dan akhirnya berbarengan dengan budenya yang mencapai klimaks....ia pun mencapai puncaknya juga, terkulai lemas. Diam sejenak, ia cabut kont01nya. Berdua berbaring dalam diam agak lama. Kont01nya sudah pulih dan mengacung lagi. Dia hanya melihat budenya membuka laci, mengambil handuk dan botol berisi cairan bening. Budenya lalu menyeka bersih kont01nya juga m3meknya, lalu mulai berbicara...<br /><br />”Pintar kamu Rid...lagipula sekarang sudah bangun lagi hehehe.”<br />”Ya...semangat muda bude, masih menggelora, juga budenya memang hot sih.”<br />”Yuk lanjut...tapi bude mau kamu sodok dari pantat...”<br />”Pantat...?”<br />”Iya...memangnya kamu belum pernah...?”<br />”Be..belum...”<br /><br />Budenya nyengir saja, mengambil botol yang ternyata baby oil. Budenya lalu melanjutkan pembicaraan.<br /><br />”Tenang saja, sama saja kok enaknya dengan lobang m3mek. Nah saat melihat kont01 kamu tadi tadi itu, bude nggak bisa nahan diri...bude pikir pasti enak kalau kont01 kamu nyodok pantat bude. Juga sudah agak lama bude nggak disodok pantatnya sama Pakdemu. Makanya tadi bude keluar sebentar ke kamar mandi buat bersihin daerah itu,biar kamunya enak dan juga lancar nyodok tanpa gangguan. Yuk...mau nyobain nggak...?”<br />”Ma...mau dong bude.”<br />”Nah sekarang kamu mainin dulu sambil siramin baby oil ini ke lobang pantat bude, tenang saja sudah bersih. Kalau ndak dikasih oil, bude agak sakit pas disodok.”<br /><br />Tentu saja Farid tak menyiakan kesempatan ini, ia belum pernah sih menyodok dari lobang pantatnya. Dengan pacarnya dulu, ia juga sudah cukup puas menyodok lobang m3meknya. Kini budenya mulai berbring, lalu melipat kedua kakinya, dan melebarkannya, pantatnya terangkat tinggi, menampakkan lobang m3meknya tang memerah bekas disodok tadi, juga lobang pantatnya yang masih kecil. Agak ragu Farid mendekatkan mulutnya, nampak jembut sedikit menghiasi sekelilingnya, ternyata tak berbau, malah wangi sabun. Farid mulai menjilatinya dengan lidahnya, lobang itu kelamaan menjadi mekar...setelah agak lama budenya kembali mengarahkannya.<br /><br />”Sodok – sodok pakai jari kamu Rid. Jangan lupa disirami baby oil...Ughhhh...”<br /><br />Farid segera menusukkan jari engahnya, bude Sri agak mengerang, membuat ragu Farid, tap mata budenya segera meyakinkannya untuk terus, ia buka tutup baby oil, menyiramnya sebanyak mungkin ke lobang pantat dan jarinya. Jari tengahnya mulai menyodok dengan lancar, lobang pantat bude mulai mekar, sesekali bude nampak enggoyangkan pantatnya, Farid makin menyukai hal baru ini, ia tuangkan lagi baby oil, kini bahkan ia menyodok lobang pantat budenya dengan jari tengah dan jari telunjuk sekaligus, lobangnya makin lebar, desahan budenya makin kuat. Lama sekali ia menyodok lobang pantat budenya...budenya kembali berucap...<br /><br />”Ayoooo Riiid...masukkin...pakaiiii....kontoooolllmuuu...Aww....”<br /><br />Farid segera melepaskan jarinya, secara naluriah ia menyiramkan baby oil ke kont01nya, ia tutup botol itu, dilemparnya sembarang. Kaki budenya yang terlipat makin lebar saja mengangkan, lobang pantatnya sudah mulai merekah lebar kemerahan. Farid memposisikan diri...sekali meleset, kedua sama saja...budenya membantu...digenggamnya kont01 keponakannya itu, diarahkan ke lobang pantatnya, perlahan kepala kont01 Farid menerobos...perlahan namun pasti...<br /><br />”Aaaahhh....Auhhh...Gilaaaa...Terusssss saaajjaaa...Riiiiddd...”<br /><br />Ekspresi wajah budenya agak mengernyit sedikit, sementara kont01 Farid sudah amblas seluruhnya, Farid mendiamkan, rasanya kont01nya dicengkram dengan sangat kuat. Akhirnya ia mulai memompa, masih seret di awalnya, juga budenya agak mengerang...lama – lama seiring lobang pantat bude yang makin mekar, kont01nya dapat memompa dengan leluasa.....sumpaaahhh, Farid membatin, enak banget, mesti praktekkin sama ibu nih.Kont01nya menyodok kuat dan cepat, bibinya mendesah tak eruan, matanya merem melek, Farid makin nafsu dan makin cepat menyodok....budenya sesekali menggiyangkan pantatnya, akhirnya mengejang...orgasme lagi, farid masih asik saja menyodok pantat itu, kini bisa leluasa mendekatkan tubuhnya ke tubuh budenya, tangannya kembali meremas dengan kuat tetek budenya. Sebagai variasi ia cabut kont01nya, menyodoknya ke lobang m3mek budenya yang sudah menganga lebar, disodok dengan kuat dan dalam, sampai –sampai bude Sri merasa agak sesak namun nikmat...lumayan lama ia menyodok m3mek budenya, ia cabut lagi, mengarahkan kont01nya kembali ke lobang pantat budenya. Kali ini mudah saja, karena lobang pantat itu juga sudah menganga lebar. Terasa hangat dan penuh cengkraman pada kont01nya. Ia maju mundurkan pantatnya, memompa dan menyodok dengan cepat dan stabil, bibirnya kembali menciumi bibir budnya yang membalasnya dengan tak kalah ganas. Plok...plok...bunyi pahanya yang beradu dengan belahan pantat montok budenya sat ia menyodok ke dalam makin menambah tinggi suasana penuh rangsangan ini. Keringat nampak mengaliri wajah Farid, tapi ia belum klimaks, ia makin ganas saja menyodok...lagi...dan lagi...dan.....lagi.....akhirnya denyut nikmat pada kont01nya menandakan ia mendekati klimaks, ia peluk kuat budenya, menciumnya dengan hangat, satu sodokan kuat ke lobang pantat bude Sri mengakhiri semuanya...crooot....crooot. pejunya memuncrat membasahi lobang pantat budenya. Farid mencabut kont01nya, lalu berbaring lemas. Budenya segera mendekati kont01nya, menjilati sampai bersih sisa peju yang menempel. Puas banget si Farid. Setelah suasana mulai adem, budenya membuka kembali percakapan...<br /><br />”Jadi...gimana Rid...masih berpendapat budemu ini masih cantik dan seksi...?”<br />”Pastilah bude. Bahkan untuk selanjutnya juga Farid nggak bakalan bosan nyodokin bude...itu juga kalau bude mau hehehe...”<br />”Ya wislah...tapi ingat...”<br />”Iya...iya Farid tahu...jangan sampai Pakde tahu kan...beres deh.”<br />”Hehe...pintar kamu. Sebenarnya tadi bude lupa blang, tapi juga nggak masalah sih.Kamunya juga sudah bgecret di dalam. Memang tak bakalan masalah. Bude sudah tak bakalan hamil kok hehehe.”<br /><br />Mereka masih asik berbicara sambil bercanda. Sepanjang hari itu dan juga hari – hari esoknya mereka habiskan dengan saling bergumul memuaskan pasangannya. Tentu saja ada hambatan, kadang kalau siang mbak Sinta suka datang berkunjung ke ibunya, untung setiap kali ngewek pintu selalu terkunci. Jadi mbak Sinta akan menunggu sampai pintu dibuka entah oleh farid atau bude Sri yang memasang muka seperti orang habis tidur. Di kedepannya untuk kenyamanan, bude Sri meminta agar mbak Sinta sebelum datang menelepon dulu ke Hpnya, takutnya di sini pada tidur siang, jadi telepon dulu, supaya saat kamu datang, sudah dibukakan pintu, itu alasan bude, dan mbak Sinta tak curiga sedikitpun. <br /><br />Pakde Harno memang pulang di akhir bulan, dapat jatah pulang seminggu. Saat pakdenya tiba, Farid memutuskan ijin pulang ke jakarta, akan balik saat Pakdenya berangkat kembali. Ia kangen sama ayahnya...terutama ibunya. Lagipula Farid mau memberikan waktu pada Pakdenya. Mungkin belakangan ia sudah santai, tak stress atau mengalami tekanan pekerjaan sehingga bisa membaik dari ejakulasi dininya. Sebagai insinyur mesin, kini saatnya ia turun mesin, membenarkan perkakasnya sendiri. Farid memutuskan menemui Lisna, ibunya, sekaligus mempraktekkan beberapa gaya yang ia dapat dari bude Sri. Toh nanti kalau ia balik ke Yogya, dan mulai kuliah lagi, sepanjang siang sampai sore bude Sri bisa ia garap sepuasnya.<br /><br />Bude Sri sendiri menikmati babak baru kehidupan seksnya sama keponakannya Farid. Memang akhirnya suaminya bisa membaik, ternyata suaminya dulu mengalami ejakulasi dini karena stress memikirkan apakah dirinya akan terpilih atau tidak untuk proyek kerjasama dengan perusahaan pertambangan. Walau suaminya sudah membaik, bude Sri sudah kadung doyan sama kont01nya Farid, makin banyak makin nikmat...itu prinsipnya. Juga sama sekali tak bertanya pada adiknya Lisna atau Farid mengenai apakah mereka juga sudah melakukan hubungan seks. Apa bedanya sih sama aku pikir Sri. Toh Lisna juga sama...mencari sedikit tambahan kenikmatan.<br /><br />Farid sendiri tetap melanjutkan kuliahnya, lalu hubungannya dengan Yuni..? Ah biarlah, slowly but sure, itu bagian cerita lain dalam hidupnya. Toh saat ini ada ibu dan bude yang sudah cukup menguras energinya. Farid tak menyesali aksinya yang rada terlambat...biar bagaimanapun...Biar Lambat Asal....Nikmat. <br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-340495251202642628.post-56196795488096605572013-12-21T02:07:00.003-08:002013-12-21T02:07:27.720-08:00Hangatnya tubuh bibikuNamaku Bobby. Aku sekarang udah punya istri dan punya dua anak. Terus terang, ketika pertama membuka situs ini, geli rasanya hati ini. Pertama kali aku sempat heran, kenapa kok banyak orang yang rela membuka-buka “aib” sendiri dihadapan public seperti di situs ini. Tetapi keherananku seperti terjawab dengan sendirinya. Peduli amat ahh, pikirku waktu itu. Dan, lama-kelamaan akhirnya muncul juga keinginan untuk turut bagi-bagi pengalaman tentang dunia seks yang ternyata cukup luas, unik, menarik, seronok, dan bahkan sering menjijikkan. <br /><br />Pertamakali aku mengenal seks adalah saat aku duduk di kelas dua smp. Waktu itu aku tinggal bersama paman di kota Jbr, sedangkan keluargaku tinggal di kota Bwi. Beda dengan saat tinggal bersama keluargaku, di rumah paman ini aku relative bebas bergerak sesukaku, apalagi pamanku yang anggota TNI sering tidak berada dirumah sementara istrinya, Bi Supi, tidak berani melarangku. <br /><br />Salah satu hobi beratku waktu itu adalah melototin TV sampai larut malam. Hingga suatu saat, ada sebuah film menarik yang sedang aku tonton, yang ternyata juga sempat membuat Bi Supi betah menontonnya hingga larut malam. Saat itu aku hanya berdua dengan Bi Supi. Maka ketika sesekali Bi Supi berkomentar, aku langsung menyahut sekenanya. Sampai suatu saat ada adegan yang agak porno dan panas, tiba-tiba Bi Supi nyeletuk: “Heh, yang ini kamu gak boleh lihat, masih kecil!” katanya sambil matanya tetap melotot ke layar TV. <br /><br />Tanpa pikir panjang dan tanpa sadar bahwa Bi Supi adalah istri pamanku sendiri, waktu itu aku menyahut dengan nada agak nakal. “Udah di sunat kok Bi, tinggal nyoba pakeknya yang belum,”. Kataku. <br /><br />Mungkin karena merasa risih atau sungkan, waktu itu Bi Supi hanya diam dan tidak langsung menanggapi celoteh nakalku. Entah kenapa, waktu itu aku seperti sengaja memancing agar Bi Supi mau ngomong yang jorok-jorok. Maka akupun terus berceloteh sesukaku. Dan tiba-tiba Bi Supi membuka mulutnya. <br /><br />“Emang kamu ngerti yang gituan?” <br />“Ngerti dong. Wong nggak sulit kok!” <br />“Kalau ngerti ya udah!” katanya sambil melirik ke arahku. <br /><br />Setelah beberapa saat kami saling terdiam, lalu aku coba membuka pembicaraan lagi. Dan kali ini aku sengaja lebih mengarah. <br /><br />“Bi, katanya kalau pertama begituan rasanya sakit yah?” <br />“Nggak tahu!” <br />“Lho, waktu pertama dulu Bibi merasa gimana?” <br />“Lupa!” <br />“Kalau udah sering gituan, enak ya Bi?” <br />“Ahh kamu mau tahu aja!” <br />“Ya emang pingin tahu, Bi!” kataku sambil menahan nafas yang terasa mulai menyesakkan dada. Dan sejurus kemudian, istri paman yang masih terlihat cantik dengan tubuh yang padat berisi itu tiba-tiba menatapku tajam. Aku yang waktu itu masih kuper, hanya bisa membalasnya dengan senyum kecut, karena takut kalau-kalau dia marah dan melaporkan kelakuanku kepada paman. Tetapi, entah setan mana yang tiba-tiba datang dan sengaja menebar godaan, hingga tiba-tiba aku memberanikan diri mendekat kearah sofa tempat duduk Bi Supi. <br /><br />Seperti sengaja memberiku kesempatan, waktu itu Bi Supi hanya diam saja ketika tangannya aku pegang-pegang. Dan aku yang mulai tak terkendali, terasa semakin berani melangkah lebih jauh. “Jangan Bob! Aku ini Bibimu!,” rintihnya ketika tanganku mulai menelusup masuk kebalik baju dasternya yang longgar. <br /><br />“Bi, ayo Bi. Aku ingin sekali merasakan!” rengekku. <br />Dan, Ouuw, tanpa banyak ba-bi-bu lagi, tangan Bi Supi langsung meraih selangkanganku, meremas kemaluanku dengan lembut sambil matanya sedikit terpejam. Lalu aku balas dengan meremas buah dadanya yang masih kenyal dan menggemaskan. Dan setelah aku berhasil melucuti daster Bi Supi, ganti dia yang dengan cekatan menarik resluiting celanaku, lalu menariknya hingga aku telangjang. <br /><br />Bi Supi langsung jongkok di hadapanku. Lalu dengan lahapnya dia melumat kemaluanku sampai seluruh bagian diselangkanganku. Aku hanya bisa merem-melek dibuatnya. “Ouuhhg, terus Bi, terusss Bi.!” Kataku seperti melayang-layang terbuai kenikmatan. <br />Setelah puas melumat alat vitalku, Bi Supi lalu berdiri persis dihadapanku sambil menyorongkan vaginanya ke mukaku. Tanpa merasa jijik, akupun menjilati lobang vagina Bi Supi yang sudah mulai basah. “Oughh Bob, teruss Bob.. terussss,.. achhhh,!” celotehnya sambil terus menekan-nekan vaginanya ke arah mulutku… <br /><br />“Teruss Bob, bibi hampirrrr, ooughh…!” erangnya sambil mendekapkan kepalaku kearah selangkangannya. Dan tiba-tiba Bi Supi menorongku hingga aku rebah di Sofa. Lalu dia menindihku, sementara tangan kirinya menuntun kemaluanku ke lobang Vaginanya. “OOuuugghhh… SSsttttss!!” rintihnya ketika kemaluanku sudah terjepit di selangkangannya. Bi Supi yang nampak mulai hilang kesadarannya itu, mulai menggoyangkan tubuhnya. Matanya terpejam, sedangkan dari bibirnya terus mendesis seperti ular kobra yang hendak mematukkan bisanya. “OOOuuuugghhhhhh…….Aku kellluuuaarrrr BBoooobb,!!” Jeritnya tertahan, sementara tanganya mendekapku erat-erat. Lalu dia menggolosoh di sampingku. <br /><br />“Bi, aku belummm,!” bisikku ketelinganya. <br />Lalu, Bibi menarikku keatas tubuhnya yang sudah basah oleh keringat. Sambil tetap memejamkan matanya, Bi Supi meraih kemaluanku dan menuntunnya masuk ke lobang memeknya yang sudah basah kuyup. “Ayo Bob,.. “ katanya lirih… Dan, “OOuugghhh,… SSsttssss, achhhhhh,.. Biiii,!!”.. Spermaku pun muncrat dengan deras setelah lima belas menit lamanya aku menggesek-gesekkan kemaluanku dalam lobang vaginanya…. <br /><br />Sejak kejadian malam itu, aku merasa seperti orang yang ditakdirkan menjadi keponakan yang paling kurang ajar terhadap pamannya sendiri. Sebab, hampir setiap saat ketika paman tidak ada dirumah, akulah yang menggantikan paman untuk memuaskan nafsu birahi bibiku. Dan kapanpun bibi mau, di kamar, di rang tamu, di dapur ataupun di kamar mandi, aku selalu dapat memuaskan nafsu bibiku…..<br /><br />TamatUnknownnoreply@blogger.com1